Akomodir politikus, kinerja BPK dinilai sulit mandiri
BPK masih mengakomodir pimpinan yang berasal dari partai politik.
Kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dianggap sulit dapat mandiri. Ini karena dalam ketentuannya, BPK masih mengakomodir pimpinan yang berasal dari partai politik.
Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra menyebut BPK memiliki sifat yang mandiri. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara dapat dipercaya dan berintegritas.
"Jika proses pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak dilakukan oleh lembaga yang mandiri atau anggotanya tidak mandiri, ini akan menjadi awal dari ketidakakuratan tindakan pengawasan oleh lembaga legislatif sekaligus menjadi awal terjadinya diskriminasi dalam penegakan hukum," ujar Saldi dalam sidang uji materi Pasal 28 huruf d dan huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (26/11).
Saldi menganggap masih diperbolehkannya politikus menjadi pimpinan BPK dapat berpengaruh pada kinerja lembaga pengaudit keuangan tersebut. Bahkan, Sali mencurigai terdapat potensi penyimpangan wewenang dalam proses pemeriksaan keuangan negara.
"Hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara yang tidak mandiri akan menyebabkan orang seharusnya dituntut secara hukum justru tidak ditindak atau sebaliknya," kata dia.
Selanjutnya, Saldi menganggap kemandirian BPK begitu penting sehingga wajib dijaga. Hal ini untuk mencegah adanya potensi pencemaran lantaran diisi oleh orang-orang yang berada dalam atau di bawah pengaruh partai politik.
"Syarat tidak menjadi anggota partai politik tanpa menentukan tenggat waktu tertentu dalam UU BPK yang potensial dimanfaatkan untuk menyusupkan orang-orang pada dasarnya tidak independen haruslah dinilai bertentangan dengan sifat kemandirian BPK," ungkapnya.
Atas hal tersebut, Saldi meminta MK untuk memberikan tafsir baru terkait Pasal 28 huruf d dan huruf e UU BPK. Dia menilai pasal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi jika mencantumkan batas waktu bagi anggota partai politik untuk absen dari kegiatannya.
"Permohonan pemohon yang meminta agar MK menafsirkan ketentuan Pasal 28 huruf e UU BPK adalah konstitusional sepanjang dimaknai anggota BPK dilarang menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya dalam jangka waktu dua tahun sebelum mendaftar sebagai calon anggota BPK sangat tepat untuk dikabulkan," terang dia.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Advokat Ai Latifah Fardhiyah dan seorang notaris Riyanti. Mereka mempermasalahkan pasal tersebut lantaran memberi peluang bagi politisi untuk menjadi anggota BPK. Mereka menganggap adanya politisi dapat mempengaruhi kinerja BPK yang mandiri.