Nurul Musthofa (1): Sentuhan habib muda
Untuk menarik kaum remaja mengaji, Nurul Musthofa memakai petasan dan hadrah.
Seperti biasa, menjelang pengajian mingguan saban Sabtu malam, Abdulrahman sibuk luar biasa. Orang yang dituakan di majelis Shalawat dan Dzikir Nurul Musthofa ini bertugas mempersiapkan pengajian di pelbagai wilayah. Mengurus izin tempat dan penutupan jalan kepada ketua RT, kelurahan, kecamatan, kepolisian, hingga wali kota adalah pekerjaannya. Dia juga koordinator jamaah buat seluruh wilayah Ibu Kota.
“Dakwah itu harus menyesuaikan perkembangan zaman. Petasan dan hadrah itu bisa dibilang strategi kami buat menarik anak-anak muda mau mengaji,” tuturnya kepada merdeka.com kemarin. Tak mengherankan, dari sekitar 20 ribu yang hadir saban pengajian, sekitar 40 persen diklaim adalah remaja laki-laki. Sisanya jamaah perempuan dan kaum bapak.
Selama ini, raungan arak-arakan sepeda motor dan bunyi petasan identik dengan majelis yang didirikan Habib Hasan bin Ja'far Assegaf ini. Misalnya, pengajian di Jalan RM Kahfi 1, Gang Manggis, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin malam pekan lalu. Selain petasan, musik hadrah berirama padang pasir juga dimainkan mengiringi lantunan shalawat bagi habib yang berada di atas panggung.
Nurul Musthofa didirikan pada tahun 2000. Habib Hasan memberi sentuhan berbeda pada strategi dakwahnya. Misalnya, memberi bunyi petasan pada setiap pengajian, shalawatan dengan irama padang pasiran, serta mencuplik cerita-cerita keteladanan para wali. Berawal dengan dakwah keliling dari rumah ke rumah, sang Habib istiqomah mengajarkan ilmu agama kepada warga. Setahun kemudian, ia mulai mendatangkan sejumlah habib ke majelisnya.
Dengan begitu, jumlah jamaah yang hadir meningkat. Dari puluhan orang, hingga mencapai ratusan. Strategi dakwah semacam itu terus dipertahankan hingga sekarang.”Itu karena sentuhan dan keistiqamahan dakwah yang dilakukan habib. Sekarang kalau pengajian rutin jumlah jamaah yang hadir bisa sampai puluhan ribu,” terang Abdul.
Habib Hasan bin Ja’far Assegaf lahir di Bogor pada 1977. Di percaya keturunan Nabi Muhammad SAW, sang Habib lahir di tengah keluarga ulama. Dari ibunya, ia merupakan keturunan keramat Empang Bogor, yakni Habib Abdullah bin Muhsin Alatas. Ibunya adalah Syarifah Fatmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Alatas.
Berbeda dengan Habib Mundzir, pemimpin Majelis Rasulullah yang belajar ilmu agama ke Hadratumaut di Yaman. Habib Hasan memilih belajar ilmu agama ke Pondok pesantren Daarul Hadits Al Faqihiyyah, Malang, Jawa Timur. Latar belakang pendidikan itu yang membedakan strategi dakwah keduanya. Habib Mundzir lebih banyak berkisah tentang keteladanan nabi dan rasul, sementara Habib Hasan cenderung menukil kisah-kisah para wali.Usai pengajian, Habib Hasan juga biasa mengajak jamaahnya berziarah ke makam-makam wali.
Musni Umar, sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menilai strategi dua majelis terbesar di Jakarta itu berhasil. Buktinya ketertarikan remaja terhadap pengajian-pengajian majelis cukup tinggi. Namun demikian, dia lebih yakin jika ketertarikan itu karena dipicu oleh faktor lingkungan. Kenyataannya, banyak remaja yang berstatus pelajar hingga pekerja yang aktif dalam kegiatan-kegiatan pengajian.”Ya memang fasenya seperti itu,” kata dia.