Kapok demi anak
Pembunuhan terakhir Iwan lakoni mirip kasus Holly Angela Hayu.
Saat mendekam dalam penjara Cipinang, jabatannya mentereng. Sebagai narapidana kasus pembunuhan, dia menjadi kepala kamar. Iwan memiliki puluhan anak buah. Dia menduduki kamar 4A bersebelahan dengan kamar dihuni oleh Anton Medan di 3E.
Rambut lelaki asli Betawi Kemayoran ini kini telah beruban. Jalannya doyong, tapi sorot matanya masih tajam. Dia mampu membaca tulisan di atas kartu nama disodorkan merdeka.com. Tidak banyak orang tahu dia mantan pembunuh bayaran.
Iwan Cepi Murtado, 71 tahun, sekarang lebih banyak di rumah. Saban hari dia bermain dengan cucunya. Sesekali dia datang ke Lembaga Macan Kemayoran (LMK) besutannya. "Saya tidak pernah cerita ke siapa-siapa, saya baru cerita sama teman saat saya ada di dalam bui," kata Iwan saat berbincang dengan merdeka.com Jumat pekan kemarin.
Petualangannya sebagai pembunuh bayaran mandek setelah ditangkap polisi karena membunuh istri muda pegawai Sekretariat Negara bernama Dewanto. Kasusnya memiliki kesamaan dengan pembunuhan Holly Angela Hayu beberapa pekan lalu di Apartemen Kalibata, Jakarta Selatan. Iwan menjerat korban menggunakan tambang. "Sial kalau sudah menghabisi nyawa perempuan," ujarnya.
Pembunuhan pada 1980 ini menghebohkan. Dia dicap sebagai pembunuh bayaran lantaran ongkos untuk eksekusi Rp 100 juta. Namun dia mengaku hanya mendapat Rp 15 juta dan Rp 35 juta untuk temannya. Sisanya dimakan oleh perantara.
Kasus itu terkuak lantaran mayat korban ditemukan tersangkut pohon di Kali parung, Bogor, Jawa Barat. Singkat cerita, polisi mengetahui Dewanto merupakan orang terakhir menemani korban di sebuah cottage di Jakarta Utara. Darwanto berkicau dan membawa nama Iwan. Almarhumah Ibu Tien Soeharto marah besar mendengar kasus itu. Sebab, Darwanto pegawai Sekretariat Negara dan isu berkembang semakin liar.
Selama di Cipinang Iwan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengelola kebun penjara. Saban hari dia mencatat buku harian dan menanam sayur. Dia tidak suka ada kekuasaan di dalam tahanan. Semua menyatu tanpa kasta. Bahkan Iwan pernah disuruh membina mantan narapidana agar tidak kembali berulah.
Dia kemudian tobat dan berhenti menjadi pembunuh bayaran lantaran memikirkan putri tunggalnya, Ade Naziha. ketika itu, dia masih belajar di sekolah menengah pertama. Iwan menolak puluhan tawaran membunuh. Dia memilih hidup sebagai ayah yang baik. "Dulu saya memang belom berkeluarga. Ketika 1980-an saya sudah punya keluarga dan anak," ujarnya.
Sebagai seorang muslim, Iwan sadar perbuatannya membunuh bakal mendapat balasan di akhirat. "Saya mesti pertanggungjawabkan nanti di akhirat," katanya lirih.