Anggota Komisi IX Usul Fasilitas Praktik Dokter Diserahkan ke Pemerintah
Menurut anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, para dokter pasti keberatan dengan birokrasi perizinan praktik tersebut. Namun, mereka tidak berani mengungkapkan.
Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo turut menyorotiSurat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) kedokteran. Menurutnya, izin praktik-praktik tersebut mesti disederhanakan.
"Isu yang disampaikan Pak Menkes itu saya kira solusinya lenih pada proses penyederhanaan artinya apa iya setiap 6 tahun harus memperbaharui STR, apa iya setiap periodesasi harus ada perbaikan membayar untuk STR, saya kira ini juga harus disempurnakan," ujar Rahmad lewat pesan suara kepada merdeka.com, Rabu (22/3).
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
-
Apa profesi Putra Dokter Boyke, Dhitya Dian Nugraha? Mengikuti jejak sang ayah, Dhitya merupakan alumnus Universitas Indonesia. Namun, perjalanan akademisnya tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri, tepatnya di Universiteit Leiden, Belanda, dari tahun 2017 hingga 2020 dengan mengambil jurusan psikologi.
-
Di mana Dokter Lo dirawat? Ia membenarkan jika dokter Lo Siauw Ging MARS saat ini sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu (RSKI) Solo.
-
Apa tujuan utama dibentuknya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat profesi dokter.
-
Kapan dokter Soebandi gugur? Mengutip situs Begandring, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan ini gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, Jember pada 8 Februari 1949.
Menurut politikus PDIP ini, para dokter pasti keberatan dengan birokrasi perizinan praktik tersebut. Namun, mereka tidak berani mengungkapkan.
"Kalau ditanya dokter ya pasti dokter gak akan berani menjawab tapi ketika tidak ditanya oleh media ketika media bertanya atas nama masyarakat,apakah mereka setuju gak mereka (dokter) gak setuju mungkin barangkali akan keberatan,” ujarnya.
"Tapi karena ini rezim undang undangnya masih seperti ini ketika ditanya dokter maka dokter akan diam atau mendukung dengan konsep seperti ini," sambung Rahmad.
Dia mengakui nasib para dokter ada di tangan pengurus ataupun asosiasi. Maka dari itu diperlukan penyederhanaan surat izin, asalkan tidak mengurangi kualitas calon dokter itu sendiri.
"karena hidup matinya dokter ada di tangan pengurusnya kalau tidak diberikan rekomendasi kan mereka tidak diizinkan praktek, untuk itu saya kira solusimya proses penyederhaaan STR, penyederhanaan izin praktek tapi tidak mengurangi kualitas, tidak mengurangi kualitas SDM dalam proses perbaikan," tuturnya.
Lebih lanjut, Rahmad mengusulkan agar proses perbaikan kedokteran juga diurus pemerintah. Nantinya, ada anggaran yang dikucurkan untuk fasilitas calon dokter yang ingin berpraktik.
"Secara periodik barang kali diwajibkan untuk meneliti kekinian terhadap teknologi kedokteran jadi saya kira gak perlu bayar, itu fasilitas negara untuk diberikan kepada kedokteran ataupun nakes yang lain untuk meningkatkan (kualitas)," ucapnya.
"Ya serahkan kepada negara untuk meningkatkan SDM, jangan diserahkan kepada asosiasi ataupun profesi tapi dipungut biaya tapi itu tidak kecil ini juga membebani, ketika terbebani dokter juga akan 'mengambil dari pasien',"ujar Rahmad.
Dia menjelaskan, proses penyederhanaan pelatihan-pelatihan kedokteran diserahkan kepada pemerintah untuk dibiayai secara gratis.
"Saya kira proses penyederhanaan pelatihan pelatihan itu diserahkan kepada pemerintah untuk dibiayai secara gratis kepada nakes nakes kita, yang akan izin praktik atau perpanjangan biarlah serahkan ke negara untuk meningkatkan kualitasnya," pungkasnya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap ‘bisnis’ Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter di Indonesia. Menurut Budi, bisnis itu bisa menghasilkan keuntungan hingga triliunan.
Budi menyebut, dalam setahun sebanyak 77.000 STR diterbitkan. Sementara besaran biaya untuk penerbitan STR berkisar Rp6 juta per orang.
“Ya aku kan bankir 77.000 kali Rp6 juta kan Rp430 miliar. Oh pantes ribut, Rp400 miliar setahun,” kata Budi pada Rabu (15/3).
STR merupakan dokumen atau bukti tertulis yang menunjukkan dokter telah mendaftarkan diri dan sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan serta telah diregistrasi pada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Sementara SIP merupakan bukti tertulis yang secara sah diberikan oleh pemerintah daerah kepada Tenaga Kesehatan (Nakes) sebagai tanda telah diberi kewenangan untuk menjalankan praktik.
Untuk memperoleh STR, kata Budi, seorang peserta didik kedokteran membutuhkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) yang dapat diperoleh dengan mengikuti kegiatan tertentu, salah satunya seminar.
Sekali penyelenggaraan seminar, kata Budi, rata-rata memperoleh empat SKP dengan biaya berkisar Rp1 juta per peserta.
"Jadi, kalau ada 250 SKP per tahun, menjadi Rp62 juta, dikali 140.000 jumlah dokter, itu kan Rp1 triliun lebih. Pantas ramai," katanya.
Budi mengatakan, besaran biaya itu harus ditanggung dokter untuk menebus kelulusan.
"Kasihan dokternya, karena mereka harus membayar. Kalau dokternya enggak bayar, nanti dibayarin orang lain, dan obat jadi mahal karena sales and marketing expances jadi naik. Menderita juga rakyatnya," katanya.
(mdk/fik)