Langgar aturan frekuensi demi popularitas politik
Politikus pemilik media sering mencolong permulaan buat berkampanye.
"...tetapi saya lagi berunding sama Mas Willy untuk bagaimana acara RCTI Jawa Timur, itu akan bisa dimasuki slot untuk kampanye teman-teman yang daerahnya jauh-jauh," ujar seseorang dalam rekaman ditayangkan Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP) di Youtube, Sabtu dua pekan lalu.
Itulah sedikit penggalan kalimat membuat Komisi Informasi Pusat (KIP), wasit dunia penyiaran, memanggil manajemen RCTI sehari kemudian. Tayangan ini menjadi sorotan para aktivis dan pakar peduli penyiaran karena dinilai secara terang-terangan ada niatan menggunakan frekuensi untuk kepentingan tertentu. KIP memandang tayangan berdurasi dua menit tujuh detik tersebut sebagai salah satu cara pengusaha media memberikan slot khusus untuk kepentingan politiknya.
Tidak lama setelah rekaman itu beredar dan ada pengaduan dari masyarakat, KIP langsung memanggil manajemen stasiun televisi untuk dimintai klarifikasi. Dalam pertemuan itu, RCTI hanya diwakili Kepala Sekretaris Perusahaan Adjie S. Soeratmadjie dan Muharzi Hasril sebagai Senior Manager Regulatory Affairs and Corporate Support mewakili Indovision.
Penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan pencitraan dan mendongkrak suara partai terus meningkat. Menurut catatan KPI, selama Oktober-November tahun lalu grup MNC, ketika itu pemiliknya masih berafiliasi dengan Partai Nasional Demokrat, telah menayangkan iklan partai ini hingga 350 kali dengan rincian RCTI 127 kali, MNCTV 112 kali, dan GlobalTV 111 kali. Di periode sama, MetroTV merilis pariwara Partai Nasdem 43 kali dan tvOne untuk iklan Partai Golkar 34 kali.
Koordinator Divisi Penyiaran dan Media Baru Aliansi Jurnalis Independen Dandhy Dwi Laksono menilai beredarnya rekaman pembicaraan di media sosial (youtube) tentang rencana penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan politik praktis menunjukkan hilangnya etika dan diabaikannya norma hukum mengatur dunia penyiaran.
AJI yang juga anggota Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menganggap stasiun televisi dan radio melanggar paling tidak tujuh norma hukum dan etis bila bersikap partisan dalam pemberitaan atau program acaranya.
Pelanggaran itu diantaranya Undang-undang penyiaran pasal 5 soal penyiaran diarahkan untuk memberikan informasi benar, seimbang, dan bertanggung jawab. Juga pasal 36 ayat 4 berisi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.
Penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan politik tertentu juga menabrak Pedoman Perilaku Penyiaran (P3 2011) pasal 11 yang mengatakan lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran. Menurut pasal 22, lembaga penyiaran harus menjaga independensi dalam proses produksi program siaran jurnalistik untuk tidak dipengaruhi oleh pihak eksternal atau internal, termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran.
Selain itu, yang dilabrak jika frekuensi digunakan untuk kepentingan tertentu adalah pasal 11 ayat 1, yakni program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan bukan buat kepentingan kelompok tertentu. Pasal 11 ayat 2 menegaskan program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran dan atau kelompoknya.
Direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Ignatius Haryanto mengatakan perlu pengaturan jelas dalam kampanye atau siaran politik di media penyiaran. Media menggunakan frekuensi publik wajib imparsial. “Tindakan seperti ini salah,” katanya.
Dia menegaskan hasil riset pihaknya menunjukkan ada perilaku tidak tertahankan dari para pemilik media yang terjun ke dunia politik hendak mengusung kepentingan sesaatnya. “Khusus terkait masalah penyiaran, esensi bahwa frekuensi yang dimiliki adalah milik publik, diabaikan dan tidak digubris,” katanya.
Ignatius mengatakan harus ada pemisahan antara pemilik media dengan posisinya dalam politik, terutama yang hendak mengincar jabatan politik. “Kita melihat betapa naif atau betapa luar biasa cara menghalalkan segala isi media untuk kepentingan pemenangan partai politiknya.”
Dia mengatakan penggunaan frekuensi buat partai tertentu membuat politik tidak demokratis. Partai mempunyai media colong permulaan, sedangkan yang tidak memiliki media tertinggal jauh walau belum masuk masa kampanye. ”Mereka sudah lari duluan, yang lain baru 2014. Ini menghasilkan situasi tidak adil, tidak demokratis,” katanya.