Koalisi menghadang perang narkoba para manusia setengah dewa
Pegiat ASEAN menyelidiki pembunuhan pecandu di Filipina. Pelanggaran HAM disponsori negara ini didukung publik
Albert Gonzales asyik bersantai di sofa ketika mendengar suara keras dari ruang tamu, suara rombongan orang-orang memaksa masuk disusul beberapa kali tembakan. Dia mendengar seseorang berkata, "alpha ada di lokasi", semacam sandi yang biasa dipakai aparat pemegang bedil.
Itu bukan sofa Gonzales sebab dia sedang bertamu di rumah Omeng Mariano. Dia buru-buru berlari ke kamar mandi, bersembunyi, kemudian memberanikan diri keluar setelah hening agak lama.
-
Apa yang diusulkan oleh Kementan untuk memperkuat sektor pertanian di negara Asean? Indonesia sendiri mendorong semua negara Asean untuk meningkatkan teknologi pertanian digital, ekonomi sirkular, energi biomassa, pengurangan emisi gas rumah kaca dan pengendalian hama terpadu,
-
Apa yang menjadi salah satu isu yang dibahas dalam KTT ke-43 ASEAN? Stabilitas kawasan akan kembali menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di Jakarta pada 5–7 September 2023.
-
Apa saja isu yang dibahas dalam KTT ASEAN? KTT ASEAN menjadi forum penting yang mana para pemimpin negara anggota berkumpul untuk membahas berbagai macam isu. Mulai dari isu-isu strategis, kerja sama regional, dan perkembangan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
-
Bagaimana HAM ditegakkan di Indonesia? Dalam proses menegakkan HAM, Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur terkait masalah hak asasi manusia.
-
Siapa yang berhak atas HAM? Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia, tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, suku, bahasa, agama, atau status lainnya.
-
Bagaimana AS mengatur pelarangan ini? Perintah Presiden AS Biden secara resmi memulai upaya untuk membuat peraturan yang melarang perusahaan AS berinvestasi di perusahaan-perusahaan dari “negara-negara yang menjadi perhatian” yang aktif dalam komputasi kuantum, semikonduktor canggih, dan bidang kecerdasan buatan tertentu.
Orang-orang itu memang tak ada lagi, tapi demikian pula Mariano, sobatnya. Para penembak misterius menghabisi Mariano di rumahnya sendiri, Distrik St. Quiteria, Ibu Kota Manila, Filipina akhir Juli lalu. Tubuh Mariano, bapak dua anak berusia 47 tahun, berlubang ditembus peluru di tujuh tempat.
Gonzales yakin kawannya dihabisi aparat. Dia ingin para penembaknya diseret ke hadapan hukum. Dia melaporkan pembunuhan ini ke polisi dan bersedia jadi saksi. Gonzales menuntut Presiden Filipina Rodrigo Duterte bertanggung jawab atas pembunuhan tanpa peradilan yang menimpa kawannya, serta ribuan orang lain di seantero negeri itu.
"Saya tidak peduli jika dia presiden. Orang punya kesempatan bertobat, sebab mereka semua manusia bukan binatang," ujarnya seperti disarikan dari laporan Majalah TIME.
Gonzales sendirian. Para tetangga menudingnya pendukung bandar narkoba. Kebijakan Duterte pun sedang dipuja-puji banyak orang. Tingkat dukungan pada Duterte mencapai 91 persen dari responden setelah dua bulan menjabat.
Tak heran Duterte bulan lalu pongah menanggapi kritik dari pegiat HAM internasional terkait kebijakannya mendukung pembunuhan pecandu narkoba tanpa peradilan. Dia saat ini sedang menjadi manusia setengah dewa di mata rakyatnya.
"Saya tidak peduli tentang hak asasi manusia, percayalah," kata Duterte.
Duterte lupa, sebagian manusia peduli nyawa orang lain. Protes terhadap kekerasan yang disponsori negara itu tumbuh sporadis, mirip gerilya. Pelan dan pasti. Tidak hanya di Filipina, belakangan menjangkau hingga seluruh dunia.
Amnesty International, bersama 374 organisasi pegiat Hak Asasi Manusia sedunia, mengirim surat terbuka terkait pelanggaran di Filipina kepada Badan Penanggulangan Kejahatan Narkoba PBB (UNDOC). Lembaga internasional itu kemudian mengecam kebijakan Duterte. Belakangan presiden 71 tahun itu meradang mendengar PBB ikut mengecamnya. Dia menuding ada konspirasi untuk merecoki kedaulatan Filipina, sampai-sampai mengusulkan dibentuk PBB tandingan.
Rafendi Djamin selaku Direktur Amnesty Internasional untuk Asia Tenggara dan Pasifik, menuntut pemerintah Filipina terbuka mengenai operasi penembakan misterius yang memicu banyak korban itu. Solidaritas pegiat HAM meluas karena korban jiwa sudah terlalu banyak jatuh tanpa dasar hukum memadai.
"(Pemerintah Filipina) secara resmi enggak pernah mengakui penembakan itu, tapi dia tidak pernah menyangkal juga," kata Rafendi kepada merdeka.com.
Pegiat HAM di Indonesia terlibat bersama rekan-rekan lain dari ASEAN menekan pemerintah Filipina. Puri Kencana Putri selaku Wakil Koordinator KONTRAS menjelaskan korespondensi dilakukan antar aktivis mengingat banyak aparat negara Asia Tenggara masih melanggar HAM memakai alasan keamanan maupun perang melawan narkoba. Para aktivis itu sebaliknya memberi dukungan pegiat di Indonesia saat menolak hukuman mati terpidana narkoba dua tahun terakhir.
"Ada dukungan solidaritas di kawasan ASEAN untuk mengingatkan Presiden Duterte atas tindakan di luar hukum yang ia ambil. Begitu juga mereka bersolidaritas kepada Kontras ketika Haris Azhar menyampaikan kesaksian Fredy Budiman tempo hari," kata Putri.
Data terbaru pemerintah Filipina yang diumumkan Minggu (4/9), menyatakan polisi "hanya" menembak mati 1.011 terduga pengguna maupun pengedar narkoba di jalanan. Sisanya diklaim tidak jelas dilakukan oleh siapa.
Aksi lebih konkret sedang dilakukan oleh Amnesty International menggandeng Komnas HAM Filipina (CHR). Selain mengecam resmi, lembaga swadaya ini akan melakukan penelitian terkait korban-korban penembakan misterius di pelbagai kota Filipina.
"Semacam investigasi mana yang betul-betul korban operasi pemerintah. Sebab korban itu jadi campur aduk. Ada yang terkait dengan pembunuhan biasa, jadi perlu riset yang bisa membuktikan secara kuat," kata Rafendi.
Amnesty International menyatakan mulai bermunculan elemen sipil di Filipina yang berani melawan kebijakan Duterte. Misalnya dari kalangan senator oposisi seperti Leila de Lima dan Edcel Lagman, hingga para petinggi gereja Filipina.
Rehabilitasi narapidana narkotika di LP Cipinang (c) 2016 merdeka.com/imam buhori
Rafendi, yang dulu mewakili Indonesia di Komisi HAM ASEAN (AICHR), menyatakan perlawanan ini patut diperjuangkan, sebab pelanggaran hak asasi seperti dilakukan rezim Duterte akan meninggalkan trauma bagi masyarakat.
Pegiat di Indonesia kini mulai waspada. Muncul tanda-tanda pemerintah dan aparat hukumnya ingin meniru kebijakan Filipina. Badan Narkotika Nasional melalui media massa akhir pekan lalu meminta Presiden Joko Widodo menerapkan kebijakan tembak mati pengedar.
KONTRAS menyatakan pendekatan kekerasan oleh aparat tak akan menyelesaikan persoalan narkoba di Indonesia. Mayoritas kasus obat-obatan terlarang di Tanah Air melibatkan pecandu, terdiri atas 70 persen pekerja, 22 persen pelajar dan 8 persen penganggur. Mereka butuh rehabilitasi bukan bui.
Adapun pemerintah RI tampaknya tidak akan mengubah gaya penindakan keras dalam waktu dekat. Presiden Jokowi merasakan sendiri, penerapan hukuman mati kasus narkoba didukung oleh 83,6 persen responden. Sentimen publik sangat positif.
Sama halnya untuk terpidana pengedar, Putri skeptis eksekusi mati berdampak pada tata niaga narkoba nasional. Apalagi dalam eksekusi jilid III, dari 10 terpidana hanya empat yang akhirnya ditembak mati. Penundaan itu menunjukkan sistem peradilan narkoba di Indonesia sangat lemah.
"Tahan dulu eksekusi mati. Sistem hukum kualitasnya buruk kok hanya menyalakan bandar. Jangan-jangan memang negara enggak mau tambah kerja aja dengan mengurus pecandu narkoba dan cuci tangan dengan eksekusi," ujarnya.
Bagi rakyat kecil, perang narkoba memenuhi imaji mereka tentang ketertiban, tentang keadilan. "Mereka yang dibunuh adalah sampah masyarakat. Apa yang dilakukan Duterte itu baik," kata Jamie Co, warga Distrik Pasig Ibu Kota Manila.
Namun bagi kawula jelata lainnya, yang mati teronggok di jalanan adalah ayah, ibu, adik, paman, kakak, dan darah daging mereka sendiri.
Dan itulah yang dialami oleh Maricar Alabon. Sang ayah, Ricky Alabon, ditembak 11 kali oleh pasukan misterius di kawasan utara Manila karena statusnya sebagai pecandu. Maricar pada pemilu 9 Mei lalu memilih Duterte. "Bapak saya butuh dibantu, bukan dibunuh."
Sang presiden menjabat paling lama enam tahun sesuai konstitusi Filipina. Tapi perih di hati tak bisa pergi begitu saja, sampai kapanpun.
Baca juga:
Negara ingin perang berdarah, rehabilitasi narkoba terabaikan
Pertumpahan darah sia-sia perang melawan narkoba Asia Tenggara
Lagi, terduga bandar narkoba ditemukan tewas di pinggir jalan Manila
Presiden Duterte sebut pengguna narkoba bukanlah manusia
Kepala Polisi Filipina ajak pecandu ikut menghabisi pengedar narkoba