Golkar lihai sembunyikan kasus hukum
Tak sedikit politisi Golkar yang terseret kasus korupsi namun tak jelas penyelesaiannya.
Banyak politisi terjerat kasus korupsi. Fakta ini bukanlah isapan jempol belaka. Demikian pula kasus korupsi yang menyeret politisi Partai Golongan Karya (Golkar). Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2012 saja, kader Partai Golkar menempati urutan pertama untuk pelaku korupsi yang berlatar belakang partai politik. Sementara itu, Partai Demokrat dan PDI Perjuangan menempati posisi kedua dan ketiga.
ICW mencatat, sedikitnya 44 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi sepanjang Januari hingga Juni 2012. Sebanyak 21 orang berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan, baik di pusat maupun di daerah. Kemudian 21 orang dari kepala daerah atau mantan serta dua orang pengurus partai.
Meski dicap sebagai pencetak koruptor terbanyak, namun tak sedikit pula politisi Golkar yang tidak tersentuh hukum. Di antara nama-nama politisi yang disebut terlibat kasus korupsi, banyak politisi Golkar dinyatakan tak terbukti korup hingga kini. Tak ayal, sebutan kebal hukum, bermain cantik dan lihai pun muncul dari kalangan masyarakat kepada politisi Golkar yang 'lolos' dari jerat hukum.
"Ya dua-duanya lah (kebal hukum dan bermain cantik). Mereka punya jaringan kuat dan luas. Mereka punya kelihaian dalam menyembunyikan kasus hukum," kata Pengamat Politik LIPI, Syamsudin Haris ketika dihubungi merdeka.com di Jakarta, Rabu (25/11).
Berkuasa sejak Orde Baru (Orba) tak membuat politisi Golkar belajar dari pengalaman. Ungkapan tua-tua keladi, makin tua makin jadi laik untuk politisi Golkar yang tersandung kasus korupsi. Bukannya membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik, namun perilaku koruptif itu nampaknya enggan beranjak dari wajah partai yang didirikan Soeharto itu.
Selain tak lagi mendominasi kursi di DPR dalam dua kali pemilu terakhir, politisi Golkar tetap menduduki posisi penting nan strategis di parlemen. Katakan posisi Badan Anggaran (Banggar DPR) dihuni oleh Ahmadi Noor Supit, Komisi III yang membawahi bidang hukum oleh Aziz Syamsuddin dan Komisi XI DPR oleh Fadel Muhammad yang notabene sebagai posisi penting. Menurut Syamsudin, hal ini bukan berarti ada upaya tertentu dari Golkar untuk kembali mendominasi di Senayan atau semacamnya. Bagi dia, mendapat posisi di tiga ladang basah ini merupakan suatu keadaan alamiah bagi politisi yang menduduki kursi di DPR.
"Itu mah alamiah. Natural saja. Siapapun yang menduduki DPR pasti ingin yang eksekutif," lanjut dia.
Namun demikian, Syamsudin menilai politisi Golkar yang menduduki posisi strategis itu tak lepas dari usia dan pengalaman Golkar. "Cuma Gokar punya pengalaman lebih dalam hal itu. Kan mereka sudah lama. Kelebihannya ada di situ," tutup Syamsudin.
Salah satu politisi yang dianggap licin dari jeratan hukum adalah Setya Novanto. Meski namanya kerap disebut terlibat dalam sejumlah skandal kasus korupsi, Setya Novanto selalu lolos.
Misalnya pada tahun 1999, Setya Novanto terlibat kasus pengalihan hak piutang (cessie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara Rp 904,64 miliar.
Pada tahun 2003, Setya juga disebut terlibat penyelundupan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton. Setya bersama rekannya di Golkar, Idrus Marham, diduga sengaja memindahkan 60 ribu ton beras yang diimpor Inkud, dan menyebabkan kerugian negara Rp 122,5 miliar. Keduanya dilaporkan pada Februari-Desember 2003 telah memindahkan dari gudang pabean ke gudang nonpabean. Padahal bea masuk dan pajak beras itu belum dibayar. Namun sampai kini, tak jelas penyelesaian kasus tersebut.
Tahun 2006, nama Setya kembali muncul dalam kasus penyelundupan limbah beracun (B-3) di Pulau Galang, Batam. Setya Novanto disebut-sebut berperan sebagai negosiator dengan eksportir limbah di Singapura. Enam tahun berselang, Setya terlibat kasus Korupsi Proyek PON Riau 2012. Setya diduga mempunyai peran penting dalam mengatur aliran dana ke anggota Komisi Olahraga DPR untuk memuluskan pencairan anggaran Pekan Olahraga Nasional di anggaran pendapatan dan belanja negara.
Setya pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada 29 Juni 2012 sebagai saksi, karena pernah ditemui Gubernur Riau Rusli Zainal untuk membahas PON Riau. Ruang kerja Setya di DPR juga sempat digeledah penyidik, namun lagi-lagi tak ada bukti yang bisa menjerat Setya Novanto.
Setya juga diperiksa untuk tersangka mantan Gubernur Riau Rusli Zainal pada 19 Agustus 2013. Rusli ditetapkan sebagai tersangka, dalam kasus perubahan peraturan daerah untuk penganggaran PON. Kala itu, Setya membantah semua tuduhan dan mengaku tak tahu soal kasus PON.
Pada tahun 2013, nama Setya Novanto disebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di Kementerian Dalam Negeri. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebut Setya dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR.
Setya dituduh meminta fee 10 persen ke Paulus, pemilik Tannos PT Sandipala Arthaputra yang merupakan anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia, yang memenangi tender proyek e-KTP. Pertemuan berlangsung tiga kali di Jakarta. Sekali lagi, tak ada bukti yang membenarkan bahwa Setya terlibat dalam kasus ini.
Belakangan, Novanto kembali terseret dalam polemik perpanjangan kontrak PT Freeport. Setya dan Dirut PT Freeport Maroef Sjamsoeddin diketahui melakukan sejumlah pertemuan untuk membahas kontrak Freeport yang habis tahun 2022. Pertemuan ini dibongkar oleh Menteri ESDM Sudirman Said melalui rekaman percakapan. Rekaman itu menyebutkan jika Setya ingin saham Freeport dibagi ke Presiden Jokowi dan Wapres JK agar perpanjangan kontrak dilakukan.
Kasus ini kemudian tengah diusut oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sejumlah pihak menilai Setya melanggar kode etik sebagai anggota DPR, ada juga politisi Senayan yang ajukan mosi tidak percaya kepada Waketum Golkar kubu Aburizal Bakrie (Ical) ini. Setya diminta mundur dari kursi Ketua DPR.