Pekerjaan menantang maut petugas penilik rel kereta
"Sampai paling parah pencurian besi di badan jalan rel, pernah juga kita temui baut yang hilang," kata Dwi.
Tiga puluh menit menjelang waktu buka puasa, Dwi Novrianto nampak rehat sejenak di Stasiun Klender sebelum bertugas. Saban Ramadhan, pekerjaannya memang bertambah dua kali lipat ketimbang bulan-bulan biasanya. Di ruang stasiun itu peralatannya sudah tergantung rapih di ruangan, sebuah tas selempang dan rompi safety. Tak pernah ketinggalan sebuah senter berbentuk kotak (hand sein) tergeletak di lantai.
Baan Schower, demikian pekerjaan Dwi itu pertama kali dikenalkan di Indonesia, tepatnya ketika pertama kali kereta api masuk ke negeri ini. Lambat laun, seiring dengan berkembangnya dunia kereta api, pekerjaan ini terus berganti nama menjadi Juru Penilik Jalan (JPJ). Kemudian terakhir biasa disebut Petugas Penilik Jalan (PPJ) kereta api.
Dwi, lelaki 37 tahun itu sudah lama bergelut dengan tugas jalan kereta api. Saban hari, tugasnya memeriksa dengan teliti setiap inchi rel kereta api. Di tangan Dwi lah keamanan dan keselamatan rangkaian lokomotif yang mondar-mandir saban hari dipertaruhkan.
"Yah, kalau menjelang hari raya, biasanya kejadian luar biasa, perjalanan kereta api meningkat terus. Setiap hari, pengecekan waktu pagi dan malam," ujar Dwi kepada merdeka.com pekan lalu di Jakarta.
Dwi bergegas memulai pekerjaannya usai menyantap menu buka puasa dengan segelas teh hangat dan dua potong gorengan panas, seadanya. Waktunya pun seperti diburu. Sebagai PPJ tugasnya penuh perhitungan, apalagi waktu selepas malam hari berhadapan dengan intensitas jadwal commuter line Jakarta.
Pada jam-jam menjelang malam itu lalu lalang kereta sedang tinggi. "Malam sangat berbahaya, tapi kita selalu jaga keamanan kerja," ujarnya.
Berangkat dari Stasiun Klender, berpakaian lengkap dengan balutan rompi berkilau, tangan kanannya setia memegang hand sein yang berfungsi sama seperti senter. Bentuknya kotak berbahan besi dengan sorotan sinar lampu. Bagian belakangnya lampu berwarna merah terus menyala terang.
Dwi mulai menyusuri jalan rel kereta api dari Stasiun Klender lama hingga arah menuju Buaran, sesuai wilayah teritorial kerjanya. Tak lupa tas selempang dengan merek emblem bertuliskan 'kehed' berisi kunci pipa, jas hujan, bendera semboyan, dan buku kecil kusam. Di situ juga ada buku 'Pas Jalan' berisi catatan seperti jam periksa, nama petugas, dan laporan harian kondisi rel kereta.
"Saya periksa ada baut kendur, bantalan rel rusak, lidah wesel rusak, longsoran, pohon tumbang, harus steril dari rintangan jalan istilahnya rinja. Sampai paling parah pencurian besi di badan jalan rel, pernah juga kita temuin baut yang hilang," kata lelaki kelahiran Jakarta itu.
Wajahnya tak tampak lelah. Padahal keringat sudah membasahi seluruh mukanya. Jejak langkahnya sigap dengan sorot lampu bersama pandangan tajam matanya ke arah bawah. Tak ada yang terlewat. Baru berjalan dua puluh langkah, sebuah sinar berwarna kuning muncul dari kejauhan. Benar saja, sebuah kepala lokomotif bersama gerbongnya meluncur deras dari arah berlawanan.
Pekerjaan Dwi ini memang menantang maut. "Kita harus berhenti dan menyingkir dari jalan kereta, dari kejauhan sudah kelihatan " ujar Dwi.
Suara klakson bersahutan, sang masinis memberikan lampu kedip selepas melewati PPJ. Dwi membalas dengan lambaian tangan tanda semboyan aman. Lalu kereta dari arah sebaliknya wajib melakukan hal serupa saban kereta api melintas. "Maka dari itu dilarang keras kalau PPJ memakai headset sambil mendengarkan musik dalam bekerja, dilarang keras. Kita jalan selalu berlawanan arah dengan kereta api," ujarnya.
Uniknya, pada wilayah kerja Dwi setiap petugas sudah menunggu sesama PPJ. Dwi harus berjalan menyusuri rel kereta api hingga batasnya hampir sekitar tiga kilometer. Di sekitar bawah jembatan fly over buaran temannya sudah lebih dahulu sampai. Buku Pas Jalan miliknya dibubuhi tanda tangan masing-masing petugas.
"Petak saya sampai bawah sini, buku Pas Jalan saya ditandatangani teman petugas batas saya," ujarnya. Tak lama berbicara dengan sesama petugas, Dwi langsung bergegas jalan kembali mengarah ke Stasiun Klender.
"Enggak pakai istirahat langsung balik lagi, kita cek jalur hulu dan hilir, hampir sekitar 45 menit, sekali jalan. Jadi kalau dihitung pulang dan pergi pengecekan sekitar 90 menit sudah harus sampai Klender lagi, harus pas," katanya.
Menurut dia, dalam catatan buku Pas Jalan miliknya, Dwi mulai bekerja dari pukul 18.30 sampai 20.30 WIB, menghabiskan waktu hampir dua jam berjalan kaki. Dengan jadwal saban hari, pagi dan malam. "Saya kategori PPJ regular. Ada wakil regular, dan PPJ ekstra buat cek akhir pekan dengan kondisi waktu KLB seperti sekarang ini," ujarnya.
Dwi tak pernah mengeluh. Pekerjaan sebagai PPJ kereta api sudah ditekuni sejak empat tahun lalu. Suka duka sudah ditelannya sembari melakukan pengecekan kondisi rel kereta api. Jelang Hari Raya Lebaran dipastikan tetap bekerja. "Kita selalu Salat Ied di masjid mana aja, soalnya kedapatan tugas pagi terus," ujarnya Lirih.