Perang Udara Kubu 01 vs 02
Perang Udara Kubu 01 vs 02. Riuhnya perbincangan Pilpres 2019 di media sosial selama tiga bulan ini, harus diakui Hari belum sampai subtansi pemilu.
Perang Pilpres di media sosial. Pertarungan Joko Widodo-Ma'ruf Amin melawan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menarik disorot. Pergerakan pendukung mereka gencar. Berani melakukan manuver. Memainkan pelbagai macam isu.
Memiliki posisi sebagai petahana, tingkat populer Jokowi memang tertinggi. Posisinya sebagai presiden menguntungkan. Namun, para pendukung Prabowo-Sandiaga justru lebih solid. Mereka mampu membuat jejaring media sosial riuh ramai. Memainkan peran sebagai penantang petahana.
Memasuki bulan ketiga masa kampanye, pergerakan makin agresif. Data milik Drone Emprit periode 1 Oktober - 11 Desember 2018 menunjukkan, penggunaan tagar #2019GantiPresiden di Twitter sebanyak 231.348 tweets. Isu itu menjadi paling besar dari kubu capres-cawapres nomor urut 02 itu.
Kubu Jokowi tidak tinggal diam. Mereka mengeluarkan tagar tandingan #01JokowiLagi. Upaya itu tetap kalah. Data Drone Emprit menunjukkan hanya 180.297 tweets. Bahkan penggunaan tagar #2019GantiPresiden masih masif digunakan pengguna Twitter sejak awal tahun.
Gerakan diinisiasi Politisi PKS, Mardani Ali Sera. Berkat Mardani, para pendukung Prabowo di media sosial dan anti Jokowi berkumpul. Menggalang kekuatan di udara. Siap menyerang petahana. Masifnya tagar itu mampu masuk dalam lima besar tagar tertinggi di pihak kubu 02. Jumlahnya ada 96.406 tweets. Beda tipis dengan tagar #2019TetapJokowi diurutan keempat dengan jumlah 98.952 tweets.
Sementara tagar #2019TetapJokowi ada diurutan ke-12 Twitter Prabowo. Yakni dengan jumlah mention hanya 16.305 tweets. "Kubu Prabowo-Sandi lebih agresif untuk tarung di media sosial. Sementara relawan Jokowi cenderung lebih mencari aman," kata Peneliti Drone Emprit, Hari Ambari kepada merdeka.com pekan lalu.
Hari melanjutkan, top isu Jokowi-Ma'ruf lebih sedikit di kubu Prabowo. Hal ini tidak hanya memperlihatkan sikap agresif kubu penantang. Melainkan soliditas kubu Prabowo-Sandiaga. Mereka kompak perang di sosial media. Melakukan serangan secara masif dan bersama-sama.
Sementara di kubu petahana cenderung mencari aman. Memilih tidak melawan balik. Bahkan, dilihat dari jaringan Twitter, mereka cenderung membangun diskusi dengan banyak topik sehingga terlihat bias dan terpecah-pecah. Soliditas dibangun pun tak sekuat kubu penantang.
Dilihat dari demografi sumber cuitan, ada lima provinsi sebagai wilayah terbesar. DKI Jakarta jadi provinsi nomor satu terbanyak menyebut dua kandidat capres 2019 di Twitter. Ada 404.853 mention untuk Prabowo dari Jakarta. Jumlah ini jauh berbeda dengan mention untuk Jokowi yang hanya 80.438 mention dari.
Hal serupa juga terjadi di Jawa Barat. Mention untuk Prabowo lebih banyak ketimbang Jokowi. Ada 166.551 mention untuk Prabowo. Sementara hanya ada 39.952 mention dari Jawa Barat untuk Jokowi.
Tiga provinsi lain dengan jumlah mention Prabowo terbanyak adalah Jatim sebanyak 94.579 mention. Disusul DIY dengan 42.286 mention dan Jateng sebanyak 40.876 mention. Sementara itu, tiga provinsi terbanyak menyebut Jokowi adalah Jateng dengan jumlah 13.096 mention, DIY 11.858 mention dan Sulawesi Selatan 7.907 mention.
Misalnya popularitas berita online kandidat Pilpres 2019. Untuk Jokowi sekitar 255 ribu mention. Sementara Ma'ruf Amin tertinggal jauh di 7 ribuan mention. Berbeda dengan pasangan Prabowo dengan jumlah mention 149 ribu. Angkanya tak jauh beda dengan pemberitaan Sandiaga yakni 102 ribu mention.
Popularitas Jokowi di Facebook jadi tertinggi. Jumlahnya mencapai 153 ribu. Sementara Prabowo hanya 86 ribu. Ketimpangan popularitas antar cawapres juga terjadi. Sandi unggul dengan jumlah 23 ribu dan Maruf hanya 4 ribuan.
Begitu juga dengan popularitas di Twitter. Jokowi unggul dengan jumlah 4,2 juta. Disusul Prabowo dengan jumlah 3,6 juta dan Sandiaga 1,5 juta. Sementara lagi-lagi Maruf Amin tertinggal jauh di 230 ribu saja.
Riuhnya perbincangan Pilpres 2019 di media sosial selama tiga bulan ini, harus diakui Hari belum sampai subtansi pemilu. Semua masih berkutat pada persona kandidat. Bicara soal profil, capaian hingga kontroversi. Akibatnya, tak sedikit warganet saling nyinyir. Dia menilai lantaran panjangnya masa kampanye. Sehingga tiga bulan pertama dimanfaatkan masing-masing kubu untuk pemanasan. Pendalaman visi misi dan program kerja belum dimaksimalkan.
Kubu petahana pun hanya sibuk membanggakan capaian selama 4 tahun terakhir. Sementara program kerja di periode kedua masih belum disinggung. Apalagi sang penantang. Mereka belum punya karya. Sebab merek belum pernah menjabat. Maka serangan dan kritikan jadi sasaran empuk untuk menyerang sang petahana.
"Kesimpulannya di media sosial sekarang banyak yang nyinyir karena memang belum waktunya. Nanti kita lihat bulan Januari," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, mengatakan jagat dunia maya menyambut meriah pesta demokrasi lima tahunan ini. Di media sosial percakapan tentang Pilpres sangat tinggi. Jumlahnya mencapai 2,9 juta percakapan dan total 4,2 percakapan.
Maka tak heran bila isu di media online pun menyoroti Pilpres dengan jumlah 102 ribu dari jumlah 236 ribu pemberitaan. Data ini merupakan hasil pantauan Komunikasi Indonesia Indicator sejak 1 Oktober-11 Desember 2018.
Jagat dunia maya disesaki generasi milenial. Mereka melek teknologi. Suka eksis dan narsis. Pengguna jejaring Twitter pun didominasi milenial. Meski begitu, sekitar 82 persen pengguna Twitter punya kesadaran untuk melakukan perubahan. Bagi milenial, media sosial adalah sumber informasi. Apalagi di Twitter terdapat sistem trending topik. Biasanya isu paling banyak dibahas.
Jangan Remehkan Medsos
Tiga isu terpopuler versi Komunikasi Indonesia Indicator selama dua bulan terkahir, yakni tentang Papua dengan 334.042 percakapan. Lalu Isu PKI sebanyak 288.095 percakapan dan Polemik DPT sebanyak 269.821 percakapan.
Di era digital hari ini semua orang bisa mengambil peran sebagai citizen journalism. Menyebarkan lewat akun media sosial pribadi. Misalnya Facebook, Twitter, Instagram dan Youtube. Masing-masing memiliki karakteristik berbeda.
Perkembangan isu di Twitter dan Facebook dirasa tak jauh berbeda. Namun, perkembangannya dinamis. Apa saja tengah trending di Twitter bisa jadi tak populer di Facebook. Begitu juga sebaliknya. Bahkan, bisa saja, isu tertentu trending di Twitter dan juga di Facebook dalam waktu bersamaan.
Untuk membuat sesuatu menjadi viral lebih mudah dilakukan di Twitter. Sebab kekuatan trending topik jadi incaran pengguna twitter. "Untuk isu politik-nasional lebih dinamis di twitter, percakapan jadi lebih banyak karena, bisa memberikan ruang bicara tak berbatas," Rustika kepada merdeka.com, pekan lalu.
Sementara, karakteristik Facebook lebih mengandalkan penyebaran dan cenderung bertahan lebih lama halaman depan. Lebih dari itu, Rustika menerangkan, pengguna facebook lebih bisa terkontrol. Sebab, pengguna mereka menggunakan pertimbangan tertentu untuk menyebarkan atau berkomentar. Rata-rata mereka berpikir ulang untuk melakukan itu semua.
Dalam risetnya, hulu persebaran isu lebih efektif dilakukan di Facebook. Sebab lebih mudah menentukan kelompok mana yang ingin dipengaruhi. Sementara Twitter, hanya bisa mendorong dari trending topik. Hal itu tidak akan bergerak masif dalam sebuah perubahan bila tak ada aksi di dunia nyata.
Tak heran tiga isu utama perbincangan Pilpres adalah seputar program kerja sebanyak 2 juta percakapan, Hate speech 1,8 juta percakapan dan Kampanye 1.2 juta percakapan. Maka ada tiga hal digunakan untuk mengukur kekuatan politik di sosial media. Yakni jumlah percakapan, jumlah akun dan kekuatan berjejaring.
Namun hal itu masih sulit diprediksi. Sebab, jumlahnya dinamis. Terus berubah tiap waktu. Semua itu dipengaruhi isu yang berkembang saat itu. Misalnya dari jumlah percakapan. Jokowi bisa saja menang dalam kurun waktu tertentu. Tapi itu masih terlalu bias. Warganet menyebut nama Jokowi bisa merespon positif maupun negatif.
Cara kedua dengan melihat jumlah akun media sosial. Jumlah akun yang merespon Jokowi dan Prabowo terus berubah-ubah. Semua dilihat dari isu yang tengah berkembang.
Bicara soal jejaring, kondisi ini yang menentukan soliditas tiap paslon. Beberapa kali warganet kubu Prabowo-Sandi menang dibandingkan kubu petahana. Misalnya di jejaring twitter pada 29 November-5 Desember 2018. Dari 18.553 akun, 734 tagar dan 904.492 aktivitas, kelompok pro Prabowo-Sandi mendapatkan perolehan 49,78 persen. Sementara kelompok pro Jokowi unggul tipis yakni 50,22 persen.
"Di jejaraing untuk minggu ini posisinya imbang karena disesuaikan dengan isu yang berkembang," kata Rustika.
Dalam pengamatannya, kubu Jokowi-Ma'ruf terpantau lebih memperlihatkan banyak isu positif dan menggaungkan prestasi. Sementara kubu lawan berupaya membuat mimpi-mimpi indah bila berhasil memenangkan pilpres. Kedua hal ini sangat wajar lantaran dua pasang kandidat ini berperan sebagai petahana dan penantang.
Secara individu pun media sosial mencitrakan masing-masing kandidat. Jokowi dicitrakan sebagai sosok presiden yang lebih banyak bekerja. Prabowo dicitrakan tegas.
Para cawapres dicitrakan bertolak belakang. Sandi bercitra muda, milenial, merakyat, disukai kaum ibu. Tampilannya pun dipoles jadi rapi, klimis, santai dan humble. Sementara sosok Ma'ruf Amin dicitrakan tokoh senior yang bijaksana. Memahami masalah yang terjadi di bangsa dan banyak bicara soal ekonomi syariah.
"Namun dalam politik seperti jual beli. Hanya isu seksi yang direspon, padahal isu yang dimainkan bukan program kerja," ungkap Rustika.
Memperbaiki citra di media sosial dianggap dapat memengaruhi pilihan warganet saat memilih. Sehingga tim pemenangan harus perhatikan betul kebijakan dilempar ke media sosial. Apakah pesan yang disampaikan diterima dengan baik oleh publik atau sebaliknya. Sebab, bicara pilpres di media sosial sejatinya perang wacana. Situasi media sosial hari ini luber informasi. Bahkan sulit membedakan informasi benar atau bohong. "Maka tim sukses jangan meremehkan media sosial," kata Rustika mengakhiri.
Baca juga:
PDIP dan Demokrat Panas Lagi
Pedagang: Pasar Bukan Tempat Berpolitik
Pasukan Siber Kubu Petahana
Jawab Djarot, Sekjen Demokrat Beberkan Pembangunan Era SBY di Sumut
Relawan Jokowi Targetkan Kemenangan 70 Persen di Jawa Timur
Markas Perang Tim Digital Prabowo-Sandi
Rupiah Melemah, Sandiaga Minta Warga Tak Rayakan Akhir Tahun ke Luar Negeri