Soedomo kecewa putusan PN Surabaya abaikan bukti
"Saya berharap Mahkamah Agung memutus dengan benar dan seadilnya."
Soedomo Margonoto, Bos PT Santos Jaya Abadi, produsen Kopi Bubuk Kapal Api menilai Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya terkait gugatan warisan yang dilayangkan dua adiknya: Wiwik Sundari dan Lenny Setyawati, tidak sesuai dengan bukti-bukti di persidangan.
Kasus ini berawal pada 2013 lalu, Leny dan Wiwik mengajukan gugatan pembatalan wasiat yang dibuat oleh Po Guan Cuan, ibu kandung mereka dengan Nomor Perkara: 245/2013. Keduanya meminta pembagian warisan saham dengan porsi sama. Sebelumnya, dalam wasiat dijelaskan, pembagian saham tidak merata. Yakni, Soedomo Margonoto, Indra Boedijono dan Singgih Gunawan, masing-masing 30 persen. Sedangkan penggugat, yakni Wiwik dan Lenny masing-masing lima persen.
Gugatan perdata kasus ini diputus pada 12 September 2013. Hakim memerintahkan Santos Jaya Abadi memberi saham perusahaan masing-masing 20 persen kepada Lenny dan Wiwik. Menurut Soedomo, saham Santos Jaya Abadi bukan merupakan harta waris Almarhum Goe Soe Loet. Namun kemudian dengan mudahnya dibagi-bagikan kepada pihak yang tidak berhak, berdasarkan pertimbangan putusan pengadilan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Karena hakim dalam pertimbangan putusannnya ternyata hanya berdasarkan bukti dan keterangan tidak benar. Termasuk bagaimana bisa kemudian Direksi PT Santos Jaya Abadi yang tidak menjadi pihak kemudian diperintahkan hakim membagi saham itu.
Putusan PN Surabaya itu juga kontradiktif. Di satu sisi wasiat tersebut dibatalkan namun di sisi lain hakim membagikan saham-saham Santos Jaya Abadi kepada 5 (lima) orang anak Go Soe Loet dan Po Guan Cuan. Fakta yang terungkap di persidangan PT Santos Jaya Abadi didirikan dengan Akte Notaris Nomor 23 tanggal 18 Mei 1979 di hadapan Eugenie Gandaredja Notaris di Surabaya. Pendirinya H Ahmad Rivai (bukan anak Go Soe Loet), Sudomo Mergonoto, Indra Boedijono dan Julia Poernomo.
Selanjutnya Ahmad Rivai menjual dan mengalihkan seluruh sahamnya kepada Indra dan Soedomo. Artinya, PT Santos Jaya Abadi yang memproduksi Kopi Kapal Api bukanlah Perusahaan warisan orang tua (Wu Yue E, Soetikno, Indra, Soedomo, Singgih, Lenny dan Wiwik).
Para Penggugat LENNY dan WIWIK mendasarkan gugatannya pada Akta Notaris Nomor 1 berupa Surat Pernyataan dan Akta Nomor 2 berupa Surat Wasiat masing-masing tertanggal 10 Oktober 1994 yang dibuat oleh Po Guan Cuan (Ibu Para Penggugat dan Para Tergugat). Isinya, Go Soe Loet (suami Po Guan Cuan) adalah pendiri dari PT. Santos Jaya Abadi (Akta No 1) dan Saham Santos Jaya Abadi supaya dibagi masing-masing 30 persen untuk, Indra, Soedomo dan Singgih, sedangkan sisanya masing-masing 5 persen untuk Lenny dan Wiwik (karena sudah menikah).
Dengan mendasarkan Akta Nomor 1 dan Nomor 2 yang merupakan pernyataan sepihak, Majelis Hakim membenarkan dan mengabulkan serta menetapkan saham Santos Jaya Abadi, dibagi masing-masing 20 persen untuk para penggugat dan tergugat. Padahal sejatinya Go Soe Loet bukan pendiri Santos Jaya, bukan pemegang saham, tidak pernah beli saham, ataupun menyetor modal.
Bahwa sejak pertama Santos Jaya Abadi didirikan tanggal 18 Mei 1979 dengan Akta Nomor 23 berikut perubahan-perubahannya sampai terakhir dengan Akta Nomor 43 tanggal 4 Juli 2012, tidak pernah tercantum nama pemegang saham atas nama Go Soe Loet maupun istrinya Po Guan Cuan.
Majelis Hakim mendasarkan keterangan dari saksi-saksi Video Conference, foto orang tua dan Profile Company dengan mengesampingkan bukti notarial akta pendirian PT berikut perubahan-perubahannya.
Putusan Majelis Hakim yang dengan keberaniannya telah menampar keras adanya kepastian hukum tentang pendirian suatu PT yang telah ditentukan secara notarial dalam Pasal 38 Undang-Undang Hukum Dagang maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 sehingga merusak dan menjungkir balikan tatanan hukum tentang pendirian suatu PT yang selama ini telah berjalan dengan baik dan tertib.
Apabila Putusan Majelis Hakim yang penuh dengan rekayasa tersebut tidak diperbaiki, maka dikhawatirkan para investor baik dalam negeri maupun luar negeri akan ketakutan mendirikan suatu Badan Hukum (Perseroan Terbatas) yang tidak ada kepastiannya karena setiap pendirian suatu Badan Hukum/ PT yang ada di Indonesia ini akan terancam eksistensinya, karena dapat dilumpuhkan dengan Akta Pernyataan dan atau Akta Wasiat yang dibuat oleh Pemberi Wasiat.
Soedomo dan Indra langsung mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan perkara Nomor 565 Tahun 2014. Namun Pengadilan Tinggi Jawa Timur menolak banding para tergugat.
Soedomo mengatakan, secara aturan pembagian saham dilakukan melalui rapat umum pemegang saham. Mereka yang berhak mendapatkan adalah pendiri dan penanam modal. Di luar itu, jelas tidak bisa mendapatkan hak. Putusan pengadilan sangat bertentangan dengan putusan tersebut. Dia kembali menegaskan, PT Santos Jaya Abadi bukan warisan. Semua berdiri di depan notaris dan berbadan hukum. Pembagian saham juga tidak bisa dilakukan begitu saja. Apalagi, jika nama-nama tersebut tidak tercantum di akta tersebut.
Namun, dalam pertimbangannya, majelis hakim baik di PN maupun di Pengadilan Tinggi Jawa Timur menyatakan bahwa PT SJA didirikan tahun 1975. "Apa bukti pendiriannya? Ternyata tidak ada bukti pendirian PT SJA pada 1975. Juga tidak ada bukti kepemilikan saham Go Soe Loet dalam perusahaan multi-nasional itu," terang Soedomo.
Tidak terima putusan tersebut, Soedomo dan Indra juga Notaris Rika yang membuat Akta Wasiat Po Guan Cuan Nomor 2 Tahun 1994 mengajukan Kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sampai sekarang ini Perkara tersebut belum diputus oleh MA. Soedomo dan Indra berkeyakinan Mahkamah Agung akan memutus perkara tersebut dengan benar. "Saya berharap Mahkamah Agung memutus dengan benar dan seadilnya."