Lebih Dekat dengan Dias Satria Dosen UB Lulusan Australia, Pernah Kerja Mengosek WC demi Keluarga
Lahir dari keluarga berkecukupan tak membuat hidup otomatis terus berjalan mulus.
Lahir dari keluarga berkecukupan tak membuat hidup otomatis terus berjalan mulus. Hal ini dialami oleh Dias Satria, seorang dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (UB) Malang.
Ayah Dias adalah seorang pramugara Garuda Indonesia dengan rute perjalanan luar negeri. Mengutip YouTube PecahTelur, ayah Dias sudah memiliki pengalaman lebih dari 20.000 jam terbang.
- Sebelum Dilantik Jadi Menteri, Potret Meutya Hafid Ziarah Kubur Ortu 'Tetap Sehat, Lancar Rezeki dan Pekerjaannya'
- Terpisah dari Ibu Selama 11 Tahun, Perempuan Kembar Ini Akhirnya Bisa Kumpul Keluarga di Australia
- Tak Disangka, Karyawan Australia Ternyata yang Paling Lelah Sedunia
- Sepasang Milenial Australia Rela Kerja Keras Demi Bisa Pensiun di Bali
“Saat krisis 1998, bapak saya pensiun dini dan saya harus pindah ke Malang sendirian saat itu, tinggal sama nenek. Sesudah pensiun bapak saya mencoba berbagai jenis bisnis gagal,” terang Dias.
Melihat kondisi ekonomi keluarga yang sulit hingga terlilit utang, Dias memutuskan pindah ke Malang saat dirinya masih kelas 2 SMP.
Perjuangan
Kepindahan Dias ke Malang dibersamai niat besar agar kelak bisa mengangkat derajat ekonomi keluarganya yang tengah terpuruk.
“Minimal menguliahkan tiga adik saya dan melunasi utang-utang,” ujar pria kelahiran Jakarta ini, dikutip dari YouTube PecahTelur.
Keterpurukan keluarga Dias tergambarkan dari ayahnya yang rela kerja serabutan dan banting tulang demi keluarga. Salah satu yang paling diingat Dias ialah momentum sang ayah membelikan sepatu bekas untuk dirinya karena tidak mampu membeli sepatu baru.
“Ayah saya meninggal mendadak saat usianya 50 tahun. Dia meninggal di rumah tetangga saat membuatkan akuarium untuk tetangga. Beliau dipandang sebagai orang yang sangat jujur oleh masyarakat. Beliau memang tidak sukses dalam bisnis, tapi banyak value yang diajarkan kepada anak-anaknya, jujur, kerja keras,” jelas Dias.
Jatuh Bangun
Kuliah menjadi privilese bagi Dias. Ia yakin kedua orang tuanya bekerja keras membiayai pendidikan sarjana yang ditempuhnya. Seiring waktu, keinginan Dias menjadi seorang dosen muncul saat dirinya menempuh pendidikan semester III.
Saat itu, ia menjadi asisten dosen dan mulai mendapatkan penghasilan untuk meringankan orang tuanya membayar biaya kuliah. Lulus program sarjana dengan predikat cumlaude, Dias kemudian berhasil mendapatkan beasiswa S-2 dan S-3 di Universitas Adelaide Australia.
“Saya menikah tidak punya modal, jadi nikah dibiayai mertua. Setelah nikah kami ke luar negeri (Australia),” ujar pria berkacamata ini.
Saat di Australia, Dias banting tulang menjalani profesi sebagai petugas kebersihan. Setiap hari, dia bekerja lima jam untuk membersihkan toilet, termasuk mengosek WC. Pekerjaan ini terpaksa ia lakoni karena beasiswa yang ia dapatkan dari pemerintah Indonesia tidak cukup untuk membiayai kehidupannya sekeluarga di Australia.
Buah Manis
Pulang dari Australia, Satria berhasil menyandang gelar PhD. Ia mendirikan berbagai usaha dan aktif di dunia pendidikan, membangun inkubator startup serta coworking space.
Tidak hanya sibuk sebagai akademisi, Satria juga membuat sebuah kafe. Tidak seperti kafe biasanya. Ia pun mengonsep kafe miliknya sebagai ruang kreatif untuk anak-anak muda dan komunitas.
“Selain ingin keluarga saya sakinah, saya ingin jadi dosen yang baik, saya berharap nanti anak-anak didiknya saya setelah lulus bisa memberikan kontribusi baik untuk masyarakat. Saya terinspirasi musisi Indonesia, Erix Soekamti yang membikin DOES University yang di situ anak-anak diajarkan video editing, animasi, dan lulusan mereka udah dipakai di mana aja,” ungkap Satria.