Bikin animasi itu mahal
Biaya produksi film Meraih Mimpi hampir Rp 50 miliar.
Pernah suatu ketika Deswara Aulia Subarkah atau Adez Aulia, kedatangan seorang teman yang menawarkan kerja sama membuat film animasi. Saat itu juga Adez langsung menanyakan pasar ingin dituju. Mendengar pertanyaan itu, sang teman hanya terdiam.
“Bila ada yang ngajak bikin film animasi, pertama saya tanya untuk Indonesia atau Internasional. Bila Indonesia, saya akan bilang silakan, tapi kalau pasar Internasional saya akan ikut gabung dan membantu,” katanya kepada merdeka.com kemarin.
Bagi Adez Aulia, animasi harus dilihat sebagai industri. Mulai dari perencanaan harus memiliki konsep matang dan sasaran pasar jelas. Dia menyebut biaya membuat film animasi tidak bisa disamakan dengan harga memproduksi sinetron.
Dia merupakan salah satu produser Meraih Mimpi yang dilansir di bioskop Indonesia pada September 2009. Film animasi tiga dimensi garapan Infinite Frameworks (IFW), studio animasi di Batam, ini adalah versi Indonesia dari film Sing to the Dawn yang rilis pertamanya di Singapura pada 2008.
Adez menyebut dana penggarapan film itu hampir setara Rp 50 miliar. Menurut dia, tidak mengherankan bila animasi karya animator Indonesia tidak banyak beredar dalam tayangan televisi nasional. Akibatnya, tidak sepopuler animasi dari luar negeri, seperti Upin Ipin saat ini.
Dalam dua dekade terakhir, film animasi asli Indonesia yang tampil di layar televisi nasional tidak banyak. Sebut saja Si Huma (TVRI, 1983) , Satria Nusantara dan Hela heli (TPI, 1996), Mahabharata (RCTI, 2006), Si Kabayan (Global TV, 2009), Vallata Sang Pelindung (Trans 7, 2011), Menggapai Bintang (Global TV, TVRI, dan MNCTV, 2011), dan Aksi Didi Tikus, tayang sejak 2010 sampai saat ini di MNCTV.
Namun, menurut Adez Aulia, Aksi Didi Tikus tidak sepenuhnya film animasi karena ada adegan dengan manusia. Sebab, film ini dibuat dengan sistem kejar tayang. Kalau mau benar-benar kartun, pembuatan satu episode saja bisa satu minggu.
Mantan produser senior di Infinite Frameworks Studios ini mengakui pasar film animasi sesungguhnya adalah pasar internasional. Dia sering kasihan dan kecewa bila mendengar ada animator Indonesia masih rugi saat membuat film kartun. “Animasi itu industri, animatornya harus hidup layak, tidak bisa berkarya kalau hanya mengandalkan pasar film Indonesia,” ujarnya.
Pengajar dan Direktur Pemasaran di International Design School (IDS) Jakarta, ini mengakui kurangnya penerimaan animasi di Indonesia juga karena industri animasi memiliki habitat sendiri. Dia menyebut basis dari animasi dalah novel, komik, dan yang lainnya, sebagai bentuk garansi produk. Dia mencotohkan novel Negeri Lima Menara sudah sedemikian laku hingga jutaan eksemplar, itu tanda baik untuk bikin film animasinya.
Hal mendasar untuk industri animasi,kata dia, masih belum berjalan masif. Dia mencontohkan tidak ada lanjutan dari komik Si Buta Dari Goa Hantu. Dia membayangkan Si Buta mestinya sudah memakai kaca mata hitam buatan Google dengan pakaian modern dan mengikuti perkembangan zaman. “Satu tokoh komik di Amerika, bisa digambar oleh banyak orang dan karakter tokoh itu begitu kontemporer,” kata Adez Aulia.