Setjen DPR, aparatur DPR atau toilet pemerintah
Gaib benar hubungan pimpinan dengan Sekjen DPR. Dalam satu lembaga ada dua kepala.
Kalau diterawang turunnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, yaitu 2/03/2005, maka Setjen DPR adalah Ayam Pisces yang daya khayalnya tidak seimbang dengan keadaannya. Barangkali gara-gara itulah rencana merenovasi seluruh toilet di dalam gedung DPR, beranggaran mencapai Rp 1,4 miliar, berwujud jadi gegeran ggrrr… gggrrrran.
Ada kemungkinan, ngalab wangsit renovasi toilet juga di kabin toilet. Tapi, soal toilet itu membongkar kerikil dalam sepatunya DPR.
Harapan, DPR berkepala satu: Somasi yang dilayangkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Nining Indra Saleh kepada Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Mei 2011 seharusnya tidak dilakukan. Menurut salah seorang kuasa hukum Seknas Fitra, David Sitorus, hal semacam ini seharusnya disampaikan oleh pimpinan DPR.
Realitas, DPR berkepala dua: Sekjen DPR Nining Indra Saleh, demikian Marzuki Alie November 2012, sudilah mendengarkan publik dan penolakan publik terhadap sejumlah proyek renovasi dan pengadaan barang yang akan dilakukan lembaga tersebut pada akhir tahun 2012, seperti renovasi toilet dan gedung dan terakhir rencana pengadaan puluhan mesin fotokopi yang dilaporkan Fitra senilai Rp 3,6 miliar. Tutur Marzuki, kewenangan pengadaan hingga eksekusi berada di tangan Setjen, sementara dengan DPR hanya konsultasi atau sebatas komunikasi.
Gaib benar hubungan pimpinan dengan Sekjen DPR. Dalam satu lembaga ada dua kepala, dan bahkan bisa berkepala empat jika masing-masing berkepala dua. Agaknya, DPR itu terbagi ke dalam sekongkolan legislator dan kubu birokrat. Setjen DPR bisa plesiran semau gue tanpa lampu hijau pimpinan DPR.
Sesuai santetan pasal 1 Perpres No 23/2005 tentang Setjen DPR, Setjen DPR adalah aparatur pemerintah. Marzuki mbocorin, bahwa Sekjen DPR itu wakil pemerintah yang berada di lembaga politik. Sebelum mengajukan usul nama calon sekretaris jenderal pimpinan DPR harus berkonsultasi dengan Pemerintah, teluh pasal 393 ayat 3 UU No 27/2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Nglengserin gak berhak, topnya memperingati.
Adapun rincian tugas, fungsi, susunan, dan tata kerja satuan organisasi di lingkungan Setjen DPR harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, teluh pasal 28 Perpres tersebut.
Nasib serupa juga menimpa setjen lembaga legislatif lainnya.
Mustajab betul santetan eksekutif itu, sehingga eksekutif bebas grayangin legislatif. Bahkan sampai urusan toilet. Maka, sebut saja anggaran DPR pada akhir tahun gak ludes. Tanpa persetujuan ketua DPR, dengan angpau koretan, Sekjen dapat menoileti kocek para legislator.
Kedudukan Setjen DPR ini berbeda misalnya dengan Bundestag (DPR Jerman). Setjen Bundestag bukan aparatur pemerintah. Sekjennya bukan wakil Regierung. Sekjen beserta Beamte (Pegawai Negeri) Bundestag, diangkat dan dicopot oleh Marzuki Alienya Jerman, tanpa konsultasi dengan gaperman. Rincian tugas, fungsi, susunan dan tata kerja satuan organisasi di lingkungan Setjen itu urusan internal Bundestag.
Naga-naganya, nasib DPR itu akibat hari maujudnya. Sesuai hattanya, tanggal 29/08/1945, Rebo Pon, hari jeblok, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lalu diresmikan sebagai hari jadi DPR. Maka, DPR berwuku Bala, dinaungi Bethari Durga, banyak bicara dan gak bisa memperbaiki apapun juga, termasuk toilet. Mungkin itulah pasalnya, eksekutif lalu menyantet dan meracuni DPR, sebab aralnya waku Bala itu santet dan racun. Naga-naganya, sejak maujud tanggal 29/08/1945, DPR lupa bersesajen karena kebanyakan njeplak, terutama pada pasca Orde Barusan.
Supaya terbebas dari laknat, agar DPR berkepala satu, segeralah melunasi utang slametan. Bersesajen nasi dang-dangan beras sepitrah, lauknya ayam hitam mulus dipanggang, sayuran 7 macam, sehingga lewat khayalan renovasi toilet mungkin dapat memaujudkan Setjen DPR jadi aparatur DPR, bukan toiletnya pemerintah.