Berpura cacat demi rupiah
Seorang pengemis anak mengaku bisa menabung Rp 500 ribu saban bulan.
Waktu menunjukkan pukul 10.20 Jumat pekan lalu. Suasana menjelang siang di sekitar emperan Jatinegara, Jakarta Timur, tidak begitu ramai. Tidak jauh dari sana, pengemis pria paruh baya berkemeja putih bergaris hitam berjalan dituntun oleh seorang pemuda.
Jalannya tertatih-tatih sambil memegang pundak pemuda berkaos kuning di kolong jembatan. Dua pengemis itu baru saja turun dari dalam Kopaja 506 jurusan Kampung Melayu-Pondok Kopi. Saat meletakkan kaki di emperan kaki lima, pengemis buta itu tiba-tiba saja berjalan normal. Matanya tiba-tiba saja terbuka.
Pulihnya mata tukang minta-minta itu bukanlah mukjizat. Kedua matanya melek lagi setelah melihat puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja merazia sepanjang Matraman hingga Stasiun Jatinegara. Dua pengemis itu lantas berjalan terburu-buru menaiki Kopaja rute sama.
Berpura cacat juga dilakoni pengemis anak berinisial BR, 12 tahun. Saban sore dia berjalan dari kontrakannya di bilangan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Dia membawa tas gemblok berisi celana pendek berukuran besar untuk beroperasi di sekitar Blok M Plaza hingga simpang CSW, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Celana itu digunakan untuk membungkus kakinya setelah ditekuk agar terlihat buntung. "Saya ganti celana di gorong-gorong dekat (masjid) Al-Azhar Kebayoran Baru," kata BR saat berbincang dengan merdeka.com di dekat Blok M Plaza Jumat malam pekan kemarin.
BR bercerita terpaksa menjadi pengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan patungan membayar kontrakan. Dia datang dari Kota Palembang, Sumatera Selatan, karena diajak rekannya menumpang truk ke Jakarta. "Saya tidak punya ayah dan ibu, kakak saya juga nggak tahu ke mana," ujarnya.
Cara mengemis dia dapat dari teman satu kontrakannya. Untuk menyiasati agar seperti orang cacat, kaki kiri dia tekuk ke dalam dan dibungkus celana pendek longgar. BR mengaku enak mengemis lantaran pendapatannya per hari lumayan untuk makan dan sisanya juga ditabung. Paling tidak, dia membawa pulang Rp 50 ribu. "Sisanya saya tabung Rp 500 ribu per bulan," katanya. Dia mengaku menjadi pengemis bukan disuruh dan sistem setoran, menjadi pengemis karena temannya juga demikian.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan Pemerintah provinsi DKI Jakarta mesti menuntaskan maraknya anak diekploitasi oleh keluarga atau orang lain menjadi pengemis. Dia mempercayai pengemis anak di Jakarta bagiandari sindikat. "Ini masuk dalam kategori tindakan pidana," tuturnya.