2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'aruf, KontraS Menyoroti Somasi dan Kriminalisasi
KontraS dalam catatannya menyebut, baik Moeldoko maupun LBP seharusnya sadar bahwa mereka tidak dapat melepaskan perannya sebagai pejabat publik.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ikut menyoroti 2 tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'aruf Amin. Salah satunya yakni 'Somasi dan Kriminalisasi Perlahan Menjadi Tradisi'.
Berdasarkan catatan KontraS sepanjang tahun 2021, mereka melihat adanya pola baru yang dilakukan oleh pejabat publik sebagai upaya pembungkaman kritik, yaitu melalui somasi. Dalam beberapa bulan terakhir, setidaknya terdapat dua somasi yang dilayangkan oleh pejabat publik.
-
Apa yang dibahas Presiden Jokowi dan Presiden Marcos? Jokowi mengatakan dirinya akan membahas upaya meredakan ketegangan di Laut China Selatan. "Ya salah satunya (membahas Laut China Selatan)," jelas Jokowi sebelum bertolak ke Filipina melalui Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta, Selasa (9/1/2024).
-
Kapan Prabowo bertemu Jokowi? Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana kepresidenan, Jakarta, Senin (8/7) siang.
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
"Pertama, somasi yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko kepada Indonesia Corruption Watch (ICW), khususnya Egi Primayogha dan Miftah. Kedua, somasi yang dilayangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvest), Luhut Binsar Panjaitan (LBP), kepada Pendiri Lokataru, Haris Azhar dan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti," demikian laporan KontraS yang dikutip pada Rabu (20/10).
Meskipun berbeda, kedua kasus itu disebutnya memiliki pola yang kurang lebih sama. Keduanya sama-sama dilayangkan oleh pejabat publik yang dekat dengan seorang Presiden, isunya pun berkaitan dengan ekonomi politik, dan keduanya berujung pada pemolisian dengan gugatan yang diajukan seputar pencemaran nama baik, penghinaan dan berita bohong.
"Adanya kesamaan pola ini menunjukkan tren baru yang dilakukan oleh pejabat publik dalam menghadapi kritik. Padahal, apa yang dilakukan korban dalam kasus ini merupakan bentuk kritik dan kontrol publik terhadap penyelenggara negara," ujarnya.
"Kritik berbasis riset atau kajian, sebagaimana yang dilakukan oleh ICW dan Haris juga Fatia, seharusnya direspon dengan dialog terbuka dan langkah-langkah yang mengedepankan prinsip keterbukaan publik dan humanisme. Namun, kritik berbasis kajian advokasi itu justru direspon secara represif menggunakan ancaman hukum dan kriminalisasi. Substansi dari somasi yang diberikan pun bersifat personal," sambungnya.
KontraS dalam catatannya menyebut, baik Moeldoko maupun LBP seharusnya sadar bahwa mereka tidak dapat melepaskan perannya sebagai pejabat publik. Karena, keduanya terikat dengan etika dan kewajiban hukum yang salah satunya adalah dapat dikritik.
"Resistensi kritik seperti dalam kedua kasus ini mencerminkan wajah pemerintahan yang otoriter, anti kritik, dan tidak demokratis. Ditambah, apa yang dilakukan oleh Egi, Miftah, Haris dan Fatia merupakan mandat dari organisasi demi menjaga kepentingan publik, sehingga keberadaannya tidak dapat diindividualisasi," sebutnya.
"Apabila hendak diindividualisasikan, konstitusi sendiri telah mengatur dengan jelas bahwa setiap orang berhak untuk turut serta dalam urusan pemerintahan," tambahnya.
KontraS pun mengacu pada dasar UU ITE, yaitu Pasal 310 KUHP, yang menyatakan bahwa jika menyangkut kepentingan publik, maka hal tersebut bukanlah pencemaran nama baik.
Oleh sebab itu, kriminalisasi masyarakat sipil yang menyuarakan kritik merupakan bentuk pengabaian pejabat publik terhadap hak warga negara yang tercatat di dalam undang-undang.
"Selain itu, kasus-kasus ini juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat untuk aktif memberikan kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintah," ucapnya.
Menurut KontraS, meskipun faktanya kritik merupakan bentuk ekspresi yang sah dan keberadaannya telah dijamin dalam konstitusi di era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Tetap tidak ada jaminan bahwa masyarakat sipil dapat terbebas dari kriminalisasi.
Maraknya somasi yang dilayangkan pejabat publik, disebut berpotensi mematikan gerakan masyarakat sipil baik dari lembaga maupun organik. Hal ini disebabkan ketakutan yang timbul dalam masyarakat untuk berpendapat.
"Selaras dengan hal tersebut, survei menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia telah takut untuk menyuarakan pendapatnya,".
Menurut pandangan KontraS, keterlibatan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis. "Berbagai upaya pembungkaman pendapat ini dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan dan pejabat publik," ucapnya.
Apa yang disampaikan KontraS itu hanya sebagian kecil dari banyaknya kasus kriminalisasi yang menyasar pembela HAM di Indonesia pada masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
"Kami melihat, kriminalisasi terhadap pembela HAM cenderung dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum bermasalah, seperti KUHP dan UU ITE. KUHP menjerat pembela HAM dengan pasal penghinaan, pencemaran nama baik, dan makar," ungkapnya.
"Sedangkan, UU ITE menjerat pembela HAM di ranah digital dengan pasal pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan ancaman kekerasan di dunia maya," sambungnya.
Kedua produk hukum itu, dinilai KontraS memiliki pasal-pasal karet yang seringkali digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi pembela HAM.
Selaras dengan hal tersebut, fakta di lapangan menunjukkan kelompok pelapor yang paling banyak menggunakan UU ITE adalah pejabat publik, mulai dari kepala daerah, menteri, aparat keamanan dan pejabat publik lainnya.
"Hal ini menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap pembela HAM justru banyak dilakukan oleh penyelenggara negara. Maraknya kriminalisasi ini juga tidak selaras dengan pernyataan Presiden yang menghendaki revisi UU ITE. Di awal tahun 2021, Presiden mengatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE karena keberadaannya kerap menjadi alat kriminalisasi dan tidak memberikan rasa keadilan," jelasnya.
Namun, akhirnya DPR memutuskan UU ITE batal masuk ke Prolegnas Prioritas 2021. Terlebih, pemerintah justru memilih untuk mengeluarkan pedoman interpretasi UU ITE yang jelas-jelas tidak menjawab persoalan yang selama ini ada terkait maraknya kriminalisasi.
"Problematika ini terbukti dalam kasus Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, yang terjerat UU ITE atas kasus pencemaran nama baik karena melontarkan kritik di grup WhatsApp. Ia divonis 3 bulan penjara dan didenda Rp10 juta. Vonis yang dijatuhkan terhadap Saiful tidak hanya mengkriminalisasi kritik namun juga mencerminkan ketidakberpihakan hukum terhadap kebebasan akademik," ucapnya.
"Jauhnya jangkauan UU ITE membuat akademisi pun menjadi rentan terhadap hukum. Permasalahan seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila Negara serius mengatasi berbagai praktik kriminalisasi yang ada. Lagi-lagi, Presiden Jokowi gagal membuktikan komitmennya dalam memprioritaskan isu demokrasi dan hak asasi manusia selama dua tahun masa jabatannya," tutup laporan KontraS.
Baca juga:
Dua Tahun Pemerintahan Jokowi, KontraS Catat Terjadi Pembungkaman Kebebasan Akademisi
Dua Tahun Pemerintahan Jokowi, KontraS Catat Serangan Digital Semakin Masif
Catatan PAN untuk 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf
Jokowi di Apkasi Otonomi Expo 2021: Hampir Semua Negara Saat ini Butuh Komoditas Kita
Survei: Pandemi Berangsur Pulih, Kepuasan Publik Terhadap Jokowi 61,7 Persen