Tiktak politik revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Pajak
Perpolitikan semakin rendah levelnya, sekadar berebut fasilitas dan kenyamanan.
Setelah pemerintah dan pimpinan DPR menunda rencana revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), bagaimana nasib Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak (RUU PP)? Ini pertanyaan besar di jagat politik nasional, karena kedua RUU tersebut merupakan hasil trade off alias dagang sapi.
Kisahnya, pertengahan tahun lalu, semua fraksi di DPR sepakat merevisi UU KPK. Macam-macam alasan disampaikan, mulai dari yang bisa dipahami sampai yang tidak bisa dicerna akal sehat. Di sisi lain, pemerintah mulai melontarkan gagasan RUU PP, dengan dalih daripada uang lari ke mana-mana lebih baik masuk kas negara yang lagi defesit.
Rencana DPR tersebut ditentang oleh masyarakat. Tidak hanya disuarakan secara keras oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil, tetapi juga kalangan akademisi dan tokoh-tokoh senior. Tetapi DPR tak peduli. Menggerogoti atau melemahkan KPK dalam memberantas korupsi memang sudah menjadi misi politisi DPR dari waktu ke waktu.
Bagi pemerintah, lebih baik mengampuni mereka yang tidak taat pajak dengan sejumlah kompensasi, daripada mengejar mereka saat mana hukum dan petugas terbatas. Namun bagi sebagian kalangan, pengampunan pajak tidak hanya menciptakan ketidakadilan bagi yang taat pajak, tetapi juga belum tentu mendapatkan kompensasi yang diharapkan. Karena itu mereka menentang recana kebijakan jalan pintas ini.
Suara kaum penentang inilah yang dikencangkan oleh politisi Senayan. Dengan berbagai dalih, anggota DPR dari berbagai fraksi menentang keras rencana pemerintah. Namun sesungguhnya DPR tidak benar-benar menyalurkan aspirasi mereka yang menentang rencana kebijakan pengampunan pajak. Isu itu hanya dipakai DPR untuk menggolkan rencana merevisi UU KPK, karena Presiden Jokowi enggan melakukannya.
Maka terjadilah dagang sapi. Pemerintah menyetujui rencana DPR untuk merevisi UU KPK, sementara DPR menyetujui untuk membuat UU PP. Klop. Suara masyarakat yang menentang UU PK dan menentang revisi UU KPK, dianggap angin lalu. “Ini kesepakatan antara DPR dan pemerintah yang harus dihormati,” kata kubu pemerintah maupun kubu DPR membenarkan politik dagang sapi itu, awal tahun ini.
Seiring berjalannya waktu, situasi berubah. Berbeda dengan rencana DPR merevisi UU KPK yang terus mendapat tantangan dari masyarakat luas, rencana pengampunan pajak mulai bisa diterima masyarakat. Setidaknya ini terlihat dari terus melemahnya suara penentangan baik yang tercermin di media konvensional maupun media sosial. Karenanya pemerintah percaya diri mengajukan RUU PP ke DPR.
Nah, kini setelah DPR dan Presiden sepakat untuk menunda revisi UU KPK, bagaimana nasib RUU PP yang sudah diserahkan pemerintah ke DPR?
Bagi Partai Gerindara jawabnya jelas: karena revisi UU KPK dan RUU PP satu paket kesepakatan, maka pembatalan salah satu, juga berarti pembatalan semuanya. Sikap ini boleh dibilang mencerminkan konsistensi Partai Gerindra sebagai partai oposisi, meskipun pada awalnya mereka juga setuju dengan revisi UU KPK.
Sikap Partai Gerindra diikuti Partai Golkar. PKS dan PAN, yang sedang membaik-baiki pemerintah, mengaku sedang menimbang-nimbang. Tapi yang menarik sikap PDIP: minta RUU PP ditunda, sama dengan revisi UU KPK. Jadi, Partai Gerindra dan Partai Golkar yang beroposisi sama sikapnya dengan PDIP yang kadernya jadi presdien.
Sikap PDIP yang menentang pemerintah, sesungguhnya bukan hal baru. Tentu saja ini menyulitkan pemerintah, karena Jokowi-JK tidak tahu apa yang harus dilakukan (karena PDIP sudah memiliki segalanya) kecuali meyakinkan Ketua Umum PDIP.
Ini berbeda dalam menghadapi Partai Golkar, dan partai-partai lainnya. Pemerintah bisa menawarkan “sesuatu” untuk mengubah haluan partai, meskipun hal ini belum manjur buat Partai Gerindra. Namun jika yang menentang hanya satu partai, maka meloloskan RUU PP tidak akan banyak kontroversi.
Nah, jika melihat tiktak politik seperti itu, tampak bagi para politisi, politik hanya permainan: kamu dapat apa, saya dapat apa. Inilah pengertian politik paling rendah. Bagi orang-orang Senayan, politik bukan sebagai arena untuk memperjuangkan kepentingan massa pengikut, apalagi sebagai wahana untuk merumuskan kebijakan negara. Karena itu tidak usah berharap akan datang negarawan dari sana.