Membedah Aturan Main Penjabat Gubernur
UU ASN dan UU Pilkada menjadi rujukan pemerintah mengangkat TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah. Namun, sejumlah pakar menolak rencana tersebut. Bahkan dua UU tersebut dinilai melanggar konstitusi.
271 Kepala Daerah akan habis masa jabatannya sebelum gelaran Pilkada 2024. Mengisi kekosongan itu, Pemerintah akan menunjuk penjabat untuk memimpin Pemda sementara. Sampai kepala daerah definitif terpilih dari hasil Pemilu.
Kursi empuk penjabat menjadi polemik. Terlebih, jabatan diisi bukan hitungan bulan. Misalnya Gubernur Jakarta yang habis pada 2022. Penjabat akan memimpin ibu kota selama dua tahun.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dibahas? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Bagaimana proses pembahasan revisi UU Kementerian Negara? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Siapa saja yang terlibat dalam rapat pembahasan revisi UU Kementerian Negara? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Apa isi penting dari revisi UU Kementerian Negara? Salah satu poin penting dalam RUU itu adalah perubahan Pasal 15. Dengan perubahan pasal itu, presiden nantinya bisa menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan negara, tidak dibatasi hanya 34 kementerian seperti ketentuan dalam undang-undang yang belum diubah.
-
Kapan Sandiaga Uno menyampaikan pesan ini kepada para calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada Jakarta? Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang juga Mantan Wakil Gubernur Jakarta, Sandiaga Uno, mengingatkan kepada para pasangan calon (Paslon) gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Jakarta untuk membenahi permasalahan biaya hidup rakyat.
-
Apa yang dimaksud dengan revisi UU ITE jilid II? Revisi UU ini dikarenakan masih adanya aturan sebelumnya masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membuka opsi penjabat diisi oleh perwira tinggi TNI dan Polri. Rujukannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 10 tahun 2016 Pilkada.
"Dibaca saja ya UU-nya. Ada dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN, sekali lagi UU tentang ASN," kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik saat dihubungi merdeka.com, pekan lalu.
Akmal merujuk pada UU ASN Pasal 20, Beleid tersebut menyatakan jabatan ASN dapat diisi oleh prajurit TNI dan Polri. Dalam UU ASN pasal 109 juga mengatur, jabatan pimpinan tinggi utama dan madya dapat diisi oleh non PNS juga prajurit TNI-Polri. Ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres).
Sementara merujuk UU Nomor 10 tahun 2016 pasal 201 ayat 10 dan ayat 11 tentang Pilkada. Penjabat diisi oleh pimpinan tinggi madya untuk gubernur. Penjabat Bupati dan walikota diisi oleh pimpinan tinggi pratama.
Namun, pandangan berbeda diungkap oleh Mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan. Menurut dia, tidak ada aturan yang memperbolehkan prajurit TNI dan Polri menjadi penjabat kepala daerah. Menurut dia, yang berhak hanyalah ASN.
Djohermansyah mengatakan, UU Pilkada mengatur apabila terjadi kekosongan karena tidak ada Pilkada maka Kepala daerah yang habis jabatannya diisi oleh ASN. ASN yang menyandang jabatan eselon 1 atau jabatan pimpinan tinggi madya untuk posisi Gubernur.
"Kalau dibaca di situ, maka kalau TNI dan Polri kan bukan jabatan ASN kan. TNI-Polri dia punya jabatan sendiri di lingkungan kepolisian dan militer," jelas Djohermansyah.
Dalam UU ASN, yang dimaksud dengan 'jabatan pimpinan tinggi madya' meliputi; sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Sementara 'jabatan pimpinan tinggi pratama’ meliputi; direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara.
"Boleh tidak tentara atau polisi menduduki jabatan sebagai penjabat Kepala daerah untuk mengisi kekosongan itu? Secara normatif, UU itu tegas jelas menyatakan tidak ada. Artinya yang bisa menjabat ASN," kata Djohermansyah lagi menekankan.
Anggota Bawaslu RI Rahmat Bagja pun menolak penjabat diisi oleh Polri dan TNI. Dia mendorong, agar sipil yang mengisi kekosongan periode kepala daerah nantinya.
Senada dengan Djohermansyah, Rahmat menilai, Undang-Undang melarang TNI/Polri mengisi penjabat. Berbeda dengan pelaksana tugas (Plt) yang menurut dia, masih memperbolehkan diisi prajurit TNI dan Polri. "Undang-undang kan tidak bisa, undang-undangnya nggak bisa," tutur dia.
Rahmat mendorong agar penjabat diisi oleh orang-orang kementerian. Dia yakin, pemerintah memiliki 271 ASN yang kompeten untuk mengisi penjabat kepala daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
"Apalagi Jakarta, menurut saya sipillah, kan kementerian dalam negeri punya. Ada Menpan RB ada kemudian eselon 1 untuk Pj gubernur," kata Rahmat.
UU ASN Pasal 109 berbunyi;
(1) Jabatan pimpinan tinggi utama dan madya tertentu dapat berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
(2) Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
(3) Jabatan Pimpinan Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim menilai, bukan perkara mudah mencari 271 penjabat untuk mengisi kekosongan Pemda. Menurut dia, sampai saat ini belum ada pembahasan antara DPR dan pemerintah tentang mekanisme pengisian penjabat tersebut.
Namun, dia menegaskan, bukan jadi soal apabila penjabat tersebut diisi oleh kalangan Polri dan TNI. Menurut dia, hal itu sudah diakomodasi dalam UU ASN dan UU Pilkada.
"Pj kepala daerah yang berasal dari TNI/Polri, bisa dipertimbangkan untuk memimpin daerah-daerah yang tingkat ancaman gangguan ketertiban sosialnya tinggi," kata Politikus PKB itu.
Luqman menambahkan, UU Pilkada tidak mengatur secara spesifik harus ASN yang mengisi penjabat. Jadi, jika pertanyaannya harus perwira bintang berapa, maka kembali pada aturan, apa saja syarat-syarat yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi Madya/Pratama.
Luqman pun berpendapat terlalu berlebihan apabila menilai penunjukan Penjabat kepala daerah dikaitkan dengan dwifungsi ABRI. Menurut dia, dalam konteks penjabat yang ditunjuk, berbeda dengan zaman orde Baru yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pejabat.
UU Pilkada Pasal 201 berbunyi;
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun
(10) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11) Jabatan penjabat jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi Pakar Hukum Tata Negara, Fery Amsari, polemik penjabat dari TNI/Polri harus mengacu pada UUD 1945. Dalam amanat konstitusi, bahwa tugas pokok TNI/Polri dalam pasal 37 menyangkut keamanan dan pertahanan negara.
Fery mengatakan, tugas TNI dan Polri bukan sebagai pelayanan seperti penjabat kepala daerah. Oleh sebab itu, dia menilai, UU yang mengatur tentang bolehnya prajurit TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
"Jadi konsentrasi konstitusionalnya begitu, sehingga turunan dari itu tentu akan bertentangan dengan undang-undang dasar kan," jelas Fery.
Fery pun mengakui ada tumpang tindih aturan dalam kewenangan TNI/Polri. Menurut dia, pihak yang paling bertanggungjawab atas persoalan ini adalah DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU.
"Jadi tumpang tindih ketentuan undang-undang itu terjadi karena kelalaian dari pembentuk undang-undang, siapa pembentuk undang-undang, ya undang-undang ya presiden dan DPR," jelas dia.
Menurut Perpres Nomor 5 Tahun 17 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Polri. Untuk pangkat Komjen (bintang tiga) masuk ke dalam kategori eselon IA. Mulai dari Wakapolri, Irwasum, Kabaintelkam, Kabaharkam, Kabareskrim, Kalemdiklat. Kemudian, ada pula polisi berpangkat Irjen (bintang dua) yang masuk dalam kategori eselon IA. Yakni mereka yang menduduki posisi Asrena, Asops, As SDM dan As Log.
Untuk kategori eselon IB, berpangkat Irjen yakni yang menduduki jabatan; Wairwasum, Wakabaintelkam, Wakabaharkam, Wakabareskrim, Wakalemdiklat, Kadivpropam, Kadivkum, Kadivhumas, Kadivhubinter, Kadiv TIK, Sahli Kapolri, Dankorbrimob, Kakorlantas, Kakorpolairud, Kakorsabhara, Kakorbinmas, Kadensus 88 AT, Kasespim, Ketua STIK, Gubernur Akpol. Serta para Kapolda yang menjabat di daerah dengan kategori tipe A.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Alfitrah Salam enggan menanggapi landasan hukum dari wacana TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah. Dia menekankan, pentingnya aspirasi masyarakat terhadap polemik tersebut.
Alfitrah menilai, perlu dipertimbangkan kembali pandangan masyarakat terhadap wacana tersebut. Dia juga menekankan, selalu mempertimbangkan semangat reformasi politik yang harus dijaga baik. "Faktor kapasitas dan kelangsungan reformasi hendaknya lebih diutamakan," katanya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno pun menolak wacana TNI dan Polri masuk sebagai penjabat kepala daerah. Menurut dia, jangan lagi menggoda TNI dan Polri untuk masuk ke ranah sipil. Terlebih, Indonesia tidak kekurangan tokoh untuk mengisi penjabat kepala daerah.
Dia juga mengkritik tumpang tindih aturan antara UU ASN dan UU Pilkada yang tidak kesesuaian dengan amanat UUD 1945. "TNI-Polri tak perlu digoda masuk ranah politik sipil," katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati juga mengkritik isi UU Pilkada. Menurut dia, dalam UU itu tak dijelaskan detil siapa yang berhak mengisi penjabat.
Menurut dia, harusnya, UU mengatur spesifik penjabat masuk dalam kategori pimpinan tertinggi Madya dan pratama itu diambil dari kementerian mana. Dia menyatakan, dalam UU juga tidak ada larangan atau memperbolehkan prajurit TNI/Polri menjadi penjabat. "Itu yang kemudian menjadi celah bisa mengambil dari TNI-Polri," kata wanita akrab disapa Ninis ini.
Tim Penulis: Intan Umbari Prihatin, Ronald Chaniago, Genantan Kesuma, Wilfridus Setu Embu, Randy F Firdaus
Baca juga:
Zulhas Sebut Perwira TNI-Polri Aktif Tak Bisa Jadi Pj Kepala Daerah
Kecuali Daerah Konflik, Penjabat Kepala Daerah Diminta Jangan dari TNI-Polri
Wacana TNI-Polri jad PJ Kepala Daerah, Pengamat Bilang "Bisa Isi di Wilayah Konflik'
Dasco Minta Pemerintah Kaji Mendalam Wacana TNI-Polri Jadi Pj Kepala Daerah
Pj Kepala Daerah TNI-Polri Bisa Dipertimbangkan untuk Daerah Tingkat Gangguan Tinggi
Perludem: Penjabat Kepala Daerah Tak Sejalan dengan Konsep Otonomi Daerah