Jangan beda karena agama
Jangan ada pemisahan antara sastrawan dengan agama ini dan sastrawan dengan agama itu.
Karya sastra menjadi salah satu corong kebudayaan manusia. Refleksi atas kemanusiaan, budaya, lingkup sosial dan caranya berada tercermin dalam sebuah karya sastra. Sastra bukan permainan imajinatif belaka, tetapi mengungkapkan sebuah realitas keseharian manusia.
Khazanah sastra Indonesia pernah dibesarkan oleh karya Chairil Anwar, Pramoedya A. Toer, Mochtar Lubis, Iwan Simatupang dan sebagainya. Karya-karya sastra mereka tak saja terkenal hingga ke luar negeri tapi menunjukkan lahirnya pemikir-pemikir besar yang pernah ada di bumi pertiwi ini.
Karya mereka tak saja membuat kita bangga, tapi juga mengungkapkan suatu fakta jika karya sastra Indonesia tak kalah dengan karya sastra di luar negeri.
Gerson Poyk, salah satu sastrawan di Indonesia dengan karya-karyanya yang sudah terkenal ke luar negeri menyoroti perkembangan sastra di Indonesia. Sastrawan kelahiran Pulau Rote, NTT itu mengaku miris dengan gejala perkembangan sastra di Indonesia yang masih hidup dalam pengkotak-kotakan.
Bagi Gerson, karya sastra Indonesia tidak pernah menjadi besar jika masih mempertahankan eksklusifitas ketimbang kerja sama membangun humanisme universal dalam sebuah karya sastra.
Berikut wawancara Marselinus Gual dari merdeka.com dengan Gerson Poyk di kediamannya Kamis (28/4).
Apa yang anda lihat tentang perkembangan satra di Indonesia?
Sastra Indonesia itu harus bergerak ke arah institusi inklusif. Kegiatan inklusif itu gotong-royong untuk membangun bangsa. Jangan di sini Islam sendiri, Katolik sendiri, mereka bermusuhan. Tapi kalau gotong-royong kan lebih baik, membangun suatu lembaga bersama. Saya melihat masih ada persaingan antara sesama sastrawan karena latar belakang agama, tidak karena sebuah karya sastra itu sendiri.
Apakah perkembangan sastra kita sudah mengarah ke sana?
Satra kita belum ke sana, belum ada institusi inklusif. Masih ada pemisahan antara sastrawan dengan agama ini dan sastrawan dengan agama itu. Orang masih melihat latar belakang agama dari seorang pengarang dibanding karyanya. Makanya perkembangan sastra kita ekstraktif. Kalau sastra kita tidak ekstraktif maka Indonesia tidak menjadi negara gagal. Karena saya takutnya negara gagal ini.
Kita mempunyai sosok besar dengan Chairil Anwar dan Pramoedya A. Toer yang dikenal dunia, apakah sosok seperti itu tidak ada lagi di Indonesia?
Kalau penerjemahan kita lancar maka orang asing bisa mengerti. Tetapi semua dalam bahasa Indonesia, ya akhirnya panitia Nobel tidak tahu itu.
Artinya karya sastra kita tidak kalah dengan orang luar negeri?
Ada beberapa ya, misalnya pada masa-masa Chairil Anwar, Iwan Simatupang, dan Sitor. Hanya sastra kita masih dihalangi oleh sastra ekstraktif, sastra yang mencari untung. Kita kurang mengenal filsuf-filsuf dunia.
Sebuah karya sastra yang baik itu datang dari apa?
Gerakan batin ya. Ada kontemplasi ke arah kemanusiaan, humanisme universal bukan karya ekstraktif untuk kepentingan diri sendiri. Ada semacam imperatif kategori atau kategori moral dalam diri kita itu harus menjadi orang yang baik.
Menurut anda apakah ada yang hilang dari roh atau semangat sastra kita?
Kurang reflektif dan tidak diperkaya filsafat. Hanya sekarang di NTT mulai muncul. Di sana banyak sarjana-sarjana Filsafat Katolik.
Kita punya karya sastra yang baik namun tidak semua orang di negeri ini kenal, apakah hal ini dipengaruhi oleh budaya baca kita yang masih minim?
Itu dari pendidikan kita ya. Tapi sekarang ini mulai ada. Sudah ada buku-buku yang mengulas tentang sejarah sastra Indonesia. Tapi alangkah lebih baiknya misal, dibuat sebuah festival sastra tahunan.
Apa yang dilakukan seorang penulis agar bisa dikenal luas, minimal karyanya dilihat sebagai karya sastra?
Pertama pemikiran-pemikirannya. Walaupun pemikiran belum tersebar luas, sastra di Indonesia harus terbuka dengan pemikiran baru yang bisa membesarkan nama bangsa ini. Artinya karya sastra itu sarat pemikiran yang membangun kemanusiaan dan ekonominya.
Apakah karya sastra kita kurang terkenal karena penerbit lebih suka dengan selera pasar?
Ya seperti pandangan pendek begitu ya. Yang pop yang paling penting biar modal enggak hancur. Akibatnya sastra Indonesia kurang berkembang.