Susah, mengatur kampanye orang tak mau diatur
Baliho dan spanduk partai dan caleg merusak ketertiban dan pemandangan. Tapi para calon legislator itu tidak peduli.
Jika Anda melewati jalur pantura, sejak Cikampek hingga Surabaya, maka sepanjang jalan Anda akan menyaksikan warna-warni baliho dan spanduk calon anggota legislatif, dengan beragam ukuran dan beragam posisi. Tentu saja ajang promosi diri menjelang Pemilu 2014 itu merusak pemandangan dan mengganggu perjalanan.
Tetapi siapa mau menertibkan? Jangan harap pada petugas pemda. Selain kurang tenaga, pemda justru diuntungkan oleh maraknya baliho: pendapatan reklame naik. Belum lagi, penguasa pemda adalah orang-orang politik, yang tentu saja tidak mau mencari masalah dengan koleganya yang memasang baliho dan spanduk sembarangan.
Mengapa tidak memberdayakan pengawas pemilu yang memang tidak banyak kerjaan? Pada pemilu sebelumnya, pengawas pemilu di kecamatan yang berjumlah tiga orang dan seorang pengawas lapangan di desa/kelurahan, memang aktif melakukan pembersihan terhadap alat-alat peraga kampanye yang dipasangan sembarangan.
Namun kini, mereka merasa itu bukan tugasnya. Mereka menunjuk pegawai pemda sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. "Tugas kami hanya mengawasi dan menunjukkan adanya pelanggaran pemasangan," begitu kira-kira dalih mereka. Padahal kalau mereka mau memanfaatkan waktu luangya, bisa mendapat "pahala".
Oleh karena itu, hadirnya PKPU No 15/2013 diragukan dapat mengatasi kesemrawutan pemasangan alat peraga kampanye, khususnya baliho dan spanduk. Alih-alih bisa menggerakkan petugas pemda dan pengawas pemilu untuk melakukan penertiban dan pembersihan, lahirnya peraturan tersebut sudah dipersoalkan.
Partai politik dan calon anggota legislatif merasa dirugikan, karena peraturan itu membatasi ruang gerak mereka dalam berkampanye. Padahal baliho dan spanduk efektif untuk memperkenalkan diri ke pemilih. Bagaimana bisa meyakinkan pemilih jika mereka tidak tahu siapa calon yang akan mereka pilih? Begitu dalihnya.
Peraturan ini memang memperketat pemasangan alat peraga kampanye, seperti baliho dan spanduk. Partai politik hanya boleh memasang satu baliho di setiap desa/kelurahan. Baliho pun hanya berisi gambar dan nomor, visi misi dan program. Gambar caleg tidak boleh nongol. Sedang caleg hanya boleh memajang gambar dan pesannya berdasar zona. Misalnya, zona caleg DPR ditentukan berdasar kabupaten/kota, zona caleg DPRD provinsi berdasar kecamatan, dan zona caleg DPRD berdasar desa/kelurahan.
Jika hal itu benar-benar bisa diterapkan, maka baliho dan spanduk yang mengganggu pemandangan, akan hilang atau setidaknya berkurang dari ruang publik. Masalahnya, ya itu tadi, efektivitas penerapan peraturan ini di lapangan, diragukan.
Pertama, sanksi terhadap partai dan caleg yang melanggar hanya berupa teguran lisan dan tertulis, sehingga mereka tidak akan kapok. Apalagi kebanyakan caleg percaya pemasangan baliho dan spanduk efektif mempengaruhi pemilih. Setidaknya inilah jalan pintas untuk menemui pemilih, jika badan dan jiwa masih banyak urusan di tempat lain.
Kedua, jika tetap melanggar siapa yang harus membersihkan dan menertibkan baliho dan spanduk yang dipasang sembarangan tadi, karena pengawas pemilu merasa bukan urusannya, sementara petugas pemda merasa ada banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Jadi, masyarakat harus sabar melihat dan berada dalam ruang publik yang semrawut oleh alat peraga kampanye. Tunggu sampai pemilu selesai.
Tidak mudah memang mengurus partai politik dan caleg yang orang-orangnya cenderung mau enaknya sendiri. Mereka maunya mengatur orang lain, sedang dirinya sendiri tidak mau diatur. Barangkali seperti itu mereka memaknai pengertian legislator.