Ulah PKS dalam koalisi rapuh
Tingkah PKS bukan sekadar SBY peragu, tetapi lebih karena sistem gagal menjaga stabilitas pemerintahan.
Bagi sebagian orang, sikap PKS yang berkeras menolak kenaikan BBM, sangat menjengkelkan. Ini bukan karena mereka setuju kenaikan BBM, tetapi lebih karena sikap tidak konsisten PKS: anggota koalisi pemerintahan SBY-Boediono kok menentang kebijakan yang akan diambil SBY-Boediono.
Meskipun PKS memasang sepanduk di mana-mana, bahwa dari dulu PKS konsisten menolak kanaikan BBM, namun sebagian orang tetap beranggapan: sikap PKS kali ini tidak lain adalah upaya menaikkan citra diri. Maklum, mantan presiden PKS sedang dilanda kasus korupsi, sementara petinggi partai lainnya dalam bidikan KPK.
Tapi bukan masalah yang membelit PKS yang hendak dibahas di sini, tapi soal kerapuhan koalisi pemerintahan SBY-Kalla. Sebab bukan hanya PKS yang pernah merepotkan SBY, tetapi juga partai lain, seperti Partai Golkar, PAN, PPP, dan PKB. Bahkan anggota DPR dari partai koalisi, kadang juga mengganggu koalisi, karena mereka mbalelo, atau tidak mengikuti garis partai untuk mendukung kebijakan SBY-Boediono.
Mengapa koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono rapuh? Banyak orang menunjuk karakter kepemimpinan SBY-Boediono sebagai penyebab: sering galau, selalu ragu dan tidak tegas. Soal kepemimpinan lembek ini, SBY-Boediono lebih parah jika dibandingkan dengan SBY-Kalla. Sebab, Kalla bisa berperan sebagai "provokator" buat SBY dalam membuat keputusan, sementara Boediono murni berperan sabagai "pendamping".
Meskipun demikian, toh pada pemerintahan SBY-Kalla juga tampak rapuh. Beberapa partai politik anggota koalisi selalu menghalangi rencana kebijakan yang hendak diambil SBY-Kalla. Mereka mencoba negosiasi dengan SBY-Kalla, sehingga kemudian berkembang politik transaksional. Keputusan yang diambil tidak hanya terlambat, tetapi juga sudah terkurangi derajat tujuan dan targetnya, setelah dikikis transaksi.
Jadi koalisi rapuh, sesungguhnya bukan sekadar masalah SBY yang sering galau, selalu ragu, dan tidak tegas. Lebih dari itu juga karena faktor sistem. Dalam sistem pemerintahan presidensial seharusnya presiden kuat memimpin negara dan menjalankan roda pemerintahan. Kenyataannya dia sering disandera DPR, bahkan oleh anggota DPR yang berasal dari partai politik koalisi pendukung pemerintahan SBY.
Mengapa hal itu terjadi? Mengapa koalisi pendukung pemerintahan selalu kesulitan menghadapi DPR yang mayoritas kursinya dikuasai oleh partai-partai politik pendukung pemerintahan? Mengapa koalisi pendukung pemerintahan rapuh?
Pertama, koalisi partai tidak seideologi, bahwa tidak memiliki kesamaan paltform politik. Ideologi memang salah satu pengikat koalisi, namun jika ideologi partai tidak ada atau tidak sama, koalisi bisa diikat oleh platform politik.
Apakah koalisi partai politik pendukung pemerintahan SBY-Kalla maupun SBY-Boediono memiliki kesamaan platform politik? Jawabnya, tidak. Setelah pemilu legislatif, partai-partai politik berkumpul dan bersepakat mengajukan pasangan calon presiden, dan tidak punya waktu membahas platform politik bersama. Visi misi dan program presiden (jika itu disebut platform politik) digarap sepenuhnya oleh tim kampanye presiden.
Kedua, pembangunan koalisi berlangsung bertahap, sehingga mempengaruhi tingkat kerekatan koalisi. Pertama, partai yang bergabung mengajukan pasangan calon menjelang pemilu presiden putaran pertama. Kedua, partai-partai yang bergabung menjelang putaran kedua, karena pasangan calonnya kalah dalam putaran pertama. Ketiga, partai yang bergabung setelah ditarik pasangan calon yang menang untuk memperkuat penguasaan mayoritas parlemen.
Tentu saja, mereka yang bergabung pada tahap pertama, memiliki loyalitas berbeda dengan yang partai yang bergabung para tahap kedua atau ketiga. Sementara partai-partai yang bergabung lebih belakangan cenderung memainkan perannya sebagai partai "yang paling dibutuhkan" untuk menjaga soliditas pemerintahan.
Ketiga, partai presiden sendiri hanya memiliki kursi sedikit di parlemen, sehingga mereka sangat tergantung kepada partai koalisi. Di sinilah berlaku hukum politik, bahwa partai besar adalah partai yang memiliki 40 persen lebih kursi parlemen, sehingga partai itu bisa mendikte kawan atau lawan.
Jika penguasaan kursi parlemen di bawah 40 persen, maka tidak ada partai besar. Tidak ada partai besar, berarti koalisi lemah. Stabilitas dan soliditas pemerintahan semata hanya karena transaksi.