Korupsi di DKI terkuak, Jokowi tak takut diserang lawan politik
Jokowi beralasan, kasus korupsi itu terjadi pada era sebelumnya.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengaku tidak khawatir menjadi sasaran serangan partai politik tertentu akibat dari munculnya kasus-kasus dugaan korupsi atas penyalahgunaan anggaran di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menurutnya, kasus dugaan korupsi tersebut terjadi pada masa sebelum Jokowi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta.
"Enggak (takut) lah. Itu kan masalah yang lalu," ujar dia yang ditemui di Balaikota, Jakarta Pusat, Kamis (24/10).
Jokowi menegaskan, saat ini pihaknya belum bisa mengatasi kasus korupsi di jajaran Pemprov DKI Jakarta. Tetapi, apabila kasus tersebut terkuak maka akan langsung dicopot. "Sekarang ada pun enggak bisa kita handel. Yang ketahuan baru langsung diganti," kata dia.
Sebelumnya, ada 9 PNS DKI Jakarta yang terlibat kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI, Eko Bharuna (EB), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil toilet VVIP besar dan kecil di Dinas Kebersihan Pemprov DKI tahun 2009. Penetapan tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No:print 79s/d 81/F.2/Fd.1/06/2013, tanggal 28 Juni 2013. Kasus itu diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 5,3 miliar tersebut.
Kejagung juga telah menetapkan mantan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas kebersihan Provinsi DKI, Lubis Latief (LL), selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Aryadi (A) sebagai tersangka.
Kemudian, pada 13 September 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan MM sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar. MM menjabat Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu saat itu. Pada hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan SBR sebagai tersangka kasus yang sama. SBR adalah Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Pada 11 Oktober 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Lurah Ceger berinisial FFL sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senilai Rp 454 juta. Di hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Bendahara Lurah Ceger ZA sebagai tersangka kasus yang sama. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, FFL dan ZA langsung ditahan.
Selanjutnya, pada pekan ini, setidaknya ada tiga pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta yang terjerat kasus penyalahgunaan anggaran. Mereka adalah Kepala Suku Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan, RS yang menjadi tersangka kasus korupsi perizinan. Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat RB dan Kasudin Kominfomas Jakarta Selatan YI yang menjadi tersangka karena penyalahgunaan anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional oleh Kejari Jakarta Pusat.
Untuk kasus RS, RS diduga korupsi biaya pengurusan izin-izin yang besarannya tidak sesuai dengan tarif resmi yang telah ditetapkan. RS diduga telah menerima uang pengurusan dengan besaran bervariasi antara Rp 225-700 juta setiap perizinan. RS diduga telah melakukan tindak pidana korupsi mencapai Rp 1,89 miliar.
Saat melakukan tindak korupsi tersebut, RS belum menjabat sebagai Kasudin Tata Ruang Jaksel, melainkan saat menjabat sebagai Kasie Tata Ruang Kecamatan Tebet dan Staf Tata Usaha Suku Dinas Tata Ruang.
Sementara itu RB dan YI diduga telah menyalahgunakan anggaran CCTV Monas senilai Rp 1,7 miliar pada tahun 2010. pada tahun 2010. Saat itu, YI menjabat sebagai sebagai Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat, yang kini ditempati oleh tersangka RB. Sedangkan, RB menjabat sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa.