Intaian serius pasukan khusus
Salah satu tokoh Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman, mengaku sampai saat ini masih dimata-matai aparat keamanan.
Februari 2010, Pendeta Socrates Sofyan Yoman ditelepon kenalannya, pejabat Badan Intelijen Negara. Ia berpesan agar pendeta Gereja Baptis Skyland, Jayapura, ini tidak hadir di tengah dua kelompok tengah disulut kemarahan. Ia pun menuruti nasihat temannya itu.
"Kalau saya hadir, mereka (aparat keamanan) akan menembak saya dan beralasan salah tembak buat membubarkan massa," kata Socrates saat dihubungi merdeka.com, Senin lalu. Ia mengklaim itu salah satu skenario buat membunuh dirinya.
Ia memang bukan sembarang orang. Ia adalah tokoh Papua dengan pengaruh besar. Apalagi, namanya kerap dikutip media lantaran komentar pedasnya terhadap pelanggaran hak asasi oleh aparat di Papua. Kepada merdeka.com, pertengahan bulan lalu, ia menegaskan rakyat Papua sudah diperlakukan seperti binatang. Ia menyatakan warga di sana juga tidak percaya lagi dengan Jakarta.
Karena itu, ia mengakui sangat wajar aparat keamanan selalu memantau dan bahkan menenror dia. Ia bercerita pasukan pernah mendatangi dirinya saat sedang makan dan di kantor. "Sampai sekarang masih diikuti. Sudah tentu telepon saya disadap," ujarnya. Ia menambahkan kerap dimata-matai ketika masih tinggal dekat Pos Kopassus di Kotaraja (berjarak sekitar 100 meter dari rumahnya)
Ia mengungkapkan pula pernah didatangi sekelompok serdadu TNI (Tentara Nasional Indonesia) bersenjata lengkap saat mengikuti upacara di sebuah gereja di pedalaman Kabupaten Jayawijaya. Dari cerita para prajurit itu, mereka datang dengan perintah menangkap Socrates. "Mereka masih muda dan polos," ujarnya.
Menurut laporan Triwulan I Pos Kopassus Kotaraja, Jayapura, Agustus 2007, Socrates termasuk orang berbahaya. Dalam laporan 36 halaman ini, ia bersama 14 orang lainnya, termasuk Pendeta Benny Giay dan Thaha al-Hamid, digolongkan sebagai tokoh Gerakan Separatis Papua di bidang politik (GSP/P).
Kegiatan-kegiatan Socrates dipandang menjurus ke arah kampanye Papua merdeka. Kopassus mencatat ia pada 2001 meluncurkan buku berjudul Pintu Menuju Papua Merdeka, membahas Perjanjian New York (15 Agustus 1962) dan Pepera 1969 hanya sandiwara politik Amerika Serikat, Indonesia, Belanda, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada peringatan ulang tahun Universitas Cendrawasih, Jayapura, 8 November 2004, ia menyampaikan makalah berjudul Pepera 1969 di Papua Barat Tidak Demokratis. Setahun kemudian, bersama Timbeanal, Thaha al-Hamid, Willy Mandowen, dan terrianus Yoku berada di Amerika melobi PBB dan Kongres agar ada pelurusan sejarah Papua dan pelaksanaan referendum.
Laporan oleh Komandan Pos Letnan Satu Infanteri Nur Wahyudi itu menyebutkan Socrates dan rekan-rekannya dinilai mampu mempengaruhi masyarakat asli Papua untuk mendukung referendum sehingga wilayah ini bisa lepas dari kedaulatan Indonesia. Mereka juga memiliki akses ke luar negeri. Namun, kelompok ini juga memiliki kelemahan, yakni sulit mencapai kekompakan lantaran banyak suku dengan watak dan sikap berbeda. Nur Wahyudi menyatakan ia bersama lima anak buahnya bertugas memantau daerah-daerah sangat rawan timbul gejolak oleh GSP/P di Kotaraja dan sekitarnya.
Wartawan Amerika Allan Nairn membocorkan laporan rahasia itu melalui situs pribadinya www.allannairn.com pada 9 November 2010. Dalam tulisannya, ia mengaku laporan itu sudah dibenarkan oleh seorang personel Kopassus pernah melihat dokumen itu. Namun Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen membantah keaslian laporan itu.
Staf Penerangan Kopassus Mayor Susilo Endro Basuki menegaskan saat ini terdapat satu kompi anggota Kopassus (seratus personel) di Papua untuk membantu menjaga perbatasan. Mereka diperbantukan di Komando Daerah Militer Cendrawasih. "Di luar itu, saya tidak tahu," katanya kepada merdeka.com kemarin, saat ditanya apakah Kopassus ikut menumpas jaringan Organisasi Papua Merdeka.
Komentar itu diperkuat oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul yang dihubungi sehari sebelumnya. Ia menegaskan pihaknya belum memberikan bantuan personel untuk mengamankan situasi di Papua. "Situasi di Papua masih tertib sipil sehingga keamanan tanggung jawab polisi."