Kasus Masinton dan kesalahan sistemik partai politik
Tenaga ahli DPR adalah tempat magang kader, bukan pekerjaan sanak saudara atau gendakan.
Tenaga ahli DPR adalah tempat magang kader, bukan pekerjaan sanak saudara atau gendakan.
Seorang kawan bertanya dengan masygul, "Bagaimana mungkin seorang anggota DPR dari Fraksi PDIP merekrut tenaga ahli dari kader Partai Nasdem?"
Pertanyaan itu dipicu oleh kasus pemukulan yang sedang ramai dibahas media. Anggota DPR Fraksi PDIP Masinton Pasaribu dilaporkan ke polisi oleh tenaga ahlinya, Dita Aditia, dengan tuduhan melakukan kekerasan fisik. Dita adalah kader Partai Nasdem.
Masinton mengaku tidak pernah memukul Dita, tetapi kesabet batu akik di jemarinya dengan tidak sengaja. Saya takkan mengulas kasus tersebut. Biarlah jadi pekerjaan polisi, mungkin juga MKD. Pertanyaan kawan tadi yang menarik untuk dijawab.
Mari mulai dari ketentuan formal. Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU No 17/2014) atau dikenal dengan UU MD3, tenaga ahli DPR itu ada tiga jenis: tenaga ahli alat kelengkapan, tenaga ahli fraksi, dan tenaga ahli anggota DPR.
Berikut bunyi Pasal 417 UU No 17/2014:
(1) Tenaga ahli alat kelengkapan DPR, tenaga ahli anggota DPR, dan tenaga ahli fraksi adalah tenaga yang memiliki keahlian tertentu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi alat kelengkapan DPR, anggota dan fraksi.
(2) Dalam satu kali periode masa bakti DPR terdapat paling sedikit 1 (satu) kali kenaikan honorarium tenaga ahli dan staf administrasi anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rekrutmen tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh alat kelengkapan DPR, anggota dan fraksi yang dalam pelaksanaannya dibantu oleh Sekretaris Jenderal DPR.
Jelas sekali, dalam rekrutmen tenaga ahli, tugas Sekretariat Jenderal terbatas, yakni sekadar membantu alat kelengkapan, fraksi dan anggota melakukan rekrutmen. Dalam praktik, lebih-lebih dalam rekrutmen tenaga ahli fraksi dan anggota, Sekretariat Jenderal hanya menyeleksi kelengkapan syarat administrasi. Misalnya, syarat WNI yang dibuktikan dengan KTP, atau syarat pendidikan yang dibuktikan dengan ijasah sarjana.
Lebih dari itu, menjadi wewenang fraksi atau anggota. Misalnya soal kualifikasi, yang menentukan adalah fraksi atau anggota. Dengan kata lain, keahlian (calon) tenaga ahli fraksi atau anggota, ditentukan oleh fraksi atau anggota. Karena selaku pengguna, fraksi atau anggotalah yang tahu tenaga ahli macam apa yang dibutuhkan.
Rekrutmen tenaga ahli anggota parlemen seperti itu sudah menjadi ciri tata kelola parlemen di mana-mana. Tenaga ahi, tenaga profesional, staf khusus, atau apapun namannya, termasuk political appointee. Mereka yang duduk di sana bekerja demi kepentingan fraksi atau anggota, sehingga posisi itu selalu diperuntukkan kader partai.
Sementara itu dalam tata kelola partai politik, jabatan semacam tenaga ahli tersebut sesungguhnya merupakan tempat magang para kader sebelum mereka menjadi politisi sejati atau menduduki jabatan politik tertentu. Dengan menjadi tenaga ahli fraksi atau anggota, para kader belajar bagaimana memahami dan bekerja sebagai politisi.
Hanya di Indonesia, praktiknya lain. Partai politik memang menempatkan kader-kadernya sebagai tenaga ahli fraksi, namun partai politik membiarkan anggota dewan merekrut siapa saja untuk jadi tenaga ahlinya. Dengan kata lain, jabatan tenaga ahli anggota tidak diposisikan sebagai tempat magang bagi kader partai politik.
Tidak heran jika banyak anggota DPR yang menjadikan tenaga ahli sebagai tempat pekerjaan sanak saudara dan gendakan. Dalam situasi yang bebas tersebut, anggota dewan tentu tidak merasa risih apalagi merasa bersalah bila merekrut kader partai lain untuk dijadikan tenaga ahlinya. Kenyataannya dalam tiga periode terakhir, banyak tenaga ahli yang bisa pindah-pindah anggota yang berasal dari partai yang berbeda.
Jadi, kalau saja benar Masinton marah sampai memukul Dita karena dituduh membocorkan rahasianya ke Partai Nasdem, ini termasuk kesalahan sistemik. Karena partai membiarkan anggota fraksinya merekrut bebas tenaga ahli.
Pertanyaannya, apa partai politik tidak memiliki banyak kader yang bisa dimagangkan di DPR sebagai tenaga ahli atau staf anggota? Atau, partai politik tidak berdaya menahan kemauan anggota (untuk merekrut siapa saja dan dijadikan apa saja dengan label tenaga ahli atau staf khusus) karena partai politik tidak memodali anggota dewan saat pemilu?