Cerita Clara Sumarwati, Pernah Diragukan Daki Puncak Everest Sampai Masuk RS Jiwa
Sejumla catatan internasional justru membuktikan keaslian klaim Clara dengan mencantumkan nama serta tanggal pencapaian di buku-buku seperti Everest karya Walt Unsworth (1999), Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) dan website EverestHistory.com
Clara Sumarwati, tercatat menjadi perempuan Asia Tenggara pertama yang berhasil menaklukkan puncak Everest. Kiprahnya bahkan pernah tercatat di dalam jurnal, hingga beberapa arsip internasional. Sayangnya ia pernah masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ) akibat depresi usai prestasinya tidak diakui.
Kisahnya sendiri sempat viral dan dimuat di berbagai media sosial, salah satunya @sharenews.id yang dilansir Sabtu (19/2). Deceritakan, ia melakukan pendakian sebanyak dua kali, yakni tahun 1994 dan terakhir tahun 1996.
-
Apa yang istimewa dari Yogyakarta? Pada zaman pendudukan Jepang, wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta disebut dengan istilah Yogyakarta Kooti.
-
Siapa yang menunjuk Sitor Situmorang menjadi koresponden Waspada di Yogyakarta? Pada tahun 1947, Sitor di tunjuk oleh Menteri Penerangan, Muhammad Natsir untuk menjadi koresponden Waspada di Yogyakarta.
-
Apa yang terlihat di langit Yogyakarta pada tanggal 14 September 2023? Malam hari, tanggal 14 September 2023, sebuah objek bercahaya panjang terbang di langit Jogja. Penampakan ini terlihat di berbagai tempat. Cahaya panjang itu bergerak dari selatan ke utara.
-
Kapan Yogyakarta mendapatkan status istimewa? Status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri punya sejarah yang panjang. Sejarahnya bahkan sudah dimulai jauh sebelum undang-undangnya disahkan pada tahun 2012. Bahkan status keistimewaan itu sejatinya telah diperoleh sebelum kemerdekaan.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana Yogyakarta mendapatkan status istimewa? Sejak pengakuan kedaulatan Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 2 November 1949, Yogyakarta yang sejak tahun 1946 menjadi ibu kota negara hanyalah sebuah negara bagian di bawah naungan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Menurut warga Minggiran, Suryodingratan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta itu, pendakian pertama gagal dan baru berhasil di pendakian kedua. Berikut kisahnya
Terbersit Muncak ke Everest
©2022 Instagram @sharenews.id/Merdeka.com
Clara mengatakan, awal mula ketertarikannya menjajal puncak gunung bermula saat mengikuti resimen mahasiswa, di Universitas Atmajaya, sekitar awal tahun 1990an
Dikatakan, keyakinannya untuk menaklukkan puncak tertinggi di dunia itu setelah rekannya bernama Aryati berhasil mendaki puncak Annapurna IV (7.535 meter) di Nepal lewat salah satu program ekspedisi puncak gunung.
Ketika itu ia mulai tertantang untuk mendaki gunung, hingga di bulan Januari 1993 Clara bersama tiga pendaki puteri Indonesia lainnya mencapai puncak Aconcagua (6.959 meter) di pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Modal Nekat
Sementara itu, dalam peringatan puncak Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) tahun 2020 di Bontang Mangrove Park, Taman Nasional Kutai, Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur. Clara yang menjadi pembicara di sana mengaku saat itu hanya bermodal nekat.
Berbekal pendakian di beberapa gunung di Taman Nasional Indonesia seperti Rinjani, Semeru, Merapi-Merbabu, dan gunung Gede Pangrango, pada 26 September 1996 saat usia 29 tahun ia berhasil menaikki Everest walau kurang dari 11 menit di puncak karena suhu.
“Modal saya adalah nekad yang saya peroleh dari menjadi pelatih taekwondo dan bantuan pemerintah melalui koppasus dan KSAD TNI ”, kata dia, mengutip ksdae.menlhk.go.id
Diketahui Clara sudah dua kali mendaki Everest, yakni 1994 namun gagal karena badai, dan kedua di tahun 1996 hingga sampai puncak dibantu 5 pemandu asal Nepal.
Persiapan yang Dilakukan
Menurutnya, ada banyak persiapan yang wajib diperhatikan, salah satunya seputar fisik termasuk finansial di masa itu. Ia mengaku sempat mendapat bantuan sponsor, banyak di antaranya juga yang meragukan hingga bantuan datang dari Panitia Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Republik Indonesia, yang dibawahi Sekretariat Negara.
Untuk fisik, ia sempat latihan berlari, berenang, naik tangga yang dilakukan selama 5 jam sehari di Senayan. Kemudian tekad dan mental yang kuat untuk mencapai apa yang diinginkan menjadi pendorong yang amat penting.
“Kalau mau pergi kita seperti pindahan rumah, harus dipersiapkan dengan baik” terangnya
Sempat Masuk Rumah Sakit Jiwa
Diinformasikan, Clara pernah mengalami depresi di tahun 1997, atau satu tahun setelah mendaki puncak Everest. Bukan tanpa alasan ia mengalami hal demikian, keadaan itu dipicu karena tidak adanya apresiasi dari pihak-pihak terdekatnya.
Bahkan banyak yang menyangsikan karena minimnya bukti usai ke puncak Everest, salah satunya seperti foto yang menunjukkan ia memegang bendera di puncak. Di sana disebut tidak terlihat tiang segitiga yang menandakan lokasi puncak Everest.
Akhirnya ia pun dirawat di salah satu rumah sakit jiwa di Magelang, Jawa Tengah. Saat dilakukan perawatan, ia juga kerap menceritakan pengalamannya ke puncak everest kepada para perawat yang menanganinya
Diakui Secara Internasional
Walau begitu, sejumla catatan internasional justru membuktikan keaslian klaim Clara dengan mencantumkan nama serta tanggal pencapaian di buku-buku seperti Everest karya Walt Unsworth (1999), Everest: Expedition to the Ultimate karya Reinhold Messner (1999) dan website EverestHistory.com, sebuah referensi andal akan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendakian gunung di dunia.
Saat ini perempuan berusia 53 tahun itu masih aktif di dunia pecinta alam serta pendakian gunung, dengan menjadi pemateri dan pemandu.
Di tahun 2019, pengalaman Clara juga sempat ditulis dalam buku Indonesia Menjejak Everest karya Furqon Ulya Himawan.