Menuntut keadilan bagi seluruh pendidik
Masalah kesejahteraan guru honorer seakan tak ada habisnya. Kerap terbentur bermacam aturan.
Pendidikan salah satu tumpuan bangsa. Namun jurang perbedaan upah antara guru honorer dan Pegawai Negeri Sipil amat jauh. Biar disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, mereka tetap harus memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Upah diterima tidak sebanding dengan pengabdian mereka. Iming-iming pengangkatan menjadi PNS pun masih abu-abu. Padahal banyak dari mereka sudah mengajar lebih dari lima tahun.
Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Herman Suryatman, mengklaim secara hukum persoalan guru honorer sudah selesai seiring dengan berakhirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 56 tahun 2012. Saat ini, katanya, penanganan persoalan tersebut kembali ke pejabat pembina kepegawaian (PPK), yaitu bupati dan wali kota. Sebab yang awal merekrut guru honorer menjadi CPNS adalah PPK.
Meski demikian, masalah guru honorer masih menyisakan persoalan. Sebab secara hukum, persoalan pengangkatan selesai pada Desember 2014 lalu. Herman menyebut pemerintah sudah mengangkat 1 juta lebih guru honorer menjadi CPNS tahun ini. Akan tetapi, data guru honorer dari daerah terus membengkak dan membuatnya tidak selesai. Menurut Herman, Kemenpan-RB sudah berupaya menyelesaikan persoalan guru honorer. Akan tetapi saat ini terbentur Undang-Undang Nomor 5 tahun 2015 tentang aparatur sipil negara (ASN).
"Di situ (undang-undang) ditegaskan bahwa untuk menjadi aparatur sipil negara harus mengikuti mekanisme, mengikuti tes," ujar Herman saat dihubungi merdeka.com, Selasa (22/11) lalu.
Oleh karena itu, dia menyatakan Kemenpan-RB tidak dapat berbuat banyak. Mereka cuma mengimbau kepada PPK supaya tenaga honorer nasibnya belum jelas dijamin kesejahteraannya. Meski hal itu harus dikompromikan dengan APBD masing-masing daerah.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rasidi, memohon kepada pemerintah untuk mengangkat guru honorer ketika ada pengangkatan PNS. Jika tidak memungkinkan, Unifah berharap agar para honorer diangkat menjadi guru tidak tetap yang dibayar melalui APBD. Dengan begitu mereka bisa mendapat sertifikasi.
Sebenarnya menurut dia ada beberapa mekanisme semestinya dilakukan oleh pemerintah. Pertama, angkat guru honorer yang masa kerjanya sudah lama. Kemudian, jadikan para honorer pegawai dengan dibayar dari APBD. Atau jika mereka berada di desa maka dibayar dengan dana desa.
"Yang penting mereka itu ada alokasi, ada komitmen-komitmen dari pemerintah daerah terhadap keberadaan mereka," kata Hanifah.
Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Didi Supriyadi menyebut saat ini jumlah guru honorer di Indonesia sebanyak 439 ribu. Sebagian masa kerja mereka antara lima hingga 20 tahun. Bahkan kata dia, ada guru honorer bakal pensiun tapi masih belum diangkat menjadi PNS.
PGRI pun sudah memperjuangkan agar guru honorer terdaftar di pemerintah. Setelah itu PGRI mengusahakan supaya mereka mendapat upah minimum karyawan (UMK), sambil menunggu diangkat menjadi PNS. Namun hal itu sulit terlaksana.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Suparman, menyarankan upah guru honorer di DKI Jakarta mestinya menjadi patokan bagi pemerintah di daerah. Sebab, di ibu kota negara, para guru honorer dan kontrak mendapat upah minimum pegawai (UMP). Dia meminta pemerintah daerah berani menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pusat soal kesejahteraan guru honorer.
Jika kesulitan mengangkat PNS, lebih baik mengangkat mereka sebagai guru kontrak atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). P3K mempunyai hak sama dengan PNS, tetapi tidak mendapat dana pensiun.
Suparman berharap ketika ada seleksi pemerintah dapat memprioritaskan guru honorer di desa. Apalagi guru honorer yang memiliki masa kerja lebih dari lima tahun.
"Guru-guru honorer sudah berjasa mencerdaskan bangsa. Haknya dibedakan, mengajarnya sama. Problem yang sama itu yang harus dihargai," tutupnya.
Sayang saat dikonfirmasi, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan justru tidak memberikan penjelasan. Telepon dan pesan singkat dilayangkan tidak mendapat jawaban.