SBY dan Demokrat: tanpa ideologi tanpa visi
Kebijakan ekonomi hanya merespons masalah, kebijakan politik membiarkan masalah.
Ideologi adalah ruh yang mengarahkan partai politik bergerak ke depan. Ideologi adalah pedoman partai politik untuk merespons tuntutan masyarakat. Ideologi adalah posisi, sikap dan tindakan partai politik atas berbagai persoalan.
Jika memang demikian, bagaimana ideologi partai-partai politik kita? Jika ideologi satu partai hampir sama dengan partai yang lain, mengapa mereka tidak berkoalisi? Lalu, bagaimana mengaitkan klaim satu partai atas partai lain bahwa mereka satu ideologi?
Ideologi memang sudah mati. Ini fenomena global menyusul berakhirnya perang dingin. Perbedaan ideologi partai politik di negara-negara Barat pun tidak setajam sebelumnya. Antara Partai Buruh, Partai Konservatif, dan Partai Liberal di Inggris tidak ada pemisah tegas, apalagi antara Partai Republik dengan Partai Demokrat di Amerika Serikat.
Meskipun demikian masyarakat dunia bisa merasakan perbedaan pendekatan antara Partai Konservatif yang dipimpin Margaret Thatcher dengan Partai Buruh yang dipimpin oleh Tony Blair dalam menghadapi isu-isu ekonomi domestik maupun global. Demikian juga dengan apa yang dilakukan Ronald Reagan dari Partai Republik dibandingkan dengan Bill Clinton dari Partai Demokrat.
Adakah kita merasakan perbedaan pendekatan kebijakan ekonomi antara Habibie (Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDIP), dan SBY (Demokrat). Untuk Habibie, Gus Dur, dan Mega, mungkin sulit menilai: pertama, masa berkuasanya sangat pendek; kedua, mereka benar-benar menghadapi situasi sulit untuk menyelamatkan ekonomi nasional sehingga mereka sukar menghindar dari tekanan asing: IMF, Bank Dunia, Uni Eropa, AS, dan perusahaan multinasional.
Tapi, bagaimana dengan SBY dan Demokratnya yang berkuasa hampir satu dasawarsa? Di sinilah masalahnya. Habibie berkuasa hanya 1,5 tahun, tapi para pelaku bisnis menyimpulkan adanya Habibienomic dalam pemerintahannya. Sementara itu, sampai saat ini belum muncul kesimpulan adanya semacam SBY-nomic. Ini pertanda bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan SBY tidak punya karakter.
Tujuan dan target kabur. Kebijakan diambil lebih karena respons atas situasi yang berkembang, sehingga tujuan dan target yang sudah ditetapkan berubah setiap waktu. Makanya, kita bisa memahami mengapa banyak orang yang ingin kembali ke GBHN-nya Orde Baru. Ya, karena dalam sepuluh tahun terakhir laju bangsa ini tidak jelas ke mana.
Ekonomi memang tumbuh, tetapi jumlah orang miskin tidak berkurang. Indeks gini, yang menjadi tolok ukur untuk melihat tingkat pemerataan ekonomi, dalam sepuluh tahun terakhir kian buruk. Bahkan rencana mengalihkan subsidi barang ke subsidi orang miskin saja, tidak pernah terwujud.
Masalahnya menjadi rumit jika dilihat dari aspek politik. Sepuluh tahun berkuasa, persoalan Papua tidak ada kemajuan. Konflik Aceh memang selesai, tapi orang percaya itu buah kelihaian dan kesungguhan Jusuf Kalla. Malah, SBY mengutak-atik keistimewaan Yogyakarta, yang membuat energi bangsa terbuang sia-sia.
Ketidakjelasan visi politik SBY juga tercermin dalam RUU Partai Politik, RUU Pemilu, RUU Legislatif, dan RUU Pilkada yang diajukan pemerintah ke DPR. RUU Politik diajukan tanpa desain politik jelas, sehingga pemerintah terombang-ambing oleh perdebatan politik yang tidak jelas ujung pangkalnya. SBY membiarkan partai untuk terus mengembangkan politik buruk.
Sebagai petinggi Partai Demokrat, SBY selalu berkampanye soal tata krama politik dan budaya politik santun. Jelas, ini hanya soal penampilan. Sedang substansi politik koruptif dibiarkannya. Makanya, tidak heran jika Anas Urbaningrum yang tutur katanya halus terukur, juga Andi Mallarangeng yang pernyataannya selalu merendah, kelakuannya tidak beda dengan politisi lainnya.
Di sini kita juga melihat kontradiksi-kontradiksi di antara anak buah SBY lainnya. Di satu pihak, Marzuki Alie mengeluhkan Partai Demokrat menjadi korban politik santunnya; di lain pihak Ruhut Sitompul dan Ramadhan Pohan kerap berujar kurang ajar pada pesaing-pesaingnya.