Buzzer pada keblinger
"Ya bisa saja (buzzer bisa menyerang lawan) intinya kan dia bisa mendapatkan uang dengan mengatakan sesuatu,"
Ini sebuah kisah pengakuan dari seorang buzzer politik di media sosial namanya meminta di rahasiakan. Namanya kami samarkan, sebut saja Franky. Kepada merdeka.com dia banyak bercerita soal aktivitas para buzzer politik belakangan mulai marak menghiasi jejaring media sosial.
Ceritanya begini. Tahun lalu, dia pernah digunakan untuk membuat kicauan di twitter tentang perseteruan seorang tokoh politik sebuah partai. Saban hari sejak pertengahan tahun lalu, tepatnya ketika dua tokoh partai politik itu berseteru, dia dibayar untuk mengadang pemberitaan negatif yang menyerang kliennya.
Hampir saban hari dia pindah-pindah tempat buat pinjam wifi di salah gerai mini market. Dia juga mondar mandir dari warung internet satu ke warnet yang lain. Tujuannya agar tidak terlacak dan menghilangkan jejak. Franky mengaku membuat akun netizen anonim untuk mengadang berita negatif kliennya.
"Selama hampir sebulan saya bertugas mengetwit berita-berita positif," ujar Franky saat berbincang dengan merdeka.com, Minggu sore kemarin. Dia pun mengaku di bayar Rp 1,5 juta selama melakukan tweet melalui jejaring media sosial twitter. "Kalau tidak ada isu, anteng aja," katanya.
Franky pun menuturkan, jika selama mengadang berita negatif kliennya, dia menggunakan aplikasi Roundtime. Sebuah aplikasi yang bisa digunakan untuk meretweet berita yang dia posting secara otomatis oleh akun anonim lain dia bikin. Kebetulan saat melakukan buzzer itu, Franky memiliki 10 akun anonim. Dari sepuluh akun hanya satu yang asli.
Menurut Franky, tujuan buzzer itu adalah membentuk citra positif kliennya. Dalam hal ini mendudukkan posisi kliennya sebagai orang yang tidak bersalah. "Hanya satu akun yang real," tutur Franky. Dia menambahkan setelah selesai dengan proyek buzzer tokoh politik itu, dia menyerahkan sepuluh akun media sosialnya untuk di analisa.
"Saya serahkan 10 akun itu berikut kata sandinya untuk dianalisa," katanya.
Sebetulnya, bukan baru kali ini saja Franky menjadi seorang buzzer politik. Tahun 2012 saat Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, dia juga menjadi seorang buzzer buat salah satu calon untuk saling serang di media sosial. Kontak itu dia lakukan selama sepuluh bulan sebelum Pilkada berlangsung. "Waktu Pilkada 2012 juga," katanya.
Pengamat Media Sosial juga salah satu tokoh blog Indonesia, Enda Nasution pun tak menampik banyaknya para buzzer media sosial bermain di ranah politik. Tujuannya menurut Enda tak lain mendapatkan bayaran dengan melakukan kicauan berbau politis. "Ya bisa aja (buzzer bisa menyerang lawan) intinya kan dia bisa mendapatkan uang dengan mengatakan sesuatu," ujar nya melalui sambungan seluler pekan lalu.
Meski demikian, Enda mengatakan, sejatinya seorang buzzer itu digunakan untuk menyerang sebuah produk maupun tokoh, bisa jadi jasanya tidak akan dipakai lagi "Dengan mengandalkan jumlah pengikut yang besar. Kalau dia mau, bisa saja dia seperti itu," katanya.
Kicauan, Postingan, upload biasa dilakukan para buzzer, selebtwit, selebgram atau Youtubers memang belakangan mulai marak. Apalagi jika kita tengok kicauan dalam media sosial, twitter. Jangan kaget jika ada perang argumentasi untuk mendukung atau menjatuhkan lawan politik. Kemudian juga bisa lihat postingan sebuah artikel di facebook, kini banyak orang menyudutkan tokoh tertentu tak terkecuali juga dalam kolom komentar portal berita.
Menurut Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia Irwansyah, keberadaan para buzzer politik di media sosial ini beberapa tahun ini memang mulai marak. Apalagi saat ini menjelang momentum pemilihan kepala daerah yang bakal berlangsung awal tahun 2017. Banyak kicauan atau postingan di media sosial bernada tendensius memojokkan atau mengkritisi sebuah pemberitaan.
Meski demikian, Irwan mengatakan bisa jadi para buzzer itu juga tidak mendukung salah satu calon. "Bisa saja, seorang yang mendukung, terus dia buat akun baru untuk menyerang. Di media sosial itu viral, semua orang bisa membuat akun sesuka hati mereka, kan buzzer itu mencari audience sebanyak-banyaknya," ujar Irwansyah melalui sambungan seluler.
Enda pun mengatakan hal serupa, para buzzer ini dalam kicauannya bisanya mencari dukungan. Misal dalam konteks pemasaran sebuah produk. Namun demikian, dalam terminologi media sosial, itu bukan saja dilakukan sebagai salah satu cara untuk strategi penjualan. Bisa saja dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah, seorang buzzer dibayar untuk melakukan kicauan politik untuk membuat karakter penokohan.
Enda mencontohkan, biasanya para buzzer dalam kicauan atau postingannya akan menulis sebuah rekomendasi dari sumber terpercaya. Namun bisa juga itu dilakukan hanya untuk menghakimi lawan politik dengan membuat akun anonim. Meski demikian, Enda mencontohkan dalam akun instagram, bisa saja seorang buzzer menjual postingannya berisi tentang meme-meme untuk menyudutkan lawannya. Bayarannya pun mahal, di ukur melalui jumlah followers.
"Contoh kalo di Instagram, followers sudah mau 10 juta untuk hal dagelan mereka meminta bayaran Rp 5 juta sekali posting," ujar Enda.
Dalam konteks kampanye menjelang Pilkada, Irwansyah menambahkan jika seorang calon menggunakan buzzer untuk melakukan kampanye di media sosial merupakan sesuatu yang wajar. Apalagi kata dia penggunaan para buzzer politik untuk melakukan kampanye di media sosial itu belum tentu efektif dilakukan. Bisa jadi kata Irwansyah, dengan postingan para buzzer itu hanya bisa membuat para swing voters saling serang dalam komentar dari masing-masing calon yang dijagokan.
"Dalam kondisi ini kalo secara analog, katakan dunia digital, itu sah-sah saja," ujar Irwansyah.