Lebaran Jokowi tanpa gejolak harga
Para menteri ekonomi berhasil kendalikan harga, tapi pejabat hukum dan politik terus berulah.
Lebaran tinggal dua hari lagi. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini tidak ada berita gejolak harga. Di sana sini memang ada kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok, tetapi kenaikan itu tidak seberapa sehingga tidak jadi perbincangan. Salah satunya adalah kenaikan harga cabai keriting, yang sedari dulu memang naik turun.
Situasi ini kontras dengan tiga atau empat bulan lalu. Tak hanya harga beras yang melambung, tetapi juga barang-barang kebutuhan pokok lain. Gejolak harga beras itu sampai membuat Presiden Jokowi berang. Tidak hanya Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian yang dapat semprot, tetapi juga pejabat terkait. Puncaknya Kepala Bulog yang baru saja bekerja enam bulan, dipecat.
Diikuti dengan pelemahan rupiah terhadap dolar, membuat banyak pihak ketir-ketir: jangan-jangan pemerintah Jokowi memang tidak becus mengurus ekonomi. Memang betul, penguatan dolar tidak hanya menimpa rupiah, tetapi juga hampir semua mata uang dunia. Bahkan di Asia Tenggara, penurunan rupiah masih kalah tajam dari ringgit, bath dan peso. Namun hal itu tak mengurangi rasa cemas pelaku bisnis.
Sesungguhnya yang bikin mereka cemas, bukanlah angka-angka ekonomi yang bisa mereka cek recek dan perbandingkan dengan masa lalu dan kawasan lain. Yang bikin cemas adalah berbagai pernyataan para politisi, yang seakan-akan menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi amatiran. Para menterinya masih belajar dan bodoh sehingga sering bikin keliru dalam mengambil keputusan.
Kecamuk dolar saat itu, membuat spekulasi politik berkembang macam-macam. "Sebentar lagi dolar akan jatuh ke Rp 17 ribu. Situasi 1998 akan terulang. Pemerintah akan tumbang," demikian kira-kira pernyataan banyak politisi yang disampaikan di berbagai kesempatan. Ini tidak hanya disuarakan oleh politisi dari kalangan Koalisi Merah Putih (KMP), yang memang menjadi oposisi Jokowi, tetapi juga oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pencalonan dan kabinet Jokowi.
Dalam suasana seperti itu, pelaku bisnis mana yang tidak risau. Namun mereka tidak mau terus menerus berkubang dalam kecemasan. Mereka butuh kepastian, mereka juga tahu pernyataan politisi juga tidak bisa jadi pegangan. Mereka pun kembali ke angka-angka ekonomi riil yang diangkat dari lapangan. Mereka juga perhatikan berbagai indikator ekonomi global untuk memposisikan ekonomi Indonesia.
Kepastian itulah yang membaut mereka tidak hanyut dalam persepsi ekonomi buruk yang hendak ditanamkan para politisi. Mereka tidak mau terkecoh oleh permainan para penghuni Senayan. Mereka juga tidak mau terkesima pernyataan sebagian pengamat ekonomi, yang kaya spekulasi tapi miskin analisis. Mereka mau percaya pada data dan fakta saja. Sebab hanya itu yang bisa membantu kalkulasi ekonomi untuk bertindak.
Para pelaku bisnis menyaksikan proyek infrastruktur triliunan rupiah berjalan di mana-mana: jalan tol trans Sumatera, jalan tol trans Jawa, MRT Jakarta, perluasan bandara dan pelabuhan, pembangunan waduk dan pembangkit listrik, dan lain-lain. Mereka merasakan birokrasi perizinan tidak lagi berbelit, tender semakin transparan, subsidi orang miskin semakin tepat sasaran. Bantuan tunai melalui rekening langsung ke orang-orang miskin tersebut dapat meningkatkan daya beli, sehingga pembelian barang dan jasa juga meningkat. Jelas, ekonomi tumbuh, peluang ekonomi membesar.
Semua bertentangan dengan persepsi buruk yang ditanamkan oleh banyak politisi yang terganggu kenyamanannya karena hilangnya fee dan sempitnya ruang korupsi. Memang betul sempat terjadi gejolak harga, tetapi itu terjadi tiga empat bulan lalu, dan sejak Mei sudah teratasi. Memang sempat terjadi pelemahan rupiah beruntun, tetapi sejak Juni rupiah sudah stabil. Dan kini semua orang tahu, baru untuk pertama kali dalam sejarah ekonomi nasional, harga-harga barang kebutuhan pokok stabil menjelang lebaran.
Sayang kestabilan harga barang itu dan situasi positif ekonomi itu, tidak diikuti oleh sikap dan tindakan pejabat di lingkungan hukum dan politik. Kita senang melihat KPK kembali menangkap tangan pelaku korupsi, tetapi kita prihatin Mabes Polri menetapkan anggota Komisi Yudisial gara-gara hakim Sarpin tidak tahan kritik. Tak gampang memang mengurus negeri ini. Kalau Jokowi bisa tegas terhadap pejabat ekonomi, mestinya juga bisa bersikap serupa terhadap pejabat hukum dan politik. Jika tidak, maka kinerja dan prestasi ekonomi bisa rusak oleh ulah aneh-aneh pejabat hukum dan politik.