Senyum Lebar Sekjen PDIP Hasto Saat Dengar MK Ubah Aturan Pilkada
Sekjen PDIP Hasto menyampaikan terima kasih kepada MK.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto tersenyum lebar saat mendengar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas atau threshold calon kepala daerah.
Lewat keputusan MK tersebut, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.
"Justru kami tersenyum karena keputusan MK tersebut. Ini mencerminkan bahwa ada berbagai upaya-upaya untuk di daerah khusus ibu kota membuat calon tunggal, itu nanti tidak dimungkinkan lagi," kata Hasto di Gedung KPK, Selasa (20/8).
Hasto menyampaikan terima kasih kepada MK. Dia menyebut, keputusan MK itu membuat PDIP bisa mengusung calon Gubernur di Jakarta tanpa berkoalisi dengan partai lain.
Ketika disinggung apakah bakal mengusung Anies Baswedan berpasangan dengan Hendrar Prihadi di Pilgub Jakarta, Hasto belum bisa menjawab. Dia mengatakan, partainya menunggu aspirasi rakyat.
"Ya kan calon sendiri bisa mengajukan, ya nanti kita lihat aspirasi rakyat, ini kan suatu keputusan yang memberikan angin segar. Sehingga kami langsung berdialog untuk melihat bagaimana harapan-harapan rakyat tersebut," jelas Hasto.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.
Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.
Adapun isi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.
"Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tutur Enny dalam persidangan.
Inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada tersebut tentu berdampak pada pasal lain, seperti Pasal 40 ayat (1).
"Keberadaan pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016," ungkapnya.
Adapun isi pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada sebelum diubah yakni, "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan."