Hidup Terancam Setelah Data Pribadi Dicuri
Pengaduan kategori individual sebanyak 563 kasus dan pengaduan kategori kelompok sebanyak 1.308 kasus.
Masih melekat di ingatan Tian ketika terjerat utang pinjaman online setahun lalu. Statusnya ketika itu masih mahasiswa semester akhir di salah satu kampus swasta Jakarta. Dia merasa dipermalukan. Hampir semua kontak di ponsel miliknya dicuri kemudian dihubungi satu per satu lantaran telat bayar tagihan.
Tian ketika itu meminjam uang sebesar Rp1 juta lewat aplikasi yang sudah terverifikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Memang tidak butuh waktu lama, uang itu cair. Sayangnya dia hanya menerima Rp600 ribu. Sudah kena potongan Rp400 ribu di awal.
-
Kenapa Banyuwangi meluncurkan platform data peserta didik berkebutuhan khusus? Laporan ini menjadi bahan bagi guru pendamping khusus untuk membuat program pembelajaran individual (PPI) sesuai dengan kondisi. “Dengan demikian, layanan dan pembelajaran yang diterapkan para GPK betul-betul tepat sesuai kondisi anak didik berkebutuhan khusus-nya. Harapannya ini bisa memaksimalkan prestasi mereka,” kata Ipuk.
-
Siapa yang meminta masyarakat untuk berhati-hati dalam memberikan data pribadi? OJK meminta masyarakat agar selalu berhati hati serta tidak gegabah melakukan tindakan yang berpotensi sebagai ladang pencurian data pribadi.
-
Di mana Ria Ricis melaporkan kasus ancaman penyebaran data pribadinya? Ria Ricis Berbicara di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2024)
-
Apa yang OJK temukan terkait penggunaan data pribadi konsumen produk keuangan? Saat ini, OJK menemukan data pribadi konsumen produk keuangan sering digunakan untuk pertukaran data dalam pemasaran dan tujuan komersil. Dari temuan tersebut, beberapa kasus telah dilaporkan pihak kepolisian karena adanya unsur pidana di dalamnya.
-
Di mana data tentang pengguna dikumpulkan? Meta dan Google disinyalir sebenarnya sudah banyak mengetahui data penggunanya mulai dari usia, jenis kelamin, dan status seseorang. Tidak hanya itu, kedua raksasa teknologi ini juga mengetahui tempat tinggal, tempat kerja, teman, dan bahkan apa saja yang diminati oleh penggunanya.
-
Bagaimana penipu bisa mengakses data transaksi perbankan nasabah? Kejahatan perbankan pun dapat terjadi karena data transaksi perbankan (kode OTP) yang bersifat pribadi dan rahasia dikirimkan melalui SMS. Alhasil, transaksi perbankan melalui mobile banking dapat berjalan sukses.
Sedangkan dalam perjanjian, pria 23 tahun itu diminta mengembalikan duit Rp1,1 juta. Jika Tian telat membayar, per hari dikenakan denda sebesar Rp80 ribu. Angka yang cukup tinggi.
Ketika itu dia telat mengembalikan uang pinjaman selama 14 hari. Sehingga total harus dibayarkan sebesar Rp2,22 juta. "Hampir empat kali dari duit yang saya terima," ujar Tian kepada merdeka.com, Sabtu pekan lalu.
Infografis Jual Beli Data Pribadi ©2020 Merdeka.com/Djoko
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pencurian data pribadi selama tahun 2019 paling banyak dilakukan bukan hanya di bidang perbankan saja namun memang banyak aduan di bidang e-commerce dan financial technology (fintech), khususnya pinjaman online. Dalam konferensi pers yang diselenggarakan bulan Januari lalu, jumlah pengaduan konsumen tahun 2019 yaitu sebesar 1.871 pengaduan.
Pengaduan kategori individual sebanyak 563 kasus dan pengaduan kategori kelompok sebanyak 1.308 kasus. Kelima besar sektor dengan jumlah aduan terbanyak yaitu yang pertama sektor perbankan sebanyak 106 kasus, pinjaman online 96 kasus, perumahan 81 kasus, belanja online 34 kasus dan yang kelima yaitu leasing sebanyak 32 kasus.
Ketika telat bayar pinjaman online, setiap harinya Tian ditelepon perusahaan tersebut. Mereka juga menghubungi nomor ponsel kerabat dan keluarga Tian. Padahal selama ini tidak memberikan kontak tersebut. Diduga aplikasi tersebut menarik banyak data nomor telepon dari ponselnya.
Tiap kali dihubungi, rentenir pinjaman online tersebut berkata kasar kepada pria asal Kota Tangerang, Banten, ini. Mereka juga mengirim pesan singkat dengan kata-kata serupa. Bahkan nada ancaman juga diterima Tian agar segera membayar tagihannya.
"Kapok pakai pinjaman online. Enggak akan pinjam lagi. Soalnya uang yang masuk tidak sesuai sama nominal yang harus dikembalikan," ucap Tian.
Maraknya kasus Pencurian Data Pribadi di Indonesia pada tahun 2019 dikarenakan hukum yang mengatur tentang pencurian data pribadi belum ada. Pada 24 Januari 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).
Draf RUU itu telah diserahkan ke Komisi I DPR RI pada 4 Februari lalu untuk dibahas bersama. Dalam RUU PDP juga mengatur sanksi bagi yang melanggar berupa denda terbesar Rp70 miliar serta pidana penjara paling lama 7 tahun.
Menjadi mahasiswa semester akhir, Tian harus mengakui bahwa gaya hidup ketika kuliah memang doyan foya-foya. Sehingga perlu duit tambahan demi bisa tampil di pergaulan. Akibatnya dia harus banting tulang walau harus gali tutup lubang bayar utang. Padahal dia selama berkuliah tinggal di indekos.
Pengeluaran bulanan pun membengkak. Sehingga dia memutar otak demi bertahan hidup di Jakarta. Bukan mendapatkan jalan keluar yang baik, Tian malah meminjam uang di aplikasi pinjaman online. "Saya lupa namanya apa, tapi aplikasi tersebut sudah mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," kata Tian mengungkapkan.
Tian tidak melaporkan kasusnya ke pihak berwajib atas intimidasi diterimanya. Dia merasa takut para rentenir akan melakukan tindakan yang membahayakan dirinya. Apalagi mereka sudah mempunyai data pribadi Tian berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat registrasi.
Melihat masalah ini, Deputi Komisioner Humas dan Logistik OJK, Anto Prabowo, meminta masyarakat segera melaporkan bila mendapat intimidasi dari perusahaan pinjaman online. Apalagi bila perusahaan tersebut tercatat sudah mendapat izin resmi OJK. Tentu tindakan itu sudah melanggar aturan.
"Kalau memang benar ada perusahaan yang sudah terdaftar di OJK tapi melakukan pelanggaran, bisa telepon ke 157, tapi harus bisa dibuktikan," ujar Anto kepada merdeka.com Kamis lalu.
Anto menyebutkan bahwa OJK melarang Pelaku Usaha Jasa Keuangan memberi atau menerima data konsumen kepada pihak ketiga tanpa izin orang terkait. Hal itu tercantum pada Pasal 31 Peraturan OJK (POJK) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Selain itu, OJK mempunyai regulasi untuk menindak perusahaan fintech yang nakal. POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital.
Kedua aturan itu menyebutkan bahwa penyelenggara jasa keuangan digital wajib menjaga kerahasiaan dan keutuhan data pribadi konsumennya. Selain itu mereka juga wajib menjaga rahasia transaksi dan data keuangan yang dikelolanya. Jika aturan itu dilanggar, OJK akan memberikan peringatan hingga pencabutan izin operasi perusahaan terkait.
Pemerintah Harus Jamin Data Masyarakat Aman
Ketua YLKI, Tulus Abadi, menegaskan masih banyak fintech ilegal. Sedangkan yang sudah terdaftar bahkan kerap menyalahgunakan data pribadi para konsumen. "Saya pernah didatangi oleh pelaku fintech yang terdaftar di OJK. Mereka mengatakan bahwa data pribadi itu diperlukan untuk menekan konsumen agar segera mengembalikan uangnya," kata Tulus saat dihubungi merdeka.com, Jumat pekan lalu.
Menurut Tulus, adapun alasan data pribadi yang dijadikan jaminan lantaran para konsumen tidak pernah bertemu langsung dengan para pelaku usaha fintech. Tidak ada kesepakatan yang dilakukan secara langsung atau tatap muka, maka data pribadi itu yang biasanya dijadikan jaminan.
Tentu karena berbasis teknologi, kata dia, sehingga perusahaan peminjaman online tersebut harus memiliki jaminan pasti. Data pribadi dirasa paling ampuh untuk memastikan bahwa pengembalian uang sesuai kesepakatan.
"Jika berutang di bank, ada jaminan tanah, kendaraan, dan lain sebagainya. Tapi kalau fintech jaminannya apa? Kalau bukan dengan cara itu, saya harus menekan dengan cara apa? soalnya tidak ada jaminan selain data pribadi, bertemu dengan peminjam juga tidak," ucap Tulus menirukan kata-kata pelaku usaha fintech itu.
Pengamat Telekomunikasi, Nonot Harsono, mengatakan bahwa OJK, YLKI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) seharusnya saling bahu-membahu dalam memberantas berbagai kasus pencurian data pribadi yang banyak meresahkan masyarakat. Selain kasus dari pinjaman online saja, mereka juga perlu memerhatikan pencurian data dari e-commerce.
Untuk masalah satu ini, juga menjadi pekerjaan rumah besar bagi Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sehingga Kemendag dan Kemenkominfo harus bekerja sama untuk menjaga data pribadi masyarakat.
"Pemerintah harus menjamin masyarakatnya bisa melakukan transaksi secara aman melalui internet. Itu kewajiban negara dalam melindungi data pribadi warganya," ucap Nonot pada merdeka.com.
Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto, merasa kasus pembobolan data pribadi pengguna e-commerce merupakan ancaman serius. Tentu ini bisa mengancam kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Untuk itu, pihaknya memperingatkan pelaku industri ekonomi digital untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan data pribadi penggunanya. Sebab, masih banyak pelaku usaha yang berusaha untuk meretas data pengguna.
"Sekarang maraknya pencurian data secara ilegal lewat transaksi elektronik, harus ada jaminan privasinya," tegas Henri.
Segala bentuk pencurian data merupakan perbuatan melanggar hukum aturan Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di mana para pelanggar akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar.
(mdk/ang)