Pemprov DKI salahkan BPN Jakbar terkait sengketa lahan Cengkareng
Hal itu karena Toeti Noeziar Soekarno memiliki sertifikat, tanah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menuding Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Barat tak menjalankan prosedur saat menerbitkan sertifikat lahan yang kini disengketakan di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Hal itu karena Toeti Noeziar Soekarno memiliki sertifikat, tanah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Kasubbag Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Jakarta Haratua Purba mengatakan, BPN seharusnya melakukan peninjauan langsung untuk memenuhi prosedur penerbitan sertifikat tanah. Kemudian mereka meminta kesaksian dari empat pihak yang ada di sekitar lahan, masing-masing yang ada di sisi utara, timur, selatan, dan barat.
"Kalau BPN datang langsung dan meminta kesaksian sesuai prosedur, di utara (lahan) saja saksinya pasti sudah bilang kalau itu lahan punya DKI. Karena di situ kan ada lahan buat bibit (milik Dinas Kelautan)," katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (13/7).
Dia menegaskan, lahan sengketa di Cengkareng Barat adalah lahan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun memang surat kepemilikan tanah seluas 4,6 hektar tersebut masih berupa girik, belum surat hak milik (SHM).
"Punya DKI, cuma belum ada sertifikat. Kenapa akhirnya BPN mengeluarkan sertifikat atas nama pihak lain? ya harus ditanya ke BPN," tutupnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan,terdapat kejanggalan dalam pembelian lahan oleh Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah di Cengkareng, Jakarta Barat. Pasalnya, tanah tersebut ternyata milik Dinas Kelautan Pertanian dan Pertahanan Pangan.
Kepala Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan Darjamuni mengatakan, bingung jika sertifikat tanah seluas 4,6 hektar tersebut ada lebih dari satu. Pasalnya mereka masih memegang semua berkas kepemilikan tanah yang rencananya akan dibangun rumah susun tersebut.
Bahkan, dia mempertanyakan Badan Pertanahan Negara (BPN) bisa mengeluarkan dua sertifikat untuk satu tanah yang sama.
"Coba diuber aja di BPN, karena semua dokumen sama. Masa sertifkat sama dikeluarkan BPN setempat? kan bingung kita," katanya saat dihubungi, Senin (27/6).
Untuk memperjelas pembelian lahan seharga Rp 648 miliar tersebut, Pemprov DKI Jakarta tengah melakukan kajian. "Sekarang lagi diproses di Biro Hukum," tutur Darjamuni.
Sebelumnya, Basuki atau akrab disapa Ahok mengungkapkan, terdapat surat yang menjelaskan bahwa tanah tersebut disewa oleh Pemprov DKI Jakarta.
"Ada penghilangan, ada surat yang menyatakan bahwa (lahan) itu sewa bukan punya DKI. Itu aslinya ternyata punya DKI," katanya.
Mengacu pada surat tersebut, dia menduga ada oknum lurah yang sengaja mengaburkan kepemilikan tanah tersebut. Sehingga seakan-akan bukan milik Pemprov DKI Jakarta. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran aliran dana dalam pembelian lahan untuk pembangunan rumah susun tersebut.
"Makanya saya minta mesti telusuri duitnya kemana saja atau apakah oknum lurah juga terima duit," tegas mantan Bupati Belitung Timur ini.
Kecurigaan Ahok semakin diperkuat setelah masuknya pembelian lahan ini dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2015. Lahan untuk rumah susun itu dibeli dengan harga Rp 600 miliar.
"Mana ada orang bodoh sih mau bayar notaris Rp 4-5 miliar. Misalnya beli tanah Rp 600 miliar, kamu bayar notarisnya Rp 6 miliar, gila enggak? Rp 10 juta juga banyak yang mau urus tanah sekeping doang," tutupnya.