Awalnya Pabrik Kopi, Disulap Jadi Pabrik Pencetak Uang Terbesar Indonesia di Malang
Mulanya, dua pria Belanda, L. Schol dan H. Janssen van Raay, mendirikan rumah sangrai kopi pada 1901 di Malang
Siapa yang mengira jika pabrik yang mencetak Oeang Republik Indonesia (ORI) mulanya memproduksi sangrai kopi rumahan? Ya, pabrik yang bernama Nederlands Indische Metalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) awalnya mengelola kopi sampai akhirnya menjadi percetakan uang.
Mulanya, dua pria Belanda, L. Schol dan H. Janssen van Raay, mendirikan rumah sangrai kopi pada 1901 di Malang. Rumah sangrai kopi itu diberi nama Eerste Nederland Indie Koffiebranderij (ENIK).
- Modal 60 Juta Rupiah, Pria Ini Bagikan Lika-liku Rintis Bisnis Jualan Kopi Pakai Bajaj
- Bikin Pembeli Terlena, Warung Kopi di Kampung Terpencil Tasikmalaya Ini Suguhkan Pemandangan Sawah Hijau dan Bukit Berkabut
- Jarang Diketahui, Ternyata Pabrik Kopi Tertua di Semarang ini Salah Satu Pemasok Terbesar di Dunia
- Kisah Sukses Deni Saputra Rintis Usaha Kopi, Modal Rp500.000 dan Kini Raup Omzet Rp50 Juta per Bulan
Mereka memulai usaha kecil ini dengan menyewa sebuah rumah kontrakan untuk bisnis kopi. Rumah sangrai kopi ini berfokus pada pemasaran kopi panggang dan kopi bubuk, yang awalnya hanya dijual di pasar.
ENIK mulai beroperasi secara resmi pada tahun 1902 dan dalam waktu singkat, bisnis kopi ini mengalami pertumbuhan yang signifikan.Pada tahun 1904, mereka membeli tanah di Kendalpayak, sebuah desa di Malang.
Mereka kemudian membeli mesin cetak dan mesin pemotong untuk memproduksi kemasan kertas untuk kemasan kopi yang sebelumnya diimpor dari Eropa.Dari sini, perusahaan mulai merambah ke dalam produksi kemasan kertas.
Pada tahun 1908, ENIK melanjutkan ekspansinya dengan mulai memproduksi kemasan kaleng. Pesanan mulai melonjak naik, bahkan hampir semua perusahaan industri di Jawa bergantung pada kemasan dari perusahaan ini. Semakin banyaknya pesanan, maka semakin membutuhkan tempat yang lebih luas untuk memproduksi.
Dibuat Pabrik Baru 1911
Alhasil, pada 1911, dibuatlah bangunan pabrik baru. Dan pada akhirnya, produksi kemasan dan produksi kopi dipisah.Pabrik kemasan dibangun pada 1918 dengan nama Nederlands Indische Metalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang.
Mesin-mesin yang digunakan diimpor dari Eropa. Sekitar 400 orang Indonesia dipekerjakan disini dan tempat tinggal mereka berada di satu kampung, tidak jauh dari pabrik.
Perusahaan ini memproduksi berbagai kantong dan kotak kemasan karton untuk toko-toko, termasuk kotak amplop dan obat. Selain itu, mereka juga mencetak kebutuhan lainnya seperti buku kantor, kartu nama, serta tiket trem, kereta api, dan bioskop.
Semua produk yang bisa dicetak pada karton dihasilkan oleh NIMEF.Perkembangan pabrik sangat pesat. Selain mengupgrade mesin-mesinnya, NIMEF juga memperluas jangkauan pasarnya dengan mendirikan pabrik-pabrik cabang, seperti di Bandung dan Batavia (Jakarta).
Setelah Indonesia merdeka, pabrik NIMEF Malang dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia sebagai tempat percetakan uang, Oeang Republik Indonesia (ORI). ORI merupakan uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan, terdapat empat jenis mata uang berbeda-beda yang digunakan. Hal ini membingungkan dan merugikan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, muncul usulan dari pemuda Bandung melalui Sjafruddin Prawiranegara, anggota Badan Pengurus Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), yang kemudian beliau sampaikan kepada Hatta.
“Supaya mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri sebagai pengganti uang Jepang yang masih berlaku pada waktu itu,” ujar Sjafruddin dalam Bung Hatta Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perjuangan Bangsa.
Jadi Mesin Pencetak Uang
Pada awalnya Hatta ragu usulan tersebut, namun kemudian ia menyetujui usulan itu dan segera setelah disetujui, A.A Maramis, Menteri Keuangan, menginstruksikan tim Sarikat Buruh Percetakan G. Kolff Jakarta untuk segera mencari percetakan.
Akhirnya, pabrik NIMEF di Malang ini dipilih karena mesin-mesinnya yang canggih untuk percetakan. Selain itu, percetakan G. Kolff dan De Unie di Jakarta sulit mendapatkan kertas, tinta, dan bahan-bahan percetakan lainnya sehingga NIMEF menjadi pilihan yang tepat.
Namun situasi semakin pelik ketika Sekutu dan NICA datang kembali ke Indonesia. Hal ini menyebabkan sulitnya membawa alat-alat percetakan uang karena jalur distribusi barang terganggu.
Untungnya, berkat bantuan sukarela dari para karyawan perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh Sekutu, bahan dan alat berhasil terkumpul dan berhasil diselundupkan.Maramis kemudian mendirikan Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945.
Ketua panitia, T.R.B. Sabarudin, dan anggota panitia terdiri dari pegawai Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, dan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff.
Panitia ini berhasil mencetak ratusan rim lembaran uang 100 rupiah, tetapi belum sempat memberikan nomor seri pada uang tersebut situasi di Jakarta memburuk.
Akibatnya, pemerintah terpaksa pindah ke Yogyakarta pada 14 Januari 1946, dan pencetakan uang pun terhenti.
Pabriknya Dibakar
Sayangnya, karena kondisi yang tidak lagi memungkinkan, pabrik ini menjadi salah satu bangunan yang dibumihanguskan selama Agresi Militer I.
Tujuan dari pembumihangusan tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perlindungan atau memperkuat amunisi pasukan Belanda adalah untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda.
Strategi satu-satunya adalah dengan membakarnya agar lokasi tersebut tidak dapat dikuasai oleh pihak Belanda.
“Pabrik tersebut terpaksa dibumihanguskan tahun 1947 untuk mencegah jatuhnya ke tangan Belanda yang telah memulai agresinya 21 Juli 1947. Semua uang yang telah tercetak bersama barang-barang berharga lainnya dibawa mengungsi ke Yogyakarta di bawah pengawalan yang ketat," tulis Fendy E.W Parengkuan dalam biografi A.A Maramis, SH.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti