36 Tahun Tragedi Bintaro, Cerita Kelam yang masih Menyisakan Duka Mendalam
Tepat 19 Oktober 1987 silam. Dua kereta terlibat tabrakan dasyat di perlintasan Bintaro.
Dua kereta bertabrakan menyebabkan banyak nyawa melayang.
36 Tahun Tragedi Bintaro, Cerita Kelam yang masih Menyisakan Duka Mendalam
36 Tahun sudah berlalu. Cerita memilukan itu nyatanya masih membekas jelas di ingatan. Duka itu tak mudah sembuh. Ratusan jiwa meregang nyawa di sana.
Peristiwa itu menjadi salah satu sejarah kelam dunia transportasi Tanah Air. Tepat 19 Oktober 1987 silam. Dua kereta terlibat tabrakan dasyat di perlintasan Bintaro. KA 225 jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota dan Kereta Patas 220 Tanah Abang-Merak, hancur berkeping.
Sebanyak 156 orang tewas dan tak kurang dari 300 orang terluka, baik berat maupun ringan.
Pemandangan di lokasi kejadian kala itu sangat mengerikan. Mayat penumpang tergeletak. Banyak korban terjepit di antara puing lokomotif. Para petugas berjuang keras melakukan penyelamatan.
Hasil penyelidikan saat itu menyimpulkan. Tabrakan maut dua kereta karena alah paham dan kesalahpahaman. Ada kelalaian komunikasi yang menyebabkan dua kereta bertabrakan atau tepatnya di KM17+252, di lintas Angke-Tanahabang-Rangkasbitung-Merak.
Dikutip dari berbagai sumber, berdasarkan catatan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), grafik perjalanan kereta api (Gapeka) mengatur, menyatakan KA 225 Lokal Rangkas (Rangkasbitung-Jakarta Kota) dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 Wib dan dijadwalkan untuk bersilangan pada pukul 06.49. Namun, KA tersebut mengalami keterlambatan selama 5 menit.
Rencana persilangan antara KA 225 Lokal Rangkas dan KA 220 Patas Merak (Tanah Abang-Merak) yang seharusnya terjadi di Stasiun Sudimara juga mengalami perubahan karena jalur di stasiun dalam kondisi penuh. Sontak persilangan tidak dapat dilakukan di Stasiun Sudimara.
Hal ini lantas menimbulkan berbagai kebingungan dan kesalahan prosedur. Termasuk kesalahan komunikasi antara petugas di dua stasiun yang berbeda.
Proses pemberangkatan KA 220 Patas Merak dari Stasiun Kebayoran tanpa izin dan keputusan pemindahan lokasi persilangan KA 225 dilakukan tanpa pemberitahuan yang memadai semakin memperumit situasi.
Ketidakjelasan dalam komunikasi dan serangkaian kesalahan prosedur ini menyebabkan masinis KA 225 meyakini bahwa isyarat untuk langsiran adalah isyarat untuk pemberangkatan.
Akhirnya, terjadilah tabrakan mengerikan di KM17+252, yang menyebabkan kerusakan besar pada lokomotif dan kereta-kereta di belakangnya. Tak hanya itu, seratus lebih penumpang meninggal dunia.
Kisah Masinis Slamet Suradio
Perjalanan itu berubah menjadi mimpi buruk yang tak terlupakan bagi Slamet Suradio, masinis KA 225 yang saat itu bertanggung jawab. Slamet menceritakan momen mengerikan itu kepada merdeka.com dalam sebuah wawancara di kediamannya.
Menurut Slamet, saat kereta melintasi Stasiun Sudimara, kereta bergerak dengan kecepatan sekitar 40 kilometer per jam. Namun, kejutan besar datang saat dia menyadari bahwa jarak dengan KA 220 dari Kebayoran Baru terlalu dekat untuk melakukan pengereman. Meskipun sigap coba mengerem, kecelakaan tidak dapat dihindari.
Tabrakan maut pun terjadi di tikungan S Bintaro, tepatnya di Pondok Petung, Jakarta Selatan. Korban jiwa tak terhindarkan. Beruntung Slamet selamat meski mengalami luka-luka dalam insiden tersebut.
Dia terpental dari tempat duduknya. Kondisinya berdarah-darah, namun berhasil keluar melalui jendela lokomotif yang rusak.
Setelah insiden tragis itu, Slamet diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka, lalu ditahan. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dia dianggap lalai dan dihukum karena kecelakaan tersebut. Slamet dihukum bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun. Dia sudah menjalani hukumannya dan bebas tahun 1993.
Meski seiring waktu Slamet pulih dari luka-lukanya dan menjalani hidup yang tenang, pengalaman mengerikan itu masih melekat diingatannya dan sulit dilupakan.
Bahkan bagi Slamet, tragedi Bintaro akan selalu menjadi kenangan pahit yang menghantuinya sisa hidupnya.