Majelis Rasulullah (3): Siapa Habib Mundzir?
Berdakwah sejak 1998, kini jumlah jamaah Habib Mundzir sekitar 50 ribu.
Dia adalah Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Usianya 39 tahun. Dakwah yang dilakoni sejak 1998 kini telah diikuti puluhan ribu jamaah. Sang habib berceramah di sepanjang pantai utara dan pantai selatan Jawa, terus meluas ke Bali, Nusa Tenggara Barat, Papua, bahkan Singapura, Johor dan Kuala Lumpur, Malaysia. Majelis Rasulullah juga mengisi acara bimbingan rohani di gedung-gedung perkantoran dan stasiun-stasiun televisi. Sebuah kios didirikan persis di belakang Masjid Al-Munawar, menjual aneka aksesori Majelis Rasulullah.
Setelah belajar bahasa Arab dan ilmu agama dari beberapa habib ternama di Jakarta, dia mengikuti tradisi panjang para kaum sayyid: belajar agama di Hadramaut, Yaman Selatan. Hadramaut sudah lama menjadi tujuan belajar agama yang memikat para pelajar dari Indonesia. Karena Mekkah sudah mengurangi jatah beasiswa bagi mahasiswa asing, dia mendalami ilmu fiqih, tafsir Al-Quran, hadits, sejarah, tauhid, tasawuf, dakwah, dan syariah di pesantren Darul Musthafa, Tarim, Hadramaut, di bawah bimbingan langsung Guru Besar Habib Umar bin Hafidz Bin Syekh Abubakar.
Bayi Mundzir lahir di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, Jum’at 23 Februari 1973 atau 19 Muharram 1393 Hijriah. Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, dia mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Berikutnya, dia mengambil kursus bahasa Arab di lembaga bahasa asing Assalafy, Jakarta timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syari’ah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur.
Setelah itu, selama empat tahun Habib mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim, pada 1994. Setelah kembali ke Indonesia pada 1998, dia mulai berdakwah dengan mengunjungi rumah-rumah penduduk, bercengkerama dengan mereka. Lalu atas permintaan warga, maka mulailah Habib Mundzir membuka majelis. Pada awal berdiri, yang hadir sekitar enam orang di Masjid Al-Munawar, Jalan Pasar Minggu Raya, Pancoran, Jakarta Selatan.
Jumlah hadirin terus meningkat hingga puluhan beberapa tahun kemudian. Akhirnya dibentuklah Majelis Rasulullah. Dakwah tidak berhenti di situ. Perencanaan disusun sematang mungkin untuk menarik perhatian banyak orang. Mulai dari menggunakan baliho, umbul-umbul, drum band, hingga live streaming video. Mereka menawarkan gabungan antara dakwah dan hiburan. "Masjid dan halaman penuh, sampai jalanan," kata Yati, penjual pulsa selama 14 tahun di samping Masjid Al-Munawar.
Menurut dia, Majelis Rasulullah sudah 15 tahun menggelar pengajian di Masjid Al-Munawar. Saban digelar, jumlah hadirin membludak hingga ke Jalan Raya Pasar Minggu. Satu ruas jalan mendadak jadi pasar malam. Maka terbentanglah arena jual-beli sepanjang setengah kilometer, dipenuhi pedagang yang menjual rupa-rupa perlengkapan pengajian, dari kopiah, tasbih, gamis, sampai minyak wangi.
Puluhan ribu orang hadir dalam pengajian saban Senin malam, kebanyakan anak muda. Mereka datang dari berbagai daerah. ”Sampai kadang saya miris juga, banyak copetnya. Di genteng toko saya, pagi hari setelah pengajian, banyak dompet-dompet dibuang di sana,” ujar Yati.
Habib Mundzir terus berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam. Dia tidak mencampuri urusan politik, dan selalu mengajarkan tujuan utama penciptaan manusia, yakni beribadah kepada Allah. Namun bukan berarti harus duduk berdzikir sepanjang hari tanpa bekerja, tapi justru mewarnai semua gerak-gerik kehidupan sesuai tuntunan agama. Kalau dia ahli politik, maka ia ahli politik yang baik, kalau konglomerat, maka dia konglomerat yang baik.
“Meski jamaah Majelis Rasulullah sekitar 50 ribu orang, tapi sampai sekarang kami tidak ada urusan dengan politik,” kata Wahyu, seorang pengurus sekretariat majelis.