Harga polisi, martabat Jokowi
Polisi memainkan perkara, sudah biasa. Perintah Presiden diabaikan, itu yang luar biasa.
Mungkin Anda pernah berkendara sepeda motor. Dalam satu tikungan, tiba-tiba polisi mencegat. Anda harus berhenti, meski tahu polisi tidak sedang melakukan operasi lalu lintas. Anda tenang saja, karena merasa tidak ada yang salah: bawa STNK, memiliki SIM C, memakai helm, dan kendaraan dalam kondisi lengkap.
Jika Anda naik mobil, maka Anda akan mendapat hormat dan sapaan hangat, "Selamat siang, Pak," atau "Selamat malam, Bu," sebelum polisi meminta surat-surat untuk diperiksa. Tapi karena cuma pengendara sepeda motor, maka polisi biasanya langsung saja, "Tolong, surat-suratnya, STNK dan SIM." Tentu Anda harus segera menunjukkan.
Setelah melihat STNK dan SIM, polisi biasanya mengecek perlengkapan sepeda motor: plat nomor polisi, spion, rem, lampu, knalpot, dan lain-lain. Karena Anda yakin semua beres, maka Anda biasa saja. Tinggal menunggu STNK dan SIM dikembalikan, lalu melanjutkan perjalanan.
Tetapi tanpa Anda duga, polisi itu berujar, "Wah, ini helmnya bukan helm standar." Anda pun mencopot helm yang Anda kenakan. Polisi memegang helm sambil menekan-nekan, lalu menegaskan, "Ya, ini helmnya tidak standar."
Anda mungkin tertegun, karena Anda merasa tidak tahu persis helm yang standar itu seperti apa. Lagi pula sudah lama helm ini Anda kenakan dalam berkendara motor, dan tak terjadi suatu apa. Pada saat operasi lalu lintas sebelumnya, polisi juga tidak mempersoalkan helm itu.
Tapi polisi ini punya pandangan lain. "Berbahaya pakai helm tak standar, kalau jatuh tidak bisa melindungi kepala, malah bikin celaka. Ini tak boleh. Dilarang pakai helm asal-asalan. Itu adalah pasalnya," katanya sambil menyebut pasal ini pasal itu, yang Anda tidak paham dan tidak mungkin mengecek ke undang-undang yang disebutkan.
Sambil mengeluarkan surat tilang, polisi itu terus bercerita soal bahayanya mengenakan helm tidak standar. Jika Anda diam mendengar, maka dia akan melanjutkan bicara soal denda yang harus Anda bayar. Jika Anda terus berlagak bego, maka dia akan menyebut jumlah rupiah dan kantor pengadilan, yang jauh dari lokasi kejadian.
Dan jika Anda benar-benar tidak merasa kasihan sama harga diri polisi, maka Anda bisa menebak apa berikutnya. Tak butuh waktu lama, dia akan menyebut sejumlah rupiah untuk harga tidak jadi ditilang. Jika polisi menyebut angka Rp 100 ribu, lalu Anda kasih Rp 50 ribu, masalah selesai. "Saya tidak minta lho ya," katanya sambil mengembalikan helm, STNK dan SIM C. Anda pun bisa melanjutkan perjalanan sambil mengumpat.
Semua itu hanya ilustrasi cerita. Tetapi nyata ada. Jika hanya sedikit orang yang mengalaminya, mana mungkin muncul cerita macam-macam tentang ulah polisi jalanan. Itulah harga diri polisi, Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, atau Rp 100 ribu.
Tentu harga diri bintara polisi di jalanan, beda dengan perwira yang berkantor di markas. Karena urusannya tidak sama, maka harga pun beda-beda juga. Bagian reserse dan kriminal dikenal sebagai lahan gemuk karena berbagai macam kasus bisa diperjualbelikan. Mulai dari memberkas laporan sampai melimpahkan ke kejaksaan.
Tidak seperti di jalanan polisi lalu lintas biasa menjual harga tilang secara eceran, polisi di reskrim bisa memilih kasus dengan harga maksimal. Dengan harga pula polisi juga bisa mengabaikan atau menyimpan kasus, tapi polisi lain bisa memunculkan kembali dengan harga yang berbeda pada kesempatan lain.
Cerita-cerita begini sudah menjadi pengetahuan umum. Oleh karena itu, ketika Bareskim Mabes Polri melakukan macam-macam tindakan untuk menekan para pimpinan KPK, masyarakat tidak heran. Tidak ada kejutan, karena pengetahuan dan pengalaman serupa sudah terekam di benak. Ini hanya beda kasus, beda ukuran.
Jika Anda merasa dibikin pusing oleh tindakan polisi dalam menerima dan memproses laporan-laporan yang tidak masuk akal menyangkut pimpinan KPK, maka Anda seperti bukan orang Indonesia yang tinggal di Indonesia.
Namun bisa mengerti tindakan polisi, tidak sama dengan memaklumi tindakan itu. Akal sehat kita tetap berontak, apalagi nurani. Maka tidak heran jika banyak orang, banyak aktivis, dan banyak tokoh yang mengecam tindakan polisi sekaligus mendukung pimpinan KPK agar tetap kuat mengemban misi anti korupsi.
Kita tidak perlu berputus asa jika polisi terus menjalankan aksinya dalam menekan pimpinan KPK. Silakan diteruskan, kebenaran akan muncul dengan sendirinya nanti. Semangat untuk memberantas korupsi akan terus bergelora, ada atau tidak ada pimpinan KPK masuk penjara. Ini bukan hanya soal keadilan, tetapi martabat bangsa.
Yang baru dari kejadian ini adalah kita menjadi tahu bagaimana pimpinan polisi melihat dan menilai Presiden Jokowi: tidak takut, apalagi hormat. Ingat, sebelumnya Jokowi berkali-kali bilang, agar (polisi) tidak melakukan macam-macam, tidak melakukan kriminalisasi (terhadap pimpinan KPK).
Baca juga:
Dilema Jokowi, pilih elit atau berpihak rakyat
Jokowi, dijepit elit dituntut publik
Jokowi abai, KPK tak lalai
Jokowi bangkitkan harapan rakyat Papua
Hamdan, Busyro, dan Ramlan, kok dites lagi
SBY yang berternak, Jokowi yang memotong
-
Apa yang diharapkan dari kolaborasi KPK dan Polri ini? Lebih lanjut, Sahroni tidak mau kerja sama ini tidak hanya sebatas formalitas belaka. Justru dirinya ingin segera ada tindakan konkret terkait pemberantasan korupsi “Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,” tambah Sahroni.
-
Siapa yang mengapresiasi kolaborasi KPK dan Polri? Terkait kegiatan ini, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni turut mengapresiasi upaya meningkatkan sinergitas KPK dan Polri.
-
Di mana terjadi baku tembak antara TNI-Polri dan KKB di Intan Jaya? Rentetan kontak senjata antara TNI-Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua terjadi di Kabupaten Intan Jaya sejak Minggu (21/1) hingga Selasa (23/1).
-
Kapan baku tembak antara TNI-Polri dan KKB terjadi di Intan Jaya? Rentetan kontak senjata antara TNI-Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua terjadi di Kabupaten Intan Jaya sejak Minggu (21/1) hingga Selasa (23/1).
-
Bagaimana cara agar kolaborasi KPK dan Polri ini efektif? “Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,” tambah Sahroni.
-
Siapa yang melaporkan Dewan Pengawas KPK ke Mabes Polri? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buka suara perihal Nurul Ghufron yang melaporkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK ke Bareskrim Mabes Polri dengan dugaan pencemaran nama baik.