Jokowi kalah pamor dengan SBY dan Rhoma
PKB dibanding dengan 2009, kali ini jauh lebih solid.
Hasil perhitungan sementara Pemilihan Legislatif jauh dari prediksi masing-masing partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memprediksi perolehan suara akan mencapai angka di atas 25 persen. Kenyataanya, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu justru hanya mendapatkan suara 19 persen-an suara.
Padahal, Joko Widodo diusung sebagai Capres untuk meraih 27 persen perolehan suara partai. Hal ini justru berbeda dengan pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono , akrab disapa SBY pada pemilu 2009. Elektabilitas SBY mampu mengerek Partai Demokrat memenangkan Pemilu lima tahun lalu. SBY mampu membawa Demokrat memperoleh 21 persen suara.
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Kapan Jokowi memanggil Kapolri dan Jaksa Agung? "Sudah saya panggil tadi," kata Presiden Jokowi saat diwawancarai di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (27/5).
-
Siapa yang mendampingi Jokowi saat mencoblos? Jokowi didampingi Ibu Negara Iriana mencoblos capres-cawapres, caleg DPR RI, DPD RI, dan DPRD Kota Jakarta.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Siapa saja yang mendampingi Jokowi? Sebagai informasi, turut mendampingi Presiden dalam kegiatan ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Gubernur Jambi Al Haris, dan Pj. Bupati Merangin Mukti.
"Saya kira penyebabnya begini, survei-survei menjelang pileg, waktu itu SBY elektabilitasnya sudah 60 persen. Sementara kemarin Jokowi 30-an, 31 persen, 32 persen di CSIS 31 persen. Artinya apa? bahwa SBY 2009 lebih kuat dibanding dengan Jokowi 2014 sebagai orang yang populer," kata Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte saat berbincang dengan merdeka.com di kantornya kemarin.
Berikut petikan wawancara Philips J Vermonte kepada Arbi Sumandoyo dan Alwan Ridha Ramdani soal prediksi meleset hasil perhitungan cepat lembaga survei pemilu legislatif dua hari lalu.
Hasil perhitungan suara kemarin sudah keluar, hasilnya tidak sesuai prediksi masing-masing partai. Apa faktor pemilih di Pemilu 2014 saat ini?
Saya kira, Kalau dibilang enggak sesuai dengan harapan partai, enggak juga ya. Seperti misalnya PKB dan Golkar saya kira sesuai harapan mereka dan Demokrat saya rasa senang dengan hasil quick count karena sebelumnya banyak yang menduga suaranya akan anjlok. Sebenernya anjlok juga karena 2009, 21 persen dan sekarang tidak mencapai setengahnya.
Saya kira beberapa penyebabnya, kalau di survei CSIS awal April PDIP, 20,1 persen dan kemarin hasilnya 19 persen, artinya okelah, enggak jauh juga. Saya kira penyebabnya begini, survei-survei menjelang pileg, waktu itu SBY elektabilitasnya sudah 60 persen. Sementara kemarin Jokowi 30-an, 31 persen, 32 persen di CSIS 31 persen.
Artinya apa?
Bahwa SBY 2009 lebih kuat dibanding dengan Jokowi 2014 sebagai orang yang populer. Bahkan dengan elektabilitas itu, 60 persen Demokrat perolehannya 21 persen. Jokowi walaupun populer 30 persen tidak mungkin lebih dari 22 persen. Kalau faktornya individu nih, SBY lebih kuat mengatrol Demokrat.
Boleh dibilang Jokowi Effek tidak berpengaruh?
Enggak juga, saya kira Jokowi Effek itu ada. Saya kira partai lain menjalankan tugasnya. Sebelum kampanye dilakukan mobilisasi meredam effek Jokowi. Yang kedua harus dibayangkan yang kampanye 200 ribu orang, artinya ada 200 ribu juru kampanye.
Makanya, kalau kita lihat perolehan suara partainya besar-besar. Taro yang aktif 150 ribu, itu makanya mereka mendapat suara dari masing-masing partainya. Akibatnya perolehan suara secara umum partai itu relatif naik.
Kalau kita lihat hari ini partai itu terfragmentasi sedemikian rupa, karena besar-besar. Jadi merumitkan prospek koalisi. Kalau kita lihat sekarang perlolehan partai sama-sama kuat. Efek pemilu langsung, dimana individu di bawah caleg-caleg yang 200 orang bekerja untuk memenangkan partainya masing-masing.
Berarti masing-masing partai mesin politiknya jalan?
Relatif jalan. Mungkin bukan mesin partai tapi saya rasa individu (caleg). Ada yang bilang hasil itu enggak pasti, karena 2009 sudah ada pemilu langsung. Effeknya belum terlihat tahun 2009, karena saat itu partai mempersiapkan ketua partai yang berkampanye, tiba-tia dia bisa berkampanye. Jadi Individu sudah menyiapkan, sudah mengerti ilmunya. Jadi makanya efeknya besar.
Kemungkinan, nanti ketika Pilpres nanti caleg-caleg ini tidak bergerak lagi?
Kemarin itu yang terjadi. Tapi si pemilih ini, karena ada caleg-caleg ini karena mungkin saat ini pilih partai aja ini dulu. Nanti misalnya pilpres dinamikanya, pengusung Jokowi menjual Jokowi kepada pemilih. Jadi Individu-Individu ini sudah lain lagi tugasnya. Saya kira mereka akan tetap membantu.
Boleh dibilang sistemnya sama seperti di Pilkada?
Saya rasa mereka akan tetap bekerja. Walaupun tugasnya memenangkan orang lain, bukan memenangkan diri sendiri. Saya rasa mereka akan tetap bekerja.
Kalau melihat hasil dari perolehan PDIP, berapa persen pengaruh pencapresan Jokowi?
Kalau pemilu 2009 kan PDIP sekitar 14 persen. Sekarang 19 persen, partai bisa menaikkan 5 persen itu bukan hal yang buruk. Yang kedua saya kira memang seperti saya sebut survei CSIS tanggal 7 lalu, sementara pencapresan Jokowi 14 Maret. Jadi memang saat itu tidak tercapture efeknya. Mungkin masyarakat excited dengan pencapresan Jokowi.
Dan ini sebenernya bagus, ternyata pemilih kita lebih loyal terhadap partainya masing-masing walaupun ada figur yang kuat dari partai lain tapi ketika pileg mereka memilih partai yang berbeda dari si Individu.
Buat dari sisi pemahaman sisi pemilih dan demokrasi, itu bagus. Mereka punya attacment dengan partai tertentu, walaupun banyak alasannya. Ternyata mereka bisa memisahkan pilihan terhadap pigur yang mereka sukai dengan partai juga.
Dari sisi pembelajaran pemilih itu baik. Tapi secara sistem politik jauh lebih berat karena akan banyak kompromi, transaksi dan lain-lain. Tapi Saya kira secara umum baik buat demokrasi pemilih di Indonesia. Saya melihatnya dari sisi pemilih, ada kalkulasi-kalkulasi yang tidak kita pahami, belum kita pahami.
Bagaimana dengan PKB, mereka ada di barisan pemerintah tapi suaranya nanjak dua kali lipat?
PKB dibanding dengan 2009, PKB kali ini jauh lebih solid. Belakangan mereka mulai solid, karena faksinya Muhaimin Iskandar. Jauh lebih solid, karena faksi yang lain memutuskan membuat partai sendiri dan mempunyai pilihan sendiri. Secara internal dia lebih tenang mencapai akar rumput dan lain-lain. Yang ke dua NU lebih tertib, lebih solid memberikan dukungannya terhadap PKB dan yang lain ada fress bensin seperti Rusdi Kirana dan lain-lainnya.
Rhoma ada pengaruhnya juga?
Saya kira ada. Dalam kampanye terbuka ada Rhoma Irama. Rhoma Irama saya kira faktor baik buat PKB. Selain itu ada wacana Mahfud MD, dia pengaruhi pemilih dengan caranya sendiri. Masalahnya begini, pemilih PKB terkonsentrasi, belum tentu kursinya banyak. 2009 kan seperti itu. Tapi over all, dia sudah naik lah.
Kalau melihat kondisi, punya tiga tokoh yang mau di usung, Mahfud MD, JK dan Rhoma Irama. Kemungkinan dari tiga ini siapa mau dijual?
Saya kira menariknya adalah PKB punya daya tawar, mereka punya pilihan mau koalisi dengan yang mana. Hasil pemilu kemarin membuat partai-partai ini melakukan kalkulasi ulang terutama pencapresan. Siapapun presiden terpilih dia akan menemui parlemen yang terpecah-pecah.
Kemudian Siapapun cawapres jadi penting, orang yang bisa berkomunikasi, benar-benar punya skill dan negosiasi, dia harus punya komunikasi politik. Kedua dia harus punya dukungan suara untuk capresnya itu.
Nama:
Phillips J. Vermonte
Pekerjaan:
Head of Department of Politics and International Relations Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
Pendidikan :
Ph.D at Department of Political Science, Northern Illinois University, Dekalb, USA
Master of Arts degree in international studies from Department of Politics, the University of Adelaide, Australia, in 2001.
Baca juga:
Dosen UI nilai PDIP kurang bisa 'counter attack'
Datangi Balai Kota, dua warga DKI minta Jokowi mundur
Sehari setelah pemilu, kubu Prabowo kembali serang Jokowi
Program diawasi Ahok, Jokowi sebut nyapres tak ganggu tugasnya
Tidak blusukan hari ini, Jokowi bantah kelelahan