Kilas Balik Tragedi Bintaro, Tabrakan Kereta Api yang Disebut Mirip Kecelakaan Turangga Bandung
Dua lokomotif kereta saling bertabrakan, atau populer juga dengan istilah "adu banteng".
Dua lokomotif kereta saling bertabrakan, atau populer juga dengan istilah "adu banteng".
Kilas Balik Tragedi Bintaro, Tabrakan Kereta Api yang Disebut Mirip Kecelakaan Turangga Bandung
Kilas Balik Tragedi Bintaro, Tabrakan Kereta Api yang Disebut Mirip Kecelakaan Turangga Bandung
Jumat (5/1) pukul enam pagi, Waktu Indonesia Barat, publik dikejutkan dengan kabar kecelakaan yang melibatkan kereta api Turangga PP 65a dengan kereta lokal Bandung 350.
Dua lokomotif kereta saling bertabrakan, atau populer juga dengan istilah "adu banteng".
Kecelakaan yang melibatkan KA Turangga PP 65a relasi Gubeng, Surabaya-Bandung dan kereta lokal, terjadi di kilometer 181.
Belum ada penjelasan mengenai penyebab kecelakaan ini terjadi. Namun, di media sosial banyak masyarakat yang mengutarakan kecelakaan tersebut mirip tragedi Bintaro, yang terjadi Oktober 1987.
Hanya saja, jumlah korban tentunya tidaklah sama.
Kecelakaan kereta api yang kemudian dikenal dengan Tragedi Bintaro itu berawal ketika Kepala Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Kebayoran menyampaikan informasi kalau kereta dengan nomor KA 220 hendak menuju Stasiun Sudimara.
PPKA Sudimara mengatakan jalur yang berada di Sudimara sudah penuh. Dia pun meminta agar ada persilangan kereta di Stasiun Kebayoran. Permintaan untuk persilangan pun disepakati.
Namun, terjadi miskomunikasi ketika pergantian PPKA di Stasiun Kebayoran. Petugas PPKA Stasiun Kebayoran tidak memahami dan tidak mengetahui kesepakatan persilangan yang seharusnya dilakukan di Stasiun Kebayoran.
Tanpa mengetahui tentang persilangan yang disepakati antara PPKA Kebayoran sebelumnya dengan PPKA Sudimara, KA 220 pun meninggalkan Stasiun Kebayoran.
Mengetahui KA220 telah keluar Stasiun, PPKA Sudimara bergegas meminta seorang petugas untuk menghentikan kereta KA 225 yang telah meninggalkan stasiun Sudimara.
Petugas tersebut berlari dengan memberikan gerakan tangan, hingga terompet tanda berhenti. Namun, upaya itu tidak terlihat dan terdengar oleh masinis KA 225 yang sudah bergerak menuju Kebayoran.
Masinis KA 225 berpedoman, sebelumnya sudah ada kesepakatan persilangan terjadi di Stasiun Kebayoran.
Dalam biografi Roesmin Nurjadin: Elang dan Pejuang Tanah Air, tertulis seharusnya kereta api nomor 225 dari arah Rangkasbitung, langsir atau berhenti dulu di Stasiun Sudimara, menunggu sampai kereta api dari Kebayoran melintas.
Tiba di sebuah tikungan sepanjang 47 meter, masinis KA 225 terkejut melihat ada kereta datang dari arah berlawanan di jalur yang sama.
Penumpang yang berada di atas gerbong kereta pun terkejut, dan melompat untuk menghindari tabrakan maut yang terjadi.
Tabrakan antara dua kereta pun tidak dapat dihindari. Kencangnya laju kereta membuat 159 orang meninggal dunia, dan 300 orang luka-luka.