Bakat hebat, kenapa saat senior memble
Tanpa perubahan radikal dalam hal pembinaan pemain, sulit mengharapkan sepak bola Indonesia berprestasi di level dunia.
Dunia terkagum kagum dengan Barcelona yang merajai sepak bola Eropa. Gaya tiki takanya membius terutama pada kemampuan pemain yang saling memahami posisi maupun pergerakan dengan atau tanpa bola. Ibarat kata, kaki seperti punya mata, mata seperti punya hati.
Apa yang didapatkan Barcelona kini bukanlah pekerjaan sulap sembarang sihir. Semuanya terbangun lewat proses berkesinambungan dari tahun ke tahun. Data Sportingintelligence tahun 2012 menunjukkan, Barcelona adalah klub terhebat dalam hal memproduksi pemain berbakat. Setidaknya ada 38 pemain asal Akademi Barcelona (La Masia) yang beredar di lima liga besar Eropa; Inggris, Spanyol, Jerman, Italia, dan Prancis. Terminologi 'memproduksi' maksudnya seorang pemain menghabiskan waktu 3-5 tahun lebih di akademi sebuah klub pada usia 15-21 tahun, kurun yang dianggap tahun krusial pembentukan pemain.
Peringkat kedua diduduki Lyon dengan 31 pemain, berikutnya Real Madrid (29 pemain) dan Rennes (24 pemain). Studi ini dilakukan terhadap 2.286 pemain di 805 klub seluruh dunia.
Yang istimewa dari data itu, 14 di antara 38 pemain dari Akademi Barcelona pada musim 2012 tercatat masih membela klub Katalunya itu di level senior. Atau secara persentase, 63 persen pemain Barcelona senior berasal dari La Masia. Sejarah bahkan tercipta pada November 2012 ketika 11 pemain yang tampil lawan Levante di Ciutat de Valencia semuanya alumni La Masia!
Jika ditarik mundur, persentase alumni La Masia tim tim senior Barcelona selalu naik dari 46 persen (2008/2009), 47 persen (2009/2010), 57 persen (2010/2011), dan 63 persen (2011/2012). Musim ini, deretan statistik itu makin mencengangkan ketika persentasenya bertambah menjadi 68 persen. Tercatat 17 dari 25 pemain tim senior Barcelona lulusan La Masia.
Pemain terlama menghuni Barcelona adalah Xavi, total 23 tahun sejak usia 10 tahun. Saat Xavi masuk Barcelona, pemain seperti Cristian Tello, Isaac Cuenca, Marc Bartra, dan Martin Montoya baru saja dilahirkan.
Kebersamaan dan kesinambungan perjalanan karier pemain tak pelak menjadi kunci sukses Barcelona. "Bagi kami, Barcelona bukanlah bisnis, melainkan perasaan," kata Presiden Barcelona, Sandro Rossel.
***
Salah satu tolok ukur kehebatan pemain muda dalam sepak bola adalah bakat. Di mata pelatih Arsenal, Arsene Wenger, tiga modal besar pemain adalah bakat, kecerdasan, dan motivasi. Proses pencarian bakat selama ini menjadi tulang punggung sukses Arsenal selama 17 tahun era Wenger.
Saat Wenger datang pada 1996, dia mengubah secara radikal jaringan pemandu bakat Arsenal. Perintah Wenger agar pemandu bakat Arsenal ada di seluruh bagian penting bumi.
Beberapa mantan pemain masuk dalam jaringan pemandu bakat seperti Gilles Grimandi bertanggung jawab untuk wilayah Prancis dan Swiss, lantas Danny Karbassiyoon punya wilayah operasi di Amerika dan Meksiko. Posisi-posisi penting dicover satu orang seperti Brasil; Argentina; Amerika Selatan; Skandinavia; Prancis, Spanyol, Portugal; Jerman, Rep Ceko; Italia, Slovenia, Kroasia; dan Belanda.
Hasil yang diraih adalah pemain pemain berkualitas tinggi tetapi berharga murah. Wenger tak perlu merogoh kocek dalam-dalam saat mendatangkan Nicolas Anelka, cukup 500 ribu pounds. Kolo Toure ditebus hanya 150 ribu pounds, sementara Patrick Vieira dibayar sekadar 3,5 juta pounds.
Deretan nama penting ini : Cesc Fabregas, Freddie Ljungberg, Emmanuel Petit, Kolo Toure, Marc Overmars, Nicolas Anelka, Patrick Vieira, Robert Pires, dan Theirry Henry ketika itu semuanya total menghabiskan 34,5 juta pounds. Bandingkan dengan pembelian hanya seorang Gareth Bale yang mencapai hampir tiga kali lipat jumlah tersebut.
Hingga kini jaringan pemandu bakat Arsenal bertahan dengan jumlah 22 orang di seluruh dunia. 12 di antaranya berposisi di Inggris demi tujuan memperkuat dan mempertahankan akar sepak bola Inggris.
***
Kesinambungan karier dan pencarian bakat saling bertaut di balik cerita sukses produksi pemain berkualitas.
Dalam hal bakat, sebenarnya pemain-pemain muda Indonesia tidak kalah bersaing. Salah satu proses pemanduan bakat paling gemilang dalam sejarah sepak bola Indonesia adalah tim yang menjadi juara Piala Pelajar Asia tahun 1984 dan 1985. Itulah satu satunya gelar Asia bagi Indonesia meskipun untuk level pelajar.
Pemain yang menjadi roh sukses ketika itu seperti Theodorus Bitbit, Noah Meriem, Frans Sinatra Huwae, adalah bakat terbaik seluruh nusantara yang dikumpulkan di Diklat Ragunan, dilatih Bukhard Pape dari Jerman. Apa yang terjadi selepas prestasi membanggakan itu? Prestasi saat senior memble. Para pemain sulit berkembang karena tidak ada kesinambungan karier.
Cerita lebih buruk terjadi sekarang. Pernahkah ada gerakan masif menyebar pemandu bakat ke seluruh pelosok nusantara?
Kalaupun ada bibit- bibit terbaik, banyak yang kemudian terbuang karena tidak ada klub peserta liga utama punya pembinaan berjenjang dari usia 10 sampai 21 tahun. Klub-klub ini tidak pernah punya niat membangun akademi melainkan lebih asyik membeli pemain. Mereka lupa, atau barangkali tidak pernah sadar jika investasi akademi bisa menghasilkan keuntungan finansial di masa depan lewat penjualan pemain.
Level pengambil kebijakan terpenting dalam klub tidak pernah punya visi jangka panjang bahwa akademi pemain adalah tahapan utama sukses. Mereka kebanyakan berlatar belakang politisi, biasanya didasari faktor ingin merebut simpati instan demi kepentingan politik lewat sepak bola. Masa bodoh dengan pembinaan pemain.
Sulit dijumpai keterlibatan kepala tim akademi dalam struktur utama kepengurusan klub di negeri ini. Bagaimana mau melibatkan, kepala akademi saja tidak pernah ada dalam struktur klub. Padahal, ini jamak dilakukan di Eropa dengan tujuan membuka jalan kesinambungan karier bibit-bibit remaja.
Yang juga ironis, pembina sepak bola di negeri ini lupa bahwa penanaman sejak dini nilai-nilai penting dalam sepak bola seperti loyalitas, respek, persahabatan, ketekunan akan sangat berguna saat pemain memasuki level senior.
Tanpa perubahan radikal dalam hal pembinaan pemain, sulit mengharapkan sepak bola Indonesia berprestasi di level Asia, bahkan dunia.