Jejak Bung Hatta Bersama Sjahrir Dalam Pengasingan di Banda Neira
Rumah pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir di Banda Neira masih terawat dengan baik
Jejak Bung Hatta Bersama Sjahrir Dalam Pengasingan di Banda Neira
Rumah bergaya kolonial di Jalan Hatta, Kelurahan Dwiwarna, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku itu masih berdiri kokoh. Empat pilar kayu nampak kekar menopang depan bangunan.
Tembok berkelir putih, jendela kayu cokelat dipadu kuning gading terpampang jelas dari rumah yang sempadan dengan jalan.
Di sebelah kanan dan kiri bangunan terdapat tiga anak tangga berlapis keramik menuju dalam rumah. Dua ornamen lampu gantung di teras melengkapi bangunan ciri khas rumah Belanda klasik.
Sebelum menaiki tangga rumah tepatnya di sebelah kiri terdapat papan besi. Papan tersebut bertuliskan 'Rumah Pengasingan Bung Hatta'.
- Nyaris Tak Tersorot, Ini penampakan Rumah Kurnia Meiga yang Sangat Sederhana
- Awalnya Tidak Nyaman, 8 Potret Rumah Baru Ayah Fikoh LIDA Setelah Mengalami Musibah Kebakaran - Sederhana dengan Furnitur yang Minim
- Napak Tilas Perjuangan Bung Hatta dan Sutan Syahrir, Ganjar: Pendidikan Kunci Kemajuan
- Potret Rumah Mewah Tiktoker Iben MA, Halaman Belakang Luas & Digunakan Sebagai Kantor Juga
Yups, rumah bergaya arsitek Eropa klasik itu bukan sembarang bangunan. Rumah ini merupakan tempat pengasingan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan sekaligus Wakil Presiden pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta.
Rumah itu menjadi saksi bisu tokoh nasional berjuluk Bapak Koperasi sebagai tahanan politik Belanda.
Rumah itu dihuni Hatta selama 6 tahun setelah sebelumnya diasingkan ke Boven Digoel, Papua Selatan.
Peristiwa bermula ketika Bung Hatta diasingkan ke Pulau Banda sejak 1936 hingga 1942, bersama tokoh nasional lainnya; Sutan Sjahrir.
Di pulau yang kini terkenal dengan keindahan alamnya itu, Hatta dan Sjahrir mengisi waktu dengan membaca buku dan mengajar.
Keduanya sempat menumpang di rumah pahlawan nasional lainnya; Iwa Koesoemasoemantri dan Tjiptomangunkusumo ketika menapaki kaki di Banda Neira.
Iwa Koesoemasoemantri dan Tjiptomangunkusumo lebih dulu diasingkan oleh Belanda ke pulau yang terkenal memiliki kekayaan alam rempah-rempah, seperti cengkeh, pala dan lada.
Bung Hatta dan Sjahrir sepakat berpisah rumah setelah sepekan di pengasingan. Keduanya menyewa seorang tuan tanah.
Bung Hatta menyewa rumah yang kini berada di Jalan Hatta, Kelurahan Dwiwarna. Sementara Sjahrir menyewa rumah yang kini berada di Jalan Nusantara, atau beberapa belas meter dari pelabuhan baru Banda Neira.
Kedua rumah dihuni Hatta dan Sjahrir kini dijadikan museum di Banda Neira bernama 'Rumah Pengasingan Bung Hatta dan Rumah Pengasingan Sjahrir'.
Kedua rumah itu berisi barang-barang peninggalan tokoh bangsa tersebut. Spirit perjuangan begitu kental terasa ketika menelusuri bekas rumah pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir.
Di rumah pengasingan Bung Hatta, pengunjung bakal disambut ruang tamu tersusun dua meja lengkap dengan tujuh bangku dan satu bangku panjang peninggalan pahlawan nasional tersebut.
Bangku kayu dengan lapisan kulit rotan itu disediakan untuk menjamu para tamu. Di atas meja tertulis 'satu set kursi tamu dari rotan' dan 'dilarang duduk ataupun tidur'.
Beranjak ke ruang di sisi kanan dari pintu masuk, terdapat sebuah meja kerja dengan mesin ketik tua.
Alat itu menjadi saksi bisa yang dipakai Bung Hatta menuangkan pemikirannya. Di meja itu tertulis 'meja tulis Bung Hatta'.
Beralih ke dalam, ada lemari kayu berisi barang-barang peninggalan Bung Hatta. Barang-barang itu mulai dari peralatan makan, kemeja dan jas.
Buku-buku, sisir, topi, kacamata, kopiah hingga sepatu. Semua barang terusun rapih.
Di bagian ruang lainnya terdapat buffet rias Bung Hatta. Terpajang foto rumah tempo dulu. Sementara di sisi kanan dan kiri dinding terdapat bingkai-bingkai aktivitas Bung Hatta semasa di pengasingan.
Bingkai-bingkai foto itu juga terpajang di dinding menuju belakang rumah. Sebelum ke belakang rumah, sepasang bangku dan meja untuk tamu menghiasi ruangan.
Sementara di belakang rumah, empat kursi santai menghadap paviliun. Dua kursi berlapis kulit rotan dan dua lainnya kain berwarna biru yang sudah memudar.
Di paviliun seberang rumah terdapat empat ruang. Bangunan ini tempat Bung Hatta mengajar cuma-cuma untuk anak-anak Banda Neira.
Di teras rumah terdapat sisa tujuh bangku dan meja beserta papan tulis untuk belajar. Bangku dan meja masih kokoh sepeninggalan Bung Hatta.
Di samping kanan rumah utama juga terdapat ruang untuk belajar. Di depannya, terdapat sumur yang kerap digunakan Bung Hatta.
Sumur setinggi kurang lebih satu meter bercat putih itu airnya masih terjaga hingga sekarang. Pengunjung hanya merogoh kocek Rp20 ribu untuk memasuki rumah pengasingan Bung Hatta.
Sementara itu, rumah bekas pengasingan Bung Sjahrir berjarak beberapa puluh meter dari kediaman Bung Hatta. Lokasi rumah berada di Jalan Gereja Tua, Kelurahan Nusantara. Rumah ini dibangun di atas lahan sekitar 314 meter persegi.
Terdapat tulisan Rumah Pengasingan Bung Sjahrir yang digantung di atas. Dua tiang beton menjadi penyangga bangunan.
Sama seperti rumah Bung Hatta, pengunjung dapat melihat banyak peninggalan Sutan Sjahrir. Pengunjung juga hanya merogoh kocek Rp20 ribu untuk bersilaturahmi ke rumah pengasingan Bung Sjahrir.
Memasuki ruang utama, terdapat sebuah ruang tamu besar yang diapit kamar tidur serta ruang kerja. Di dinding terdapat foto-foto merekam aktivitas Sjahrir. Salah satunya bermain olahraga tennis.
Selain itu, terdapat gramofon kuno lengkap dengan piringan hitam berlabel 'Daphnis dan Chloe Suite Symphonique' diproduksi oleh Columbia. Bangunan utama ini banyak memamerkan koleksi foto-foto tentang Bung Sjahrir.
Sementara barang-barang peninggalan Sjahrir tersusun rapih di lemari kayu. Barang-barang itu seperti peralatan makan lengkap dengan teko. Buku-buku. Beberapa pakaian hingga tas kulit.
Barang-barang peninggalan Bung Hatta dan Bung Sjahrir itu semula dikelola Yayasan Warisan dan Budaya Banda (Banda Cultural and Heritage Foundation) yang dibentuk sejarawan Des Alwi Abubakar.
Namun semenjak anak angkat Bung Hatta dan Bung Sjahrir itu wafat pada tahun 2010, museum rumah pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir diambil alih Balai Pelatihan Cagar Budaya (DPCB) Ternate sejak tahun 2016.
"Setelah almarhum Pak Des Alwi meninggal tahun 2010 akhirnya dari Balai Pelatihan Cagar Budaya (DPCB) Ternate dari mulai tahun 2016-2022 mengelola situs Hatta-Sjahrir, benteng dan semua situs di banda besar atau di Neira di luar rumah situs budaya," kata Iqbal, salah satu pengelola rumah situ budaya saat berbincang-bincang dengan merdeka.com.
Kemudian setelah tahun 2022 hingga sekarang, menurut Iqbal, rumah bekas pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir diambil alih Provinsi Maluku.
Sepengetahuan Iqbal, rumah bekas pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir rutin direnovasi saat dipegang Des Alwi.
Sementara sejak di bawah naungan Provinsi Maluku, rumah bekas pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir hanya beberapa kali direnovasi.
"Perawatan rumah pengasingan Sjahrir dan Hatta direnovasi sudah 2 kali. Kalau rumah Sjahrir badan bangunan dan atap plafon untuk bagian geteng belum. Kalau Bung Hatta sama dua kali, yang kedua hampir semua bangunan direnovasi," kata Iqbal.
Menurut Iqbal, rumah pengasingan Bung Hatta dan Sjahrir itu kerap dijadikan bahan edukasi bagi anak-anak pelajar di Banda Neira. Tujuannya untuk mengenalkan perjuangan kedua pejuang kemerdekaan tersebut. Sementara keluarga Bung Hatta juga kerap mengunjungi.
"Kalau dari pihak keluarga (Ibu Helda Hatta atau Ibu Mutia Hatta) hampir setiap tahun kunjungi Banda Neira," lanjut Iqbal.
Rumah bekas pengasingan Bung Hatta dan Bung Sjahrir turut menjadi sorotan calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo. Ganjar khusus napak tilas rumah pengasingan Bung Hatta dan Sutan Syahrir pada Selasa (30/1).
Ganjar mengatakan, pendidikan menjadi kunci kemajuan sebagaima para intelektual pada masa itu berjuang untuk mendobrak kebijakan Belanda yang melarang pendidikan bagi warga lokal.
Menurut Ganjar, mengunjungi situs bersejarah di Banda Neira bentuk mengedukasi masyarakat.
"Jangan mati sebelum ke Banda Neira," kata Ganjar Pranowo, melanjutkan pernyatannya merujuk pada kata-kata Syahrir.