Warisan Sang Jagal
Tampaknya Ariel Sharon memang dilahirkan sebagai sosok "dasamuka".
Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel 7 Maret 2001 sampai 14 April 2006 akhirnya mati pada Sabtu lalu (11/1) setelah koma selama 8 tahun. Kecondongan pada kekerasan dan perang yang mengalir dalam dalam darahnya selama hidupnya menjadikan ia sosok yang sangat dibenci rakyat Palestina sekaligus tokoh kontroversial bagi bangsanya sendiri.
Tampaknya ia dilahirkan memang sebagai sosok "dasamuka". Kalangan sayap kanan Israel mensyukuri kabar jatuh koma dan meninggalnya Sharon. Mereka menganggap Sharon pantas menerima hukuman Tuhan atas apa yang telah ia lakukan pada kaumnya sendiri setelah Sharon secara sepihak mengeluarkan pemukim Yahudi dari Jalur Gaza di tahun 2005. Bagi mereka Sharon adalah pengkhianat.
Bagi bangsa Palestina dan Arab lainnya "Sharon" identik dengan kata "pembantaian". Ariel Sharon mereka catat bertanggung jawab atas tragedi pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953. Saat itu 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101, yang dipimpinnya dan utamanya, peristiwa pembantaian Sabra dan Shatila tahun 1982 di mana antara 3.000 dan 3.500 orang terbunuh dalam peristiwa itu, sehingga ia dijuluki sebagai "Jagal dari Beirut".
Sharon juga dikenal sebagai provokator gerakan Intifada kedua tahun 2000. Saat itu dengan pengawalan ketat polisi ia memasuki kawasan Masjidil Aqsa. Di situ Sharon berkoar bahwa tempat suci itu merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah Israel.
Lepas dari kontroversi itu mari kita lihat kembali warisan sang Jagal dalam isu Palestina-Israel yang juga penuh kontroversi. Pertama, Sharon termasuk Perdana Menteri yang pada 2001 setuju dengan solusi dua-negara bagi Palestina dan Israel dan mendukung peta jalan (road map) bagi perdamaian di tahun 2003 yang disusun oleh masyarakat internasional.
Tapi ada yang aneh dengan warisan keduanya. Ia adalah pemimpin Israel yang memercayai bahwa hanya politik "pemisahan" dari Palestina yang bisa menjamin keamanan Israel.
Pemisahan itu terdiri dari dua tahap yaitu tahap "separation" dengan membangun tembok dan pagar tinggi apartheid pada tahun 2003 dengan alasan mengurangi serangan teror. Selanjutnya dengan tahap "disengagement" di tahun 2004 yaitu dengan penarikan pasukan dan warga Yahudi dari tengah-tengah penduduk Palestina di jalur Gaza dan Tepi Barat. Namun di tahun 2005, Sharon memutuskan untuk mencaplok sepertiga wilayah Tepi Barat.
Secara garis besar, kita bisa menilai bahwa Sharon memperjuangkan pembagian wilayah yang tak adil antara Palestina dan Israel di mana Israel akan mencaplok tanpa kompensasi lebih dari 70 persen dari seluruh wilayah historis Palestina (wilayah yang dikuasai oleh Inggris sebelum 1948) termasuk wilayah-wilayah yang mengandung sumber mata air.
Ketiga, tanpa sempat diadilinya Sharon atas kejahatan yang dilakukannya, kematian Sharon telah memperdalam derita para korbannya. Human Rights Watch (HRW) dalam siaran persnya 11 Januari 2014 telah menyatakan bahwa pembantaian di Sabra dan Shatila merupakan kejahatan perang dan kejahatan pada kemanusiaan.
HRW secara keras menyatakan bahwa kematian Sharon merupakan pengingat bahwa impunitas atas pelanggaran HAM telah terbukti tak memberi manfaat apapun pada terwujudnya perdamaian Palestina-Israel.
Pascakematian Sharon, sang penjagal dan garis keras itu, bisakah kita bisa berharap pada segera terwujudnya solusi dua-negara dan perdamaian Palestina-Israel? Tampaknya kita tidak bisa terlalu optimis.
Seperti refleksi saya pada kolom terdahulu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu pun menunjukkan garis politik yang tak jauh beda dengan Sharon. Ia pun menerima dengan baik warisan kebijakan Sharon.
Selain itu rencana Israel untuk terus membangun pemukiman Yahudi akan membuat upaya perdamaian berhenti hanya sebagai upaya. Dan masyarakat internasional menikmati tontonan ini dalam kenyamanan menonton televisi di ruang keluarganya masing-masing.