14 Tahun berlalu, Erniati tetap tak bisa melupakan tragedi bom bali
14 Tahun berlalu, Erniati tetap tak bisa melupakan tragedi bom bali. Akibat peristiwa terkutuk tersebut, Erniati kini harus banting tulang sendiri untuk menghidupi anaknya.
Peristiwa 14 tahun lalumembuat Ni Luh Erniati menjadi janda. Selama ini dia menjadi ibu sekaligus ayah dari kedua anaknya yang masih kecil.
Suaminya yang bernama I Gede Badrawan hilang dalam peristiwa Sabtu malam, 12 Oktober 2002 silam. Kala itu, bom yang dirancang oleh Imam Samudera cs menggelegar dahsyat di Legian, Kuta.
I Gede Badrawan yang bekerja sebagai head waiter di Sari Club menjadi korban ledakan di malam nahas yang dikenal dengan peristiwa bom Bali I itu. Ironisnya, jasadnya tidak dikenali akibat ledakan itu.
Ni Luh Erniati menuturkan, malam itu dia sedang menjaga buah hatinya yang masih berusia 9 dan 1,5 tahun. "Saat kejadian, saya sedang di kamar kos saya. Saya dengar suara ledakan keras," kata Erniati.
Dia lantas mencari arah sumber suara, yang menurutnya tak jauh dari lokasi suaminya bekerja. Sesampainya di lokasi, Erniati mengaku telah melihat banyak sukarelawan mengevakuasi korban.
Dalam hati perempuan kelahiran 19 Februari 1971 itu, sang suami masih dalam keadaan hidup. Namun melihat banyak korban berjatuhan, sempat terbersit harapan hidup suaminya kecil.
Kendati begitu, Erniati tetap membesarkan hatinya. Dia masih percaya sang suami masih hidup. Dia lantas mencari keberadaan Badrawan ke setiap rumah sakit yang diketahuinya.
"Saya masih berharap dia (Badrawan) datang kepada saya," ucap Erniati lirih.
Tiga bulan lamanya dia menunggu kehadiran sang suami. Penantian itu sirna manakala tim Forensik RSUP Sanglah Denpasar memberitahunya jika salah satu jasad teridentifikasi sebagai I Gede Badrawan.
Dari sana, dia menetapkan hati untuk memulai hidup baru tanpa kehadiran Badrawan di sisinya. "Banyak orang bilang waktu itu saya masih terlalu muda untuk menyandang status janda. Mohon maaf saya menangis, bulan ini (Oktober) biasanya perasaan saya sensitif," katanya.
Dia lantas berfikir keras untuk menghidupi kedua anak lelakinya. Dia berupaya keras mendapatkan pekerjaan. "Dengan skill yang tidak memadai, saya berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi anak saya, untuk memberi pendidikan kepada mereka," papar dia.
Erniati akhirnya mendapatkan pekerjaan. Namun kejiwaannya masih terguncang. Kondisi psikologinya begitu labil. Tak jarang dalam bekerja dia sembari menangis. Hal itu tentu saja tanpa disadarinya. Perempuan yang kini menjadi Ketua Yayasan Isana Dewata itu mengaku secara psikologis masih belum stabil, jika mengenang peristiwa kelam yang dialaminya 14 tahun silam itu.
"Saya masih butuh pendampingan, begitu juga dengan korban lainnya. Maka saya katakan jika keberadaan trauma center itu begitu penting bagi kami dan juga korban lainnya seperti trafficking, KDRT dan lainnya," kata dia.
Dia juga berharap pemerintah memperhatikan secara serius anak-anak korban bom Bali yang menurutnya merupakan generasi penerus. Anak-anak korban bom Bali butuh dukungan untuk bangkit dari keterpurukan.
"Anak-anak itu tunas bangsa. Mereka butuh dukungan untuk bangkit dari keterpurukan," tutup Erniati.