Warga miskin haram huni rumah susun
Banyak pemerintah daerah dinilai mempersulit pembangunan rumah susun bagi warga menengah ke bawah.
Proyek seribu menara diluncurkan Wakil Presiden Jusuf Kalla enam tahun lalu tidak berjalan sesuai rencana. Pembangunan permukiman vertikal itu mengalami banyak kendala di lapangan. Mulai dari pembebasan lahan, izin penggunaan lahan, persyaratan tata bangunan, hingga berubahnya izin fungsi bangunan dari rumah susun hak milik (rusunami), rumah susun sederhana sewa (rusunawa) menjadi apartemen.
Padahal, menurut Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung, pihaknya sudah menerbitkan kemudahan-kemudahan untuk pembangunan rusunami dan rusunawa di berbagai tempat di Indonesia. “Sejak program seribu menara diluncurkan, kita sudah keluarkan aturan untuk permudah semua kebutuhannya. Namun beberapa pemerintah daerah membuat rumit mekanismenya di lapangan,” kata Pangihutan saat ditemui merdeka.com Selasa pekan lalu di kantornya.
Dia mencontohkan masih banyak peraturan daerah tidak sejalan dengan undang-undang rumah susun dan peraturan Kementerian Perumahan Rakyat. Misalnya menarik retribusi untuk pembangunan rusunawa atau rusunami. Meski sebenarnya, proyek itu bebas retribusi Izin Membangun Bangunan (IMB) dan ada potongan Pajak penghasilan (PPh) dari lima persen menjadi sepersen.
Kementerian Perumahan Rakyat sudah memprotes pemerintah daerah soal tumpang tindih aturan ini dan melaporkan ke Kementerian Dalam Negeri untuk dicabut. “(Hanya saja) pembahasan dan pembatalan perda dianggap tidak sesuai undang-undang dan peraturan menteri waktunya lama,” dia mengeluhkan.
Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Kementerian Perumahan Rakyat Agus Sumargianto juga mengiyakan. Akhirnya kementerian tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjalankan proyek seribu menara itu. Agus menjelaskan buat mewujudkan program ini harus ada komitmen dari pemerintah daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Bila salah satu dari bagian itu tidak sinkron, sulit untuk mewujudkan,” ujarnya.
Tidak padunya pemegang kebijakan itu bisa berakibat fatal pada penggarapan rusunami atau rusunawa, bahkan bisa terjadi alih fungsi perizinan. Pangihutan mencontohkan perubahan izin rusunami Kalibata, Jakarta Selatan, menjadi apartemen Kalibata City. Dia menambahkan hal itu berlaku lantaran izin bangunan mengharuskan menggunakan Koefisien Luas Bangunan (KLB) 3,5 dengan tinggi maksimal lima lantai.
Pangihutan mengaku heran selalu ada kendala dalam membangun rumah susun bagi warga kelas menengah ke bawah. “Seolah pemerintah daerah tidak pernah percaya masyarakat bawah tak bisa mengatur diri mereka sendiri,” tuturnya.
Beberapa pemerintah daerah menerapkan aturan berbeda untuk membangun rumah susun ketimbang apartemen. Pangihutan mencontohkan rusunami diminta setengah dari luas bangunan bawah harus kosong, belum lagi aturan lainnya, sedangkan untuk pembangunan apartemen tidak. “Pertanyaan itu harusnya dijawab oleh pemerintah daerah, kenapa diberlakukan berbeda dan terkesan dipersulit."
Dia berharap pertemuan antara Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz dan gubernur se-Jawa pertengahan bulan lalu bisa menyelesaikan masalah-masalah itu. Bahkan dia memuji Gubernur Jakarta Jokowi langsung bertindak untuk peraturan daerah sebelumnya mempersulit dan minta disesuaikan dengan undang-undang dan peraturan menteri.