Kalau ditafsir sempit, agama bisa mengajarkan kekerasan
"Kalau ditafsirkan secara sempit, bisa mengajarkan kekerasan," ujar Romo Benny
Tindakan intoleran masih kerap terjadi di Indonesia. Peristiwa penyerangan Kelompok Ahmadiyah, peristiwa Aceh Singkili kemudian Tolikara, Papua menunjukkan betapa agama menjadi hal yang sensitif dan bisa menyulutkan konflik horizontal. Padahal sejatinya negara ini adalah negara konstitusional, negara ke-bhinekaan yang mengakui dan mengakomodir perbedaan agama. Jika sikap intoleran terus dibiarkan, negara ini bukan tidak mungkin satu saat akan terjadi konflik besar.
Tokoh agama juga rohaniawan, Antonius Benny Susetyo menilai, sikap intoleran belakangan sering terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman mendalam atas ajaran agama. Agama kata Romo Benny, kerap diajarkan secara sempit dan eksklusif dalam ruang belajar. Akibatnya, sikap fanatisme menjadi kuat dan melahirkan kekerasan. Selain itu negara kerap absen dalam situasi keberagamaan di Indonesia. Negara lalai mengedepankan konstitusi dan kerap bimbang di atas kerangka mayoritas dan minoritas.
"Kalau menurut James Mayes dalam bukunya mengatakan, agama itu bisa, kalau ditafsirkan secara sempit, karena bisa mengajarkan kekerasan," ujar Romo Benny saat berbincang dengan merdeka.com di kantornya, Rabu lalu.
Berikut wawancara Romo Beny Sulistyo kepada Marselinus Gual dari merdeka.com.
Bagaimana pandangan Anda tentang pendidikan agama dalam paradigma pendidikan saat ini?
Kalau menurut saya pendidikan agama tidak perlu lagi masuk dalam kurikulum tetapi serahkan ke keluarga. Pendidikan yang penting itu budi pekerti. Seperti dulu, kembalikan pendidikan agama ke keluarga. Karena persoalan agama ini kalau diajarkan seperti ini maka akan terjadi sekat-sekat. Maka mantan Presiden Soekarno mengingatkan pada waktu itu, ketika Menteri Pendidikan pada waktu itu Syarif Tayib, Soekarno mengingatkan pendidikan agama itu bisa menghancurkan sila ke tiga persatuan. Maka sudah diingatkan Syarif Tayib oleh Soekarno pada waktu itu.
Jadi yang penting menurut saya kembalikan pendidikan budi pekerti itu di dalam sekolah. Sekolah mengajarkan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Urusan agama serahkan ke keluarga karena ini penting. Negara ini harus mempersatukan atau kalau mau negara mengajarkan seperti dulu, semua agama diajarkan dalam perspektif ke-bhinekaan sehingga setiap orang saling menghargai perbedaan itu. Jadi yang diajarkan adalah pengetahuan agama-agama. Jadi semua agama diajarkan dan semua orang bisa menghargai agama-agama dan mencegah yang namanya fanatisme buta. Karena pendidikan agama yang seperti sekarang potensinya akan menciptakan disintegrasi karena yang diajarkan selalu formal eksklusif dan mengatakan agama yang benar adalah agama saya dan yang lain salah. Itu yang menciptakan bibit-bibit disintegrasi dan akibatnya kita terkotak-kotak.
Maka kalau tidak ya seperti Soekarno dulu, diajarkan budi pekerti. Diajarkan kembali misalnya belajar menulis halus. Ini penting, karena belajar menulis halus itu belajar mengontrol emosi seseorang, dengan belajar menulis halus itu teratur dan disiplin. Mulai anak-anak diajarkan tentang budi pekerti, dia tahu perbuatan baik dan buruk. Bagaimana menghargai orangtua, bagaimana menghargai nilai-nilai keutamaan hidup, bagaimana mencintai bangsa dan negara. Atau kalau tidak ya diajarkan ilmu perbandingan agama-agama secara garis besarnya sebagai sebuah pengetahuan biar murid-murid punya pegangan dan menjadi orang yang inklusif bukan eksklusif.
Dalam hubungan dengan kekerasan yang sering terjadi, apakah pendidikan agama turut berperan?
Bisa saja turut melahirkan kekerasan. Kalau menurut James Mayes dalam bukunya mengatakan, agama itu bisa, kalau ditafsirkan secara sempit, karena bisa mengajarkan kekerasan. Karena gampang memanipulasi, tergantung penafsir. Nah, kerap kali penafsir dalam menerapkan ajaran agama itu jadi alat manipulasi pembenaran kekerasan. Bahasanya diajarkan dalam doktrin penuh kepalsuan itu. Maka sebenarnya, sebagai bangsa yang berbeda-beda suku, agama tidak dimasukan dalam kurikulum tetapi pendidikan budi pekerti atau pendidikan agama-agama sehingga anak-anak bisa menghargai semua perbedaan itu.
Bagaimana peran guru agama sebagai pengajar menurut Anda?
Ya peran guru agama itu kalau seperti sekarang agak sulit karena dia akan mengajarkan klaim kebenaran tetapi dia tidak mengajarkan tentang beragama secara baik. Maka Gereja Katolik melalui Uskup Semarang waktu itu RM Mangun sudah mengatakan tidak diajarkan agama tetapi menganjurkan komunikasi iman. Komunikasi iman itu diajarkan tentang nilai kebersamaan, bagaimana saling membantu, bagaimana nilai-nilai kemanusiaan menjadi titik tolak, bagaimana refleksi semua agama tentang gotong royong, saling berbagi. Itu semua bisa menjadi titik temu. Tetapi kalau ajaran agama diajarkan formal, ritual dan kemudian dogmatik, dia akan mengajarkan perbedaan.
Bagaimana jika paradigma pembelajaran ini tetap dipertahankan?
Kalau ajaran agama diajarkan dalam rangka eksklusif, dia tetap menciptakan bibit-bibit intoleran. Dan hasil riset penelitian mengatakan salah satu indikasi pelajaran agama kita di Indonesia itu tidak membuka wawasan murid tetapi murid menjadi eksklusif, murid menjadi fanatik, dan murid tidak lagi menghargai keragaman dan multikulural.
Apa saran untuk pemerintah dalam hal ini?
Ya pemerintah seharusnya sudah mulai membangun transformasi nilai. Maka guru-guru agama itu diupgrade kembali. Maka perlu, misalnya dalam konteks ke-Indonesian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama duduk bersama dengan Menteri Pendidikan buat merumuskan bagaimana sih sistem pendidikan di Indonesia sesuai dengan kultur Indonesia.
Bagaimana pandangan Anda dengan toleransi beragama di Indonesia saat ini?
Ya sebetulnya masih baik hanya kerap kali pemerintah tidak adil menindak pelaku kekerasan. Dan aktor kekerasan sebenarnya orang-orang itu saja. Kalau itu ditindak tegas dan hukum ditegakkan ya kekerasan bisa distop. Tetapi kalau negara membiarkan lima atau sepuluh orang bahkan kadang-kadang orang dari luar itu dibiarkan dengan pentungan, memaksa dan bahkan melakukan tindakan intimidasi dibiarkan dan itu jelas menyalahi KUHP, ya akhirnya mereka mendapat imunitas atau kekebalan. Yang dilakukan sekarang adalah memutus imunitas itu.
Artinya ada pembiaran yang dilakukan oleh negara?
Ya karena aparat tidak berfungsi untuk menegakkan hukum. Kan jelas kan bawa pentungan, senjata api dan bahkan merusak milik orang lain kan ditindak. Pakai aturan itu aja, begitu lho. Justru kerap kali negara, dalam teori-teori komunikasi mengalami disonansi konektif, situasi ketidaknyamanan. Karena ketika sudah menyangkut agama selalu melihat faktor mayoritas dan minoritas. Itu yang menyebabkan aparat takut untuk bertindak ketika sudah menyangkut agama. Padahal negara ini negara Pancasila, maka harus dikembalikan. Negara ini negara konstitusi dan mereka harus menjalankan konstitusi. Merawat konstitusi ini penting maka harus ada sikap tegas. Sehingga misalnya Kapolri juga harus berani menindak bawahannya yang tidak mengikuti instruksi Presiden Jokowi yang tidak menindak pelaku intoleran.
bagaimana Anda melihat peran pemuka agama dalam hal ini?
Pemuka agama harus mengajarkan agama secara substansial bahwa agama mengajarkan nilai-nilai seperti belas kasih, agama memberikan pengetahuan baik dan buruk, agama yang mengajarkan tentang martabat manusia. Maka ajarkan agama yang sesungguhnya karena semua agama mengajarkan kebaikan, kejujuran, keadilan dan wajah kerahiman Allah.
Tidak ada agama yang mengajarkan ketidakadilan. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Maka tokoh-tokoh agama jangan jadi provokator tetapi kembalikan pengajaran agama untuk menghayati kerohiman Tuhan dalam sikap hidupnya. Cara berpikir, bertindak dan perbuatan harus berdasarkan iman. Maka iman itu harus dengan perbuatan. Karena iman tanpa perbuatan itu mati.
Apa yang harus dilakukan pemerintah agar intoleran tidak terus terulang?
Ya bertindak tegas saja, tidak perlu takut. Hukum ditegakkan dan pemerintah konsisten menjalankan konstitusi. Negara ini kan bukan negara mayoritas tetapi negara konstitusi.