KPK Telaah Dugaan Korupsi Klaim Fiktif BPJS Bermoduskan Baksos
Setelahnya KPK baru bisa menyelidiki dugaan klaim fiktif di kasus tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menelaah terkait danya laporan fiktif alias 'phantom billing' pada layanan kesehatan pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di sejumlah rumah sakit.
Dalam temuan ini pelaku diduga mengumpulkan data seperti KTP hingga data BPJS berkedok kegiatan bakti sosial (Baksos).
"Sampai dengan saat ini penindakan masih melakukan penelahaan, terkait klaim fiktif BPJS tersebut," ujar Jubir KPK, Tessa Mahardika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (26/7).
Bila merujuk berdasarkan pasal 11 nomor 19 tahun 2019 Undang-Undang KPK Tindak Pidana Korupsi proses penyelidikan dan penyidikan baru akan dilakukan apabila memenuhi unsur melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH), penyelenggaraan negara, dan orang lain yang anda kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan, dan atau menyangkut kerugian negara senilai 1 miliar. Setelahnya KPK baru bisa menyelidiki dugaan klaim fiktif di kasus tersebut.
"Jika di luar kewenangan KPK, maka akan berkoordinasi dengan penegak hukum yang lain, melalui bagian supervisi yang ada di KPK," lugas Tessa.
Sebelumnya mengungkapan adanya laporan fiktif alias 'phantom billing' pada layanan kesehatan pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Salah satu modusnya yakni dengan pelaku yang mengumpulkan data pasien melalui KTP hingga BPJS bermoduskan kegiatan bakti sosial.
"Pertama, dia mengumpulkan dokumen pasien ada KTP, KK, kartu BPJS melalui bakti sosial kerja sama dengan kepala desa," ucap Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan dalam acara diskusi Pencegahan dan Penanganan Fraud JKN' di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (24/7).
Setelah semua dara terkumpul nantinya akan diserahkan ke pihak rumah sakit terkait. Disana akan ada pengaturan perihal seakan-akan pasien mengalami sakit dan dokter yang menangani akan menandatanganinya.
Dalam hal ini, kata Pahala pihak dokter rumah sakit diduga juga ikut bermain atau bahkan mantan dokter yang di rumah sakit tersebut.
"katakanlah ini harus di-USG ini kan harus milih penyakit yang pas tuh kan. Itu benar-benar bagus banget, jadi dia dengan keluarganya, dokter juga, jadi dokter-dokter itu diagnosisnya sudah mendukung semua lah buat klaimnya. jadi di prosesnya ini mungkin di kronologi klaim fiktifnya bisa ditampilkan, gimana caranya dia bisa bikin klaim fiktif," ungkap Pahala.
"Dia mengeluarkan surat eligible peserta, ada dokternya segala macam yang sebenarnya sudah tidak lagi kerja di situ , tetapi dia tandatangan saja, oke, jadi ini memnag komplotan beneran," tambah dia.
Lalu ada cara lain yang bisa dilakukan, kata Pahala cara ini adalah yang paling sulit dimana pelaku harus menandatangani rekam medis, membuat resume medis. Hingga akhirnya pada tahap pemeriksaan penunjang bisa diklaim pendanaannya.
Dia menyebut dalam praktek laporan fiktif ini tentunya bukan hanya dokter saja yang bermain curang. Diduga sampai pada tahap pemilik rumah sakit swasta atau daerah dan Dirutnya juga ikut bermain.
"Kenapa klaim fiktif ini jadi concern kita? Karena enggak mungkin satu orang yang ngejalanin, enggak mungkin dokter saja yang ngejalanin, yang kita temukan pemilik-pemiliknya, dirutnya. Ya, jadi kita bilang ini swasta, tapi kita yakin di RSUD, rumah sakit vertikal gitu enggak tertutup kemungkinan dilakukan hal yang sama," pungkas Pahala.