Diangkat jadi Film Layar Lebar, Begini Potret Kelam Perebutan Kekuasaan di Banyuwangi Tahun 1965
Terpilihnya Suwarno Kanapi sebagai Bupati Banyuwangi yang diusung PKI membuat lawan-lawan politiknya tidak puas.
Terpilihnya Suwarno Kanapi sebagai Bupati Banyuwangi yang diusung PKI membuat lawan-lawan politiknya tidak puas.
Diangkat jadi Film Layar Lebar, Begini Potret Kelam Perebutan Kekuasaan di Banyuwangi Tahun 1965
Film Kupu-Kupu Kertas yang akan tayang di bioskop pada 7 Februari 2024 mengangkat sejarah kelam politik di Banyuwangi pada tahun 1965. Meskipun berlatar sejarah, film ini dibalut dalam drama percintaan dengan tujuan agar bisa diterima lebih banyak orang.
- Festival Kitab Kuning Banyuwangi Kembali Digelar, Angkat Perjuangan Santri Menjaga Negeri
- Disambut Meriah, Kirab Pataka Jer Basuki Mawa Beya Tiba di Banyuwangi
- Sugirah Resmi Menjabat Plt. Bupati Banyuwangi
- Sosok Ratna Ani Lestari, Bupati Perempuan Pertama Banyuwangi yang Memutuskan Berhenti dari Dunia Politik
Film
Mengutip situs banyuwangitourism.com, cerita film ini berangkat dari kisah sepasang kekasih Ning (Amanda Manopo) dan Ihsan(Chicco Kurniawan). Keduanya berasal dari latar belakang yang saling bertentangan. Ihsan lahir dari keluarga Nahdlatul Ulama (NU), sementara Ning merupakan anak seorang pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Kisah sejoli ini menjadi jendela untuk menyaksikan tajamnya konflik antara kelompok NU dan PKI di Banyuwangi pada tahun 1965 itu.
Syuting dilakukan di Hutan Djawatan, kawasan Gunung Ijen, dan Hutan Suko di Desa Gombengsari. Para pemeran film mengaku terkesan dengan keindahan alam Banyuwangi.
Bupati Terpilih
Pada tahun 1965, Suwarno Kanapi yang diusung PKI terpilih sebagai Bupati Banyuwangi. Hal itu berarti 15% lebih kursi eksekutif di Pemkab Banyuwangi akan jadi milik PKI. Mengutip repository.unej.ac.id, lawan-lawan politik yang tidak puas dengan terpilihnya Suwarno Kanapi melakukan berbagai cara licik untuk menunda pelantikannya. Para lawan politik PKI melakukan negoisasi dengan Gubernur Jawa Timur, melakukan unjuk rasa, dan memblokir jalan. Cara ini menunda pelantikan Suwarno Kanapi hingga tujuh bulan lamanya.
Melihat situasi ini, pihak lawan politik memanfaatkan dengan membentuk Front Bersatu untuk memonitor dan mengontol kegiatan-kegiatan PKI beserta simpatisannya.
Titik Tolak
Pada 16 Oktober 1965 digelar rapat akbar di Alun-alun Blambangan Banyuwangi. Rapat ini mempertegas bahwasanya PKI adalah dalang di balik insiden Gerakan 30 September 1965. Para Tokoh PNI, NU, Militer dalam rapat akbar itu sepakat mengutuk dan memprovokasi warga untuk menangkap PKI dan seluruh simpatisannya.
Melindungi Desa
Pada masa itu, Desa Karangasem dikenal sebagai basis PKI di Banyuwangi. Mengutip Wikipedia, orang-orang di sini dianggap sakti. Mendengar akan ada serangan dari Front Bersatu pimpinan Mursid Muncar, warga Karangasem bersiap.
Warga Karangasem menyusun strategi dan taktik untuk membendung Front Bersatu yang telah melakukan penjarahan, pengrusakan, dan penangkapan benda dan orang yang dianggap komunis di berbagai daerah di Banyuwangi. Sementara situasi di luar desa seolah bermusuhan karena berbeda afiliasi, di Desa Karangasem para tokoh PNI, PKI, NU dan Militer sepakat melindungi desa tanah leluhur mereka dari serbuan Front Bersatu. Warga Karangasem menumpangkan pohon untuk mengadang truk pasukan Front Bersatu yang berniat menyerang desa tempat tinggal mereka.Konflik Berdarah
Pada 18 Oktober 1965 konflik berdarah di Desa Karangasem tak terbendung. Pemuda Ansor Muncar melakukan penyerbuan. Menghadapi serbuat itu, semua laki-laki dewasa Desa Karangasem ikut bentrok. Mereka kebanyakan memakai senjata pedang, celurit, dan keris. Guna menghindari salah sasaran, warga Desa Karangasem memakai udeng merah dan ikat pinggang merah.
Bentrokan tersebut membuat satu warga Desa Karangasem tewas. Sedangkan dari kubu ANSOR Muncar hampir semuanya tewas dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua (lubang buaya) di Dusun Cemetuk.
Konflik berdarah di Desa Karangasem menjadi alasan dendam bagi organisasi anti-PKI. Pasca kejadian itu, para penggerak massa maupun yang terlibat di dalam peristiwa itu ditangkap dan ditahan di Kodim Gambiran. Mereka ditangkap karena namanya masuk dalam daftar pengkhianat. Perlakuan tidak manusiawi diberikan kepada anggota/simpatisan PKI. Politik balas jasa juga mewarnai Desa Karangasem.Jabatan kepala desa dan pamong desa menjadi rebutan mereka yang berjasa dalam penumpasan PKI. Pergantian nama desa pun dilakukan dari Karangasem menjadi Yosomulyo. Nama baru ini diharapkan menjadikan desa tersebut benar-benar bersih dari komunis.