Tak Banyak yang Tahu, Sederet Tim Khusus Penulis Bayangan Soekarno
Soekarno tak pernah main-main dalam menyusun teks pidatonya.
Kondisi kesehatan yang menurun membuat Soekarno membutuhkan bantuan dalam menjalankan tugas kenegaraannya. Salah satu tim yang dibentuk untuk membantu Soekarno adalah tim khusus penulis, di mana tim ini bekerja untuk mempersiapkan pidato yang akan dibacakan oleh Soekarno di depan khalayak.
Soekarno terkenal sebagai tokoh yang pandai dalam berpidato. Melalui pidato, kata-katanya mampu membangkitkan semangat dalam diri masyarakat.
Soekarno tak pernah main-main dalam menyusun teks pidatonya, hal ini diungkapkan oleh putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra.
“Kalau saat penulisan dimulai maka tidak seorang pun boleh mengganggu Bapak mulai dari pagi sampai pagi lagi,” ungkap Guntur dalam Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku.
Guntur juga menyebutkan, sebelum menulis pidatonya, Soekarno selalu berdiskusi terlebih dahulu dengan tokoh-tokoh penting, seperti para menteri dan tokoh-tokoh masyarakat.
Setelah itu, Bung Karno akan segera menyusun pidatonya dengan mengumpulkan referensi dari berbagai sumber, seperti literatur, surat kabar, majalah, serta berita dan laporan dari luar negeri.
Sayangnya, memasuki tahun 1960-an, kesehatan Presiden Sukarno mulai mengalami penurunan.
Kondisi ini tentu berdampak pada kemampuannya menjalani aktivitas sehari-hari, termasuk ketidakmampuannya lagi untuk menulis sendiri konsep pemikiran yang akan disampaikan dalam pidato di hadapan masyarakat.
Akhirnya, diputuskan bahwa setiap pidato Bung Karno akan disusun dengan bantuan tim khusus.Dalam G30S, Fakta atau Rekayasa, Julius Pour mengungkapkan bahwa ada dua tim penulis bayangan Presiden Soekarno.
Tim pertama dipimpin oleh Soebandrio, Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Dan tim kedua dipimpin oleh Njoto, Menteri Negara dan Wakil Ketua II Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI).
Asisten Perempuan Asing
Menariknya, Soebandrio dan Njoto sama-sama memiliki asisten perempuan asing. Soebandrio bekerjasama dengan Molly Warner dari Australia, sementara Njoto bekerjasama dengan Carmel Brickman dari Inggris.
Kedua perempuan bule ini tidak hanya berperan sebagai penerjemah, lebih dari itu mereka sebenarnya memegang peran strategis dalam menyusun konsep-konsep penting terkait kebijakan politik luar negeri Bung Karno.
Molly Warner adalah istri dari Muhammad Bondan yang saat itu sedang bekerja di RRI Pemancar Yogyakarta sebagai penyiar asing yang mengenalkan perjuangan Indonesia kepada dunia internasional.
Melihat bakatnya yang luar biasa, Sukarno kemudian menugaskan Molly ke Kementerian Luar Negeri, di mana dia ditugaskan mengajar bahasa Inggris kepada para diplomat Indonesia.
Pada awal 1960-an, Sukarno menunjuk Molly untuk mendampingi Soebandrio dalam menyusun naskah pidato yang ditujukan untuk kepentingan internasional.
Sedangkan Carmel Brickman adalah istri Soewondo Budiardjo, anggota aktif Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), sebuah organisasi yang erat hubungannya dengan PKI. Melalui jaringan PKI inilah Carmel akhirnya terhubung dengan Njoto.
Menyadari kemampuan analisis politik dan pemikiran Carmel yang luar biasa, Njoto menunjuk Carmel sebagai partnernya dalam penulisan pidato-pidato untuk Bung Karno.
Diketahui bahwa kedua tim penulis bayangan Bung Karno sering kali bersaing untuk menyusun pidato yang akan dipilih dan dibacakan oleh Soekarno.
Soekarno Ingin Pidato Bukan Ceramah
Salah satu contohnya terjadi saat peringatan Konferensi Asia Afrika ke-10 pada 18 April 1965.Pada tanggal 9 April 1965, Ganis Harsono, Juru Bicara Departemen Luar Negeri, bertemu dengan Bung Karno untuk membahas isi pidato memperingati satu dasawarsa Konferensi Asia Afrika.
Ketika hendak memasuki ruang kerja Bung Karno, Ganis berpapasan dengan Njoto yang baru keluar dari ruangan Bung Karno.
Saat itu, Bung Karno mengatakan pada Ganis, “Ganis! Saya sudah bosan dengan gaya pidato tulisan Soebandrio. Saya ingin sebuah pernyataan politik! Pidato, bukan ceramah!” ujar Soekarno, seperti yang diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era.
Mendengar itu, Ganis mengiyakan keinginan Bung Karno. Seminggu kemudian, ia berdiskusi dengan Soebandrio dan Molly untuk merevisi isi pidato tersebut. Setelah perbaikan dilakukan, pada 17 April 1965, seorang anggota Resimen Tjakrabirawa datang untuk mengambil naskah pidato hasil revisi itu.
Ganis juga langsung memperbanyak dan menyebarkannya ke para wartawan.Namun, para wartawan terkejut ketika mendapati bahwa pidato yang disampaikan oleh Soekarno tidak sesuai dengan naskah yang telah mereka terima.
Ganis pun sama terkejutnya, tidak menyangka bahwa pidato yang telah direvisi oleh Soebandrio dan Molly masih dianggap kurang oleh Soekarno. Ternyata, Soekarno lebih memilih naskah pidato yang ditulis oleh Njoto dan Carmel.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti