Ahok bisa dikalahkan
Berkaca pada pemilu 2012, ada hal tertentu yang bisa menjadi biang kerok kekalahan petahana. Hal itu dialami pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli saat dikalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Status petahana, elektabilitas dan popularitas yang tinggi bukan ukuran segalanya.
Petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok) masih berpeluang besar kembali memimpin DKI Jakarta 2017-2019. Dari survei Poltracking, meski cenderung turun, elektabilitas Ahok masih di atas calon kandidat lainnya.
Kepuasan masyarakat atas kinerjanya cukup diperhitungkan. Menurut hasil survei Poltracking, kepuasan warga Jakarta terhadap pemerintahan Ahok sebesar 68,72 persen, sedangkan responden yang tidak puas sebesar 27,7 persen. Sisanya menjawab tidak tahu.
-
Siapa saja kandidat yang bertarung di Pilkada DKI 2017? Saat itu, pemilihan diisi oleh calon-calon kuat seperti Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
-
Kapan Pilkada DKI 2017 dilaksanakan? Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 (disingkat Pilgub DKI 2017) dilaksanakan pada dua tahap, yaitu tahap pertama di tanggal 15 Februari 2017 dan tahap kedua tanggal 19 April 2017 dengan tujuan untuk menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022.
-
Bagaimana Ahok terlihat dalam fotonya saat kuliah? Tampak pada foto, Ahok tengah bergaya bersama teman-temannya saat awal masa kuliah di Trisakti.
-
Apa tugas Ahmad Sahroni di Pilgub DKI Jakarta? Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus akhirnya menunjuk Bendahara Umum (Bendum) Partai NasDem, Ahmad Sahroni sebagai ketua pemenangan untuk pasangan Ridwan Kamil - Suswono di Jakarta.
-
Apa saja isu yang muncul selama Pilkada DKI 2017? Apalagi pemilihan tersebut juga diwarnai dengan isu-isu seperti agama, etnis, dan kebijakan publik.
-
Bagaimana cara warga Jakarta memilih pemimpin di Pilkada DKI 2017? Dengan sistem ini, warga Jakarta bisa langsung berpartisipasi memberikan suara untuk menentukan pemimpin mereka hingga 5 tahun ke depan.
Namun demikian, para parpol dari Koalisi Kekeluargaan yakin bakal mengalahkan Ahok. Mereka optimis, salah satu cara mengalahkan Ahok adalah menghadirkan calon kuat. Sejumlah nama muncul mulai dari Sandiaga Uno, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, mantan Mendikbud Anis Baswedan, Yusril Ihza Mahendra, Sekda DKI Saefullah dan sebagainya. Meski kalah secara elektabilitas, duet para bakal calon ini diyakini bisa menjungkalkan mantan bupati Belitung Timur itu.
"Kita sedang menyiapkan poros baru. Yusril-Risma atau Yusril-Saefullah. Kami yakin Ahok bisa kalah," kata Wakil Ketua Dewan Pembina Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Aziz ketika berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, peneliti senior LIPI Siti Zhuro mengatakan, naik turunnya elektabilitas ataupun popularitas petahana adalah hal biasa. Sejauh bakal calon belum mendaftarkan diri di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), tinggi rendahnya elektabilitas tidak akan berpengaruh secara signifikan atau menentukan sikap pemilih.
"Fluktuatif itu biasa bagi petahana. Kalau sudah kampanyenya naik turun di survei itu baru bisa dipercaya," kata Siti kepada merdeka.com.
Petahana bukan segalanya
Berkaca pada pemilu 2012 lalu, ada hal tertentu yang bisa menjadi biang kerok kekalahan petahana. Hal itu dialami pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli saat dikalahkan pasangan Jokowi-Ahok. Status petahana, elektabilitas dan popularitas yang tinggi bukan ukuran segalanya.
"Kalau program lebih baik ya pasti orang akan pilih itu. Kita kembalikan saja pada Pilkada 2014," kata Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz.
Menurut dia ada tiga aspek yang dapat mengalahkan Ahok yakni head to head, pesaing yang programatik dan komunikasi yang tidak reaksional.
Pertama, jika head to head, prosesnya bisa terjadi dua arah. Misalkan ramai dulu baru berkumpul lawan Ahok. "Seperti sekarang ini kan. Ramai tapi nanti ada calon yang mengerucut," jelas dia.
Sementara untuk syarat kedua, kata Masykurudin, pesaing kuat harus datang dari mantan atau kepala daerah yang terbukti berhasil menyelesaikan persoaln daerah dan mengatur atau mereformasi birokrasi. Sedangkan syarat ketiga adalah calon yang tidak reaksional.
"Karena kita tahu, petahana itu bisa lawan dengan cara sepadan oleh orang yang punya perilaku baik dan program menata atau menyelesaikan masalah Jakarta," kata Masykurudin.
Tipikal pemilih Jakarta
Masykurudin dan Siti sama-sama yakin pemilihan di Jakarta tidak lagi dipengaruhi oleh SARA. Meskipun isu itu tetap ada, pemilih sudah bisa membedakan pilihannya berdasarkan program-program kandidat pada saat kampanye.
Siti membedakan tiga tipikal pemilih di Jakarta yakni, pemilih rasional, tradisional dan pemilih mengambang atau massa cair. Untuk pemilih rasional, jumlahnya diyakini lebih banyak karena faktor ibu kota dengan akses yang mudah seperti kampus dan media massa.
Sementara pemilih tradisional adalah pemilih yang berlatar kesukuan dan kepartaian. Kecenderungan mereka adalah latar belakang dan ikatan kepada partai. Dan jumlah pemilih ini diyakini Siti sebesar 6 persen di Jakarta.
"Pemilih tradisional itu masih banyak dimiliki parpol seperti PDIP, termasuk PKS. Itu jangan diabaikan lho, masih 6-7 persen," kata Siti.
Yang perlu diwaspadai menurut Siti adalah pemilih tipe mengambang. Pemilih ini rata-rata berasal dari kalangan menengah ke atas yang cenderung berhalangan atau secara sadar tidak menggunakan hak pilihannya (golput) pada saat pemilihan.
"Mereka ini bukan pemilih bodoh. Mereka itu edukatif, menengah ke atas dan ogah atau susah ke TPS," jelas dia.
Jumlah pemilih tipe massa cair atau mengambang diperkirakan 30 persen jika merujuk pada pemilihan 2014 lalu. Jika tidak diwaspadai oleh para calon ataupun parpol pengusung, kemungkinan besar suara pemilih akan berkurang.
"Kenapa jumlah masih besar ya karena tidak ada penalti seperti di Australia," kata Siti.
Baca juga:
Ahok sebut percuma elektabilitas tinggi jika tak daftar gubernur
Besok, PDIP finalisasi cagub dan cawagub DKI
Ahok balas Amien Rais: Suruh dia jalan ke Monas saja bisa pingsan
PDIP soal deklarasi Cagub DKI: Tunggu informasi dari sekjen
Manuver Amien Rais galang kekuatan tolak Ahok jadi Gubernur DKI