Akankah Ahok lengser gara-gara pelanggaran etika?
Pansus Angket DPRD DKI terus bergerak dengan memanggil dua pakar hukum tata negara untuk membahas etika Ahok.
DPRD DKI Jakarta kini punya senjata baru untuk menggoyang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Di tengah-tengah kisruh soal anggaran siluman dalam APBD DKI 2015, para politikus Kebon Sirih itu mempersoalkan etika sang gubernur.
Etika yang dimaksud adalah gaya bicara Ahok yang keras, dan cenderung kasar bagi sebagian orang. Misalnya saja, dalam segmen wawancara program acara Kompas TV yang disiarkan secara langsung (live) pada Selasa, 17 Maret 2015 pukul 18.18 WIB, Ahok mengumpat dengan kata ‘ta*k’.
Akibat ulah Ahok itu, Kompas TV dihukum Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berupa sanksi administratif penghentian sementara segmen wawancara pada program jurnalistik 'Kompas Petang'.
Menurut KPI, program acara Kompas TV itu dikategorikan sebagai pelanggaran atas norma kesopanan, perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan ungkapan kasar dan makian, serta melanggar prinsip-prinsip jurnalistik.
Sementara itu, dari sisi politik, Pansus Angket DPRD DKI terus bergerak dengan memanggil dua pakar hukum tata negara untuk membahas etika Ahok. Akankah Ahok lengser gara-gara persoalan etika? Berikut ceritanya:
-
Siapa yang membiayai kehidupan Ahok ketika ia tinggal di Jakarta? Keluarga Misribu-lah yang membiayai hidup Ahok selama di Jakarta.
-
Bagaimana Ahok memulai karier politiknya? Ia memulai karier politiknya sebagai anggota DPRD DKI Jakarta setelah terpilih pada tahun 2004.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana Ahok terlihat dalam fotonya saat kuliah? Tampak pada foto, Ahok tengah bergaya bersama teman-temannya saat awal masa kuliah di Trisakti.
-
Apa yang dirayakan oleh Ahok dan Puput? Ahok dan Puput merayakan ulang tahun putri mereka dengan acara yang sederhana, namun dekorasi berwarna pink berhasil menciptakan atmosfer yang penuh semangat.
-
Di mana Ahok menghabiskan masa kecilnya? Masa kecil Ahok sendiri dihabiskan di Desa Gantung, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur.
Pakar hukum tata negara: Ahok bisa di-remove from the office
Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin mengungkapkan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bisa saja dilengserkan dari posisinya. Hal ini bisa dilakukan jika memang benar Ahok melakukan kekeliruan, seperti melanggar etika.
Irman menjelaskan, panitia angket harus dapat membuktikan kekeliruan tersebut dalam rapat paripurna. Kemudian hasil pembahasan bersama anggota dewan lainnya akan diajukan ke Mahkamah Agung.
"Kalau berdasarkan proses konstitusi, sanksi pertama yang bisa diberikan adalah remove from the office. Kalau dasarnya perundang-undangan yang baru, begitu Mahkamah Agung memutuskan bisa langsung remove from the office," ujarnya dalam rapat angket di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (25/3).
Dia mencontohkan, kasus Aceng Fikri yang akhirnya dimakzulkan saat menjabat bupati Garut. Anggota DPRD Garut saat itu mendapatkan tekanan dari masyarakat karena Aceng menikah sirih.
Akhirnya Aceng diputuskan untuk mundur dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.
"Di Garut, bupati diputuskan melanggar etika perundang-undangan dan harus turun dari jabatannya hanya karena tidak mendaftarkan pernikahannya. Dia juga tidak mendapat izin dari istri pertama. Itu putusan dari Mahkamah Agung," tutup Irman.
Panitia angket dinilai tak bisa bahas etika Ahok
Selain menyelidiki pengiriman RAPBD DKI Jakarta 2015 ke Kemendagri, Panitia Angket DPRD DKI Jakarta juga membahas etika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok). Namun, menurut peneliti Center for Strategic of International Studies (CSIS) Arya Fernandes tidak bisa dilakukan.
Arya mengatakan, panitia angket tidak bisa menggunakan dasar pelanggaran etika untuk menyatakan Ahok bersalah. Sebab, hak penyelidikan anggota dewan hanya membahas kebijakan yang dibuat.
"Angket ini kan mencari bukti apakah terdapat kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan undang-undang," ujarnya saat dihubungi, Selasa (24/3).
Dia menjelaskan, hasil dari panitia angket ini akan dibahas dalam rapat paripurna bersama seluruh Dewan. Tetapi ini berbahaya jika disalahgunakan sebab dapat berujung kepada pemakzulan Ahok.
"Angket ini motifnya politis, kalau diparipurnakan dan disetujui itu bisa berujung Hak Menyatakan Pendapat. Itu justru berbahaya, karena bisa memakzulkan Ahok," tegasnya.
Menurutnya, DPRD DKI Jakarta awalnya membentuk panitia angket karena ada dugaan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan mantan Bupati Belitung Timur ini. Jika masalah ini yang diselidiki oleh dewan maka masih dapat dilanjutkan dan sesuai dengan aturan.
"Kalau angket di Undang-undang itu yang disoalkan kebijakan. Apakah ada yang bertentangan dengan undang-undang. Kalau etika itu bukan kebijakan tapi persoalan lain. Saya tidak tahu apakah itu memaksakan atau tidak," ungkapnya.
Arya menegaskan, panitia angket bisa membuat suami Veronica Tan tersebut mundur dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Tentunya jika ditemukan bukti kuat adanya pelanggaran kebijakan yang dilakukan.
"Misalnya perbuatan tercela seperti korupsi itu bisa juga. Tapi agak susah melengserkan Ahok kalau dasarnya etika. Tapi DPRD bisa menggunakan banyak hal untuk itu, tapi mudah-mudahan tidak menggunakan alasan tersebut," tutupnya.
Agar fair, panitia angket harus panggil Ahok
Panitia angket tidak hanya memanggil Irman Putra Sidin untuk mengetahui tentang hukum tata negara. Mereka juga meminta pandangan pakar hukum tata negara lainnya yakni; Margarito Kamis untuk keperluan penyelidikan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Margarito menyarankan, agar panitia angket memanggil Ahok untuk dimintai keterangan. Tujuannya untuk memperkuat bukti temuan kekeliruan sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan jika berujung ke Mahkamah Agung.
"Dalam prosesnya hak angket ini harus dikuatkan dulu pelanggarannya dan dibawa ke dalam paripurna untuk mengeluarkan Hak Menyatakan Pendapat (HMP). Dalam proses HMP, Ahok harus dipanggil agar lebih fair," ungkapnya dalam rapat angket di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu (25/3).
Anggota dewan menuding bahwa mantan bupati Belitung Timur ini telah mengirimkan RAPBD DKI Jakarta 2015 yang bukan hasil pembahasan dengan mereka ke Kementerian Dalam Negeri. Sehingga perlu ada ruang terbuka untuk mendengar penjelasan atas tindakan tersebut.
"Ahok harus dipanggil. Tidak fair jika bapak menuduh tapi tidak memberikan ruang Ahok untuk menjelaskannya dalam HMP, karena penjelasan Ahok dikonfrontasikan dengan bukti," tegasnya.
"Kenapa takut? Toh tidak akan mengubah apa-apa. Malah bakal memenangkan pondasi konstitusional. Untuk apa angket kalau selesai, paripurna tidak dilanjutin," tambah Margarito.
Menurutnya, anggota legislatif akan semakin tercoreng nama baiknya jika tidak melakukan pemanggilan. Sebab pertaruhan terbesar dalam hak angket ini adalah harga diri masing-masing anggota dewan di hadapan masyarakat.
"Apalagi kalau cuma karena ada intervensi dari partai hak angket mundur. Ini semakin lengkaplah kalian tidak bisa dipercaya oleh rakyat," tutupnya.
Ahok sarankan DPRD sekalian pakai psikiater
Panitia angket sempat mempertanyakan etika Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur kepada pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin. Ahok, sapaan Basuki, bingung dengan sikap tersebut.
Ahok mengungkapkan, seharusnya permasalahan etika tidak ditanyakan kepada pakar hukum tata negara. Menurut Ahok, masalah itu lebih tepat ditanyakan panitia angket ke ahli komunikasi politik.
"Saya enggak ngerti ya, kalau mau tanya etika harusnya undang pakar komunikasi. Ya jangan tanya sekarang kalau mau orang tata negara etika, mungkin nanyanya enggak sabar," ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (25/3).
Bahkan, dia menyarankan, agar panitia angket juga menggunakan dokter psikologi untuk menyelidikinya. Apalagi, kata Ahok, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana pernah menyebutnya orang gila.
"Sekalian mereka perlu tanya psikolog, kan Lulung bilang Ahok gila, makanya mesti undang psikiater, dokter jiwa. Untuk tanya gimana sih kejiwaan gubernur, sampe berani membuka mulut bilang kami mencuri Rp 12,1 triliun gitu lho, pokir ada Rp 40 triliun. Harus dites kejiwaannya dong," tutupnya.