Ketika Pangan Indonesia Bergantung Impor
Kedelai, bawang putih, daging, dan gula menjadi empat komoditas yang pasokannya harus dipenuhi dari impor.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo curhat di hadapan anggota Komisi IV DPR saat rapat kerja akhir Maret lalu. Mantan gubernur Sulawesi Selatan itu mengungkapkan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap komoditas pangan impor. Stok hingga akhir 2022 dipastikan defisit di saat harga-harga terus naik.
Ada empat komoditas yakni kedelai, bawang putih, daging, dan gula konsumsi. Berdasarkan prognosa neraca komoditas pangan strategis Januari-Desember 2022, defisit terbesar terjadi untuk kedelai yang minus hingga 2,59 juta ton.
-
Di mana harga bahan pangan di pantau? Situs Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Rabu 21 Februari 2024 pukul 13.00 WIB menunjukkan kenaikan harga beberapa bahan pangan, terutama beras dan cabai rawit merah.
-
Kapan harga bahan pangan di Jakarta terpantau naik? Situs Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Rabu 21 Februari 2024 pukul 13.00 WIB menunjukkan kenaikan harga beberapa bahan pangan, terutama beras dan cabai rawit merah.
-
Kapan harga ayam potong mulai naik? Menurut salah seorang pedagang di sana, harga ayam potong mengalami kenaikan hingga Rp8 ribu per kilogramnya. Sebelum berada di angka Rp40 ribu, ayam potong masih stabil di Rp32 ribu per kilogram. "Sebelumnya harga ayam potong Rp32 ribu per kilogram (kg), namun saat ini mencapai Rp40 ribu per kilogram," kata salah seorang pedang, Yayan, mengutip ANTARA.
-
Apa yang dijual di Pasar Pakelan? Selain Haniq, ada pula Tawinem. Di pasar itu ia membeli gorengan. "Di sini apa-apa Rp500-an. Ini puli pecel, bahannya dari beras," kata Tawinem.
-
Apa keunggulan pasir kucing wangi yang dijual dengan harga terjangkau? Cub n Kit Scented Cat Litter menawarkan pasir kucing wangi dengan kualitas premium dan harga terjangkau.
-
Mengapa harga kedelai impor kembali mengalami kenaikan? Harga kedelai impor kembali mengalami kenaikan dan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Mentan menjelaskan, produksi kedelai lokal pada tahun 2022 diperkirakan 200.315 ton. Ditambah stok awal tahun sebanyak 190.970 ton, jumlah stok kedelai lokal hanya ada 391.285 ton. Sementara kebutuhan tahun ini diperkirakan 2,983 juta ton. Dengan begitu dibutuhkan impor 2,842 juta ton, hampir 90 persen dari kebutuhan.
Kekurangan stok juga dialami untuk bawang putih, yang mencapai defisit 366,9 ribu ton dari total kebutuhan tahunan 621,88 ribu ton. Sementara stok di dalam negeri hanya tersedia 254,98 ribu ton.
Komoditas berikutnya adalah daging sapi. Seperti kedelai, sumber terbesar impor daging Indonesia berasal dari Australia. Syahrul menyebut, kebutuhan daging sapi defisit 134,35 ribu ton. Total ketersediaan domestik sekitar 572 ribu ton, namun kebutuhan mencapai 706,38 ribu ton. Jadi perlu tambahan pasokan impor 193,22 ribu ton.
Terakhir, gula konsumsi yang ketersediaannya minus 234,69 ribu ton. Stok dalam negeri mencapai 2,98 juta ton, tapi kebutuhan capai 3,21 juta ton. Rencananya, pemerintah bakal melakukan impor 1,04 juta ton.
"Untuk beras, jagung, bawang merah, cabai merah, daging ayam, telur ayam, dan minyak goreng, ketersediaannya diperkirakan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Namun untuk kedelai, bawang putih, daging sapi, gula konsumsi, pemenuhannya selain dari produksi dalam negeri, juga terutama dari substitusi impor yang ada," kata Syahrul.
Soal kedelai, Syahrul menyebut impor dan harga yang rendah membuat petani tidak berminat menanam. Tanaman kedelai juga rentan serangan hama sehingga berdampak kepada produktivitas kedelai lokal. Syahrul juga mengungkapkan tantangan lainnya adalah persoalan anggaran tanaman pangan yang terus menurun setiap tahunnya.
"Persoalannya ada di anggaran yang terus turun. Tanaman pangan itu dari Rp5 triliun turun menjadi Rp3 triliun, menjadi Rp2 triliun lalu tinggal Rp 1,7 triliun," ujarnya.
Ketua Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskoptin) DKI Jakarta, Sutaryo mengungkapkan, kedelai lokal sudah lama kalah bersaing dengan kedelai impor. Pengrajin tahu tempe kesulitan mendapatkan pasokan yang cukup jika mereka memilih menggunakan kedelai lokal.
Di tengah terus naiknya harga kedelai impor dalam beberapa tahun terakhir, Sutaryo menilai ada peluang bagi petani untuk meningkatkan produksi kedelai lokal. Saat ini harga kedelai impor mencapai Rp12.000 per kilogram.
"Petani merasa enggak untung karena tadi dipukul sama kedelai impor," tukasnya.
Mengurangi Impor Pangan
Ekonom INDEF Eko Listyanto mengatakan, ketergantungan atas bahan pangan impor sangat tinggi di Indonesia. Dan kedelai menjadi komoditas yang paling besar karena masyarakat gemar mengonsumsi tahu, tempe dan kecap.
"Kemarin ada upaya buat substitusi dengan kacang koro dll, dan ini harus jadi momentum karena terlihat dunia tidak stabil. Kita akan menghadapi ini, bagaimana mengurangi ketergantungan," ujarnya.
Eko mencontohkan Rusia yang sedang dikucilkan dengan berbagai sanksi oleh AS dan negara-negara di Eropa karena menyerang Ukraina. Negara itu tetap survive secara pangan dan energi.
"Kalau kita, ini daging, susu, 80 persen impor. Kita mau generasi maju tapi basis konsumsinya masih impor, kalau terjadi sesuatu ini susah juga," jelasnya.
Pengamat pertanian, Khudori menyebut, ketergantungan impor pangan untuk kedelai masuk dalam kategori akut. Beberapa komoditas juga belum bisa ditekan angka impornya seperti bawang putih, daging, gula, termasuk gandum.
Soal program food estate yang diresmikan Presiden Jokowi, Khudori menilai sebagai solusi jangka menengah panjang dengan mengalihkan pusat produksi pangan ke luar Pulau Jawa. Saat ini lebih dari 50 persen produksi pangan, peternakan, buah dan hortikultura ada di Jawa.
"Food estate ini harus dipandang membuat basis produksi pangan yang sebagian ditopang di Jawa, ini gradual di luar Jawa," ujarnya.
Keanekaragaman Konsumsi
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menilai, tingginya impor komoditas seperti gandum misalnya, menunjukkan konsumsi atau pola makan masyarakat Indonesia sudah berubah, tidak melulu beras.
"Dulu orangtua kita enggak makan pizza. Enggak makan mi. Jadi karena pola konsumsinya berubah, itu makanan juga berubah," kata Arief dalam wawancara dengan merdeka.com.
Jika impor gandum misalnya dikurangi, Arief meyakini, konsumsi beras akan tinggi. Demikian juga sebaliknya.
"Hari ini siapa enggak makan mie ayam, Indomie kalau kita sebut brand. Otomatis perlu gandum. Gandum itu salah satu substitusi dari beras, jadi kalau gandum (impor) ditutup maka beras akan naik. Kalau gandum diperbesar, berasnya pasti turun. Ini penganekaragaman konsumsi di situ," paparnya.
Bagaimana mencapai peningkatan produksi pangan, Arief menyebut diperlukan intensifikasi. Produksi digenjot dengan hasil yang dicapai lebih maksimal. Langkah ekstensifikasi atau perluasan lahan, menurutnya adalah pilihan terakhir.
"Kalau memang sudah tidak ada alternatif baru kita lakukan ekstensifikasi. Karena untuk melakukan ekstensifikasi ini perlu anggaran yang cukup seperti persiapan lahan, kemudian saluran irigasi, embung begitu ya. Itu kan juga harus dipikirkan," pungkasnya.
(mdk/bal)