'Diserang' Seniornya di TNI, Nasution Dibela Jenderal Soedirman
Konsep ini menyulut polemik di internal TNI. Nasution dikritik habis-habisan oleh pihak oposisi.
A.H. Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Operatif yang disebut Kepala Staf Panglima Besar pada 1 Juni 1948. Nasution langsung ditugaskan menyusun perintah operasi untuk menghadapi kemungkinan Agresi Militer Belanda II.
Dalam menyusun suatu siasat menghadapi kemungkinan kembalinya Belanda menyerang, Nasution menggunakan pengalamannya saat melakukan perang gerilya pada Agresi Militer Belanda I di Jawa Barat.
-
Apa karya Nasjah Djamin yang dikoleksi oleh Presiden Soekarno? Salah satu karya Nasjah yang cukup terkenal yaitu "Lestari Fardani" tahun 1958 ini telah dikoleksi oleh Presiden Soekarno pada 1960.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Apa saja dua isu utama yang ditekankan oleh Soeprayogi dalam sejarah nasionalisasi BUMN? Dalam sejarah nasionalisasi BUMN, Soeprayogi menekankan dua isu utama: nasionalisasi perusahaan vital dan kategorisasi perusahaan Belanda.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang pernah dititipkan Soeharto kepada Sudjono Humardani? Ceritanya pada tahun 1967, Sudjono pernah diberi tugas oleh Soeharto untuk meminjam topeng Gadjah Mada yang disimpan di Pura Penopengan Belah Batu Bali.
-
Kapan Ir. Soekarno dan tokoh nasional lainnya diasingkan ke Pesanggrahan Menumbing? Tepat tanggal 22 Desember 1948, Ir. Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Syharir dibawa ke Berastagi dan diamankan di Parapat. Sementara itu, Dr. Moh. Hatta, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Moh. Roem dan beberapa tokoh lainnya diamankan di Pesanggrahan Menumbing.
Pada waktu itu, perlawanan bukan yang berhasil membinasakan dan mengusir musuh. Melainkan bersifat pembalasan. Perlawanan tidak dilakukan secara frontal. Tapi dilakukan secara sembunyi sebagai balasan dan bertujuan untuk meremas kekuatan musuh.
"Kita sungguh memerlukan suatu susunan tentara yang mampu menjadi inti dalam susunan perang rakyat semesta, yang berisikan unsur ofensif dan unsur statis teritorial," ungkap Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Gerilya.
Nasution Diserang Seniornya
Nasution mempertahankan konsep yang diajukan kepada MBT pada tahun 1946. Saat itu Nasution masih menjabat sebagai Panglima Divisi Siliwangi.
Dua konsep diajukan Nasution. Pertama, membedakan 2 macam kesatuan besar yakni kesatuan yang akan bergerilya di daerah 'Renville dan kesatuan yang harus menyusup kembali ke Jawa Barat, Kalimantan, dan Indonesia Timur.
Konsep kedua, memecah Angkatan Darat menjadi 3 bagian yaitu kesatuan penggempur yang bersenjata 1:1, kesatuan teritorial yang bersenjata 1:3 atau 5, dan korps kader teritorial yang memimpin perlawan serta pertahanan rakyat di desa-desa, KODM-KODM, KDM-KDM.
Konsep ini menyulut polemik di internal TNI. Nasution dikritik habis-habisan oleh pihak oposisi. Batalyon tempur dianggap sebagai batalyon kelas satu. Sedang batalyon teritorial disebut sebagai kelas kambing. Bahkan batalyon teritorial diprovokasi sebagai 'sampah rasionalisasi'
"Pergolakan rasionalisasi semakin meningkat disebabkan persoalan karena saya sebagai junior yang melangkahi senior-senior bekas KNIL. Sehingga dari kalangan mereka ada yang langsung menyerang saya melalui surat kabar dengan menyalahkan konsep saya sebagi orang yang belum pernah belajar strategi dan berbagai persoalan pribadi," kata Nasution.
Dari gagasan itu kemudian muncul dan tersebar luas agitasi persiapan tentara federal. Memang 'rencana spoor' yang diumumkan dulu sebagai usulnya kepada PM Belanda.
Pergolakan juga terjadi di Divisi Siliwangi. Seorang komandan brigade yang tanpa pengetahuan Nasution menghadap Jenderal Soedirman. Mereka secara tegas menyatakan bahwa Divisi Siliwangi tidak sejalan dengan Nasution. Namun hal ini bisa diselesaikan berkat bantuan Letnan Kolonel Abimanyu.
"Saya dapat bantuan tak terhingga dari Letnan Kolonel Abimanyu sebagai bekas ajudan Panglima Besar dan Mayor Soeprapto, Ajudan beliau waktu itu. Keduanya selalu menjaga suasana antara Pak Dirman dan saya," jelasnya.
Nasution Dibela Soedirman
Pemikiran Nasution sebenarnya lebih ke arah model PETA. Yaitu perang gerilya. Pemikiran Nasution itu sesungguhnya benang merah antara yang dipelajari dari perang Barat dan strategi Jepang.
Pada akhirnya Nasution mendapat jaminan dan dukungan dari Jenderal Soedirman. Sehingga dapat mengembangkan siasat tersebut untuk menghadapi kemungkinan Agresi Militer Belanda II. Pemikirannya tertuang dalam Perintah Siasat No.1/1948 yang ditandatangani Jenderal Soedirman pada 12 Juni 1948.
"Inti Perintah Siasat No. 1 itu adalah pelaksanaan perang rakyat semesta. Prinsip-prinsip pokok perang rakyat semesta adalah mengikutsertakan rakyat secara aktif dan mengerahkan semua tenaga dan harta kekayaan rakyat," seperti tertuang dalam buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia Jilid I.
Konsep Perang Gerilya
Dalam konteks Perang Rakyat Semesta, seluruh rakyat tidak harus secara aktif melakukan gerilya. Dalam arti umum, Perang Rakyat Semesta adalah perang militer, politik, sosial, dan ekonomi. Sementara dalam artian khusus, gerilya berarti menyerang musuh dengan serangan-serangan kejutan dan sabotase.
"Usaha perang bukanlah usaha angkatan perang saja, melainkan dan malah telah menjadi usaha rakyat semesta di pelbagai sektor kehidupannya, yang masing-masing menjadi peserta dalam usaha yang seluruhnya, yang tidak dapat lalai melalaikan lagi," seperti dikutip dalam buku Pokok-Pokok Gerilya.
Menurut Nasution, Perintah Siasat No.1 tentang pelaksanaan perang rakyat semesta dan melakukan gerilya merupakan hal tepat. Karena kekuatan militer Indonesia pada saat itu sangat terbatas dan belum terorganisir secara baik.
"Kita berperang gerilya bukanlah karena kita menganut “ideologi” bergerilya, melainkan karena kita diharuskan, karena telah tidak mampu menyusun kekuatan yang berorganisasi sekadar modern, yang setara," seperti dikutip dalam buku Pokok-Pokok Gerilya.
Reporter Magang: Muhamad Fachri Rifki